Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY Mengaku, Tidak Pernah Menyerang Lawan Politiknya, Faktanya?

31 Maret 2014   19:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selaku Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBT) dalam kampanyenya terbukanya di Stadion Karangbirahi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Selasa, 25 Maret 2014, antara lain menyatakan bahwa selama 10 hari dia berkampanye, dia tidak pernah menyerang tokoh-tokoh politik lainnya, bahkan selama 10 tahun menjadi Presiden, juga tidak pernah seperti itu.

"Selama sepuluh hari ini, di tiap kampanye, saya tidak pernah menyerang partai-partai lain, tidak pernah menyerang tokoh-tokoh politik lain. Bahkan selama sepuluh tahun saya memimpin," kata SBY di atas panggung, di hadapan ribuan pendukungnya (Tempo.co).

Tetapi, setelah itu dia malah melanjutkan kampanyenya dengan menyerang Megawati dengan cara menyindirnya. Hal itu diutarakan setelah mengutip adanya penilaian terhadap pemerintahannya yang dinilai mengalami kemunduran. "Itu tidak benar. Kami tidak pernah menjual aset negara dan kapal tanker yang merugikan negara," ujarnya.

Secara tersirat, SBY menyebut di masa pemerintahan Presiden Megawati, terjadi privatisasi sejumlah BUMN. Pada zaman Megawati pula dua kapal tanker milik Pertamina dijual sehingga diduga merugikan negara. Kasusnya sempat diusut Kejaksaan Agung, sindir SBY dalam kampanyenya itu.

Nah, apakah maksud SBY dengan pernyataannya itu adalah setelah sepuluh hari berkampanye, bahkan setelah 10 tahun memerintah dia tidak pernah menyerang tokoh politik manapun, tetapi sekarang saatnya dia mulai melakukan “penyerangan” itu?  Kok bisa, baru saja bilang tidak pernah menyerang tokoh politik lain, tetapi lalu menyerang – meskipun secara tersirat – Megawati ketika memerintah negeri ini?

SBY seolah-olah lupa bahwa di kala Megawati menjadi Presiden, dia adalah bagian dari pemerintahan itu juga. Yakni, ketika itu dia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia.

Apakah benar SBY tidak pernah dia menyerang tokoh politik atau partai politik lain? Yang pasti, SBY terbukti sangat takut dengan partai politik lain, yaitu dengan PKS, yang meskipun berkali-kali bersikap menentang kebijakan-kebijakannya, -- sesuatu yang sangat kontradiksi dengan kedudukannya sebagai mitra koalisi dalam pemerintahan SBY--, SBY tak punya nyali untuk melakukan suatu tindakan apapun terhadap partai itu. Dia hanya berani mengancam secara tersirat, tetapi ketika ditantang balik PKS, malah terdiam.

SBY mengaku tidak pernah, meskipun faktanya berbicara lain, yang pasti juga adalah para petinggi Partai Demokrat sering menyerang, dan bahkan menghina tokoh politik, dan partai politik lainnya, tetapi SBY sebagai tokoh paling tinggi di partainya itu tak pernah menegur, dan mencegah ulah para petinggi Demokrat itu untuk tidak lagi bersikap begitu.

SBY berkali-kali menyatakan bahwa partainya adalah partai yang selalu mengedepankan sopan-santun dalam berpolitik (politik santun), tetapi bersamaan dengan itu juru bicaranya Ruhut “si Poltak” Sitompul berkali-kali membuat pernyataannya yang jauh dari politik santun itu, menyerang dan mengejek Jokowi dan PDIP.

Maka, mungkin benarlah sinyalemen yang beredar selama ini di masyarakat, yaitu bahwa Demokrat yang menyatakan dirinya sebagai parpol yang santun, sengaja memelihara politikus mereka seperti Ruhut “si Poltak” itu, untuk melakukan politik yang tidak santun, dengan seolah-olah itu pernyataan pribadinya bukan partai. SBY tidak pernah berkomentar apalagi menegur Ruhut atas kelakuannya itu.

Dalam bulan Maret 2014 ini saja, sedikitnya sudah lima kali Ruhut menyerang/menghina Jokowi dan PDIP (Tempo.co), tanpa ada teguran apalagi sanksi yang lebih berat dari SBY.

[caption id="attachment_301264" align="aligncenter" width="620" caption="Ruhut Sitompul yang rajin mengejek Jokowi (Sumber: Tempo.co)"][/caption]

Pertama, pada Senin, 3 Maret 2014, Ruhut mengatakan, Jokowi belum punya rekam jejak yang dapat dijadikan panutan rakyat, dan orangnya lemas, kremar-kremer, tapi kok mau menjadi presiden. "Lagi pula Jokowi orangnya klemar-klemer, kok mau nyapres?"

Jokowi dikatai Ruhut juga bukan sosok negarawan. Hal itu, kata Ruhut, terlihat dari sikapnya Jokowi yang selalu saja mesam-mesem seperti orang yang terkena sawan ketika ditanya ihwal pencalonannya sebagai presiden. Perilaku mencla-mencle ala Jokowi pun dikritik Ruhut.

"Orang lemas kayak begitu tak cocoklah memimpin Indonesia," kata Ruhut sambil tertawa terbahak-bahak.

Kedua, Minggu, 9 Maret 2014, ketika itu Jokowi belum secara resmi dinyatakan sebagai bakal calon presiden, Ruhut menentang wartawan dan pengamat untuk bertaruh, dia yakin Megawati tidak akan berani mencalonkan Jokowi sebagai capres 2014-2019 mendatang.

Ruhut mengatakan, Megawati tidak bakal mencalonkan Jokowi sebagai capres dari PDIP karena Megawati sendiri berambisi untuk menjadi presiden yang sudah diimpikan selam 10 tahun belakangan ini. “Tapi, ya,  (pasti) kalah (lagi)."

Ketiga, Jumat, 14 Maret 2014, Ruhut tertawa terbahak-bahak dengan nada merendahkan ketika diminta tanggapannya tentang pencalonan Jokowi sebagai bakal capres dari PDIP. "Emangnya dia bisa menang?" ujar Ruhut di tengah tawanya.

Meskipun Jokowi populer, Ruhut menilai Jokowi tak becus bekerja. "Mengurus Jakarta saja berantakan, ini mau maju jadi capres, mau dibawa ke mana Indonesia ? ...  "Apabila Jokowi sampai menang, Indonesia tinggal menunggu kehancuran!"

Keempat, Sabtu, 15 Maret 2014, Ruhut mengatakan Jokowi tidak layak menjadi presiden dengan hanya bermodal wajah lugu. "Dia enggak layak maju capres. Cuma modal wajah lugu saja."

Jokowi, kata Ruhut, juga telah menipu rakyat Jakarta dengan janji kosong. "Dulu waktu maju, rakyat berpikir, si lugu ini boleh juga jadi gubernur, suka blusukan sana-sini. Tapi sekarang lihat, dong, ditipunya semua rakyat."

Kelima, ketika PDIP mengumumkan pendeklarasian Jokowi sebagai bakal capres 2014 mereka, dengan sinis Ruhut berkomentar. Kata dia, di dalam struktur Kepengurusan PDIP, Jokowi bukanlah siapa-siapa. "Siapa dia? Anak kos, anak numpang, kok nyapres?!"

Selain Ruhut, ada juga beberapa petinggi Partai Demokrat yang beberapakali menyatakan serangannya kepada Jokowi. Di antaranya adalah Wakil Ketua Umum DPP merangkap Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Nurhayati Ali Assegaf, dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan.

Serangan Nurhayati yang pernah dilontarkan ke publik adalah ketika masa jabatan Jokowi berumur satu tahun. Ketika itu dia berkata, “Setahun Jokowi, 1.000 rumah terbakar dalam satu lokasi di Kelapa Gading, apakah itu lambang keberhasilan, prestasi? Tidak pernah dalam sejarah. Fauzi Bowo, semua, tidak pernah ada 1.000 rumah terbakar. Di mana pemerintah daerah? Semua tidurkah sampai rumah terbakar?’

13962418161679485479
13962418161679485479


Sedangkan Ramadhan Pohan menyalahkan Jokowi ketika terjadi aksi penyadapan oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat terhadap Indonesia dari gedung kedutaan besar mereka yang baru direnovasi. Entah logika apa yang dipakai, Ramadhan Pohan menyalahkan Jokowi dikarenakan Jokowi sebagai Gubernur DKI telah mengizinkan renovasi bangunan itu dikerjkan, maka itu Indonesia bisa disadap AS. Ramadhan berkata, “Izin pembangunan Kedubes itu kan dari Jokowi. Kalau benar, itu berarti memberi lampu hijau untuk disadap.”

13962418791845541480
13962418791845541480


Demikianlah beberapa pernyataan para petinggi Demokrat yang menyerang, bahkan menghina tokoh politik dan partai politik lain, khususnya terhadap Jokowi dan PDIP.  Padahal SBY mengaku selama ini dia sebagai petinggi puncak Partai Demokrat, maupun sebagai Presiden tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang sifatnya menyalahkan atau menyerang tokoh politik dan partai politik lain. Jika pengakuannya itu pun benar – kenyataannya tidak sepenuh benar – apakah artinya citra santun itu mau dia tonjolkan sementara itu para petinggi Demokrat lainnya malah bebas melakukan serangan dan hinaan kepada Jokowi dan PDIP, dan dibiarkan terus oleh SBY? Dia santun? Tetapi anak buahnya boleh tidak santun?

Jika benar-benar SBY serius, konsisten, dan konsekuen dengan prinsip Partai Demokrat tentang berpolitik secara santun itu, tentu saja dia tidak akan pernah membiarkan para anak  buahnya bertingkah seperti halnya Ruhut “si Poltak” Sitompul, Nurhayati Ali Assegaf, dan Ramadhan Pohan dengaan serangan-serangan mereka itu.

Pengakuan SBY tersebut pun sesungguhnya tidaklah sepenuh benar. Buktinya, seperti yang disebutkan di awal tulisan ini. Selesai mengatakan, dia tidak pernah menyerang tokoh politik dan partai politik lain, tetapi baru saja itu diucapkan, SBY malah menyerang Megawati dengan menyindir Megawati yang ketika menjadi Presiden telah menjual aset-aset negara secara murah sehingga membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Padahal. ketika itu dia juga bagian dari pemerintahan Megawati.

Pada 4 November 2013, dalam pertemuannya dengan para pengurus KADIN di Istana Bogor,  ketika persoalan kemacetan Jakarta ditanya kepadanya, SBY pernah membuat pernyataan yang sifatnya memojokkan Jokowi sebagai Gubernur DKI, “Kalau biang kemacetan di Jakarta datanglah ke Pak Jokowi. Itulah tugas gubernur, bupati, walikota. Di Jakarta, di Bandung, di Surabaya, di mana-mana gitu. Yang harus jelaskan gubernurnya, walikotanya.”  Padahal untuk Jakarta, sebagai ibukota negara, peran pemerintah Pusat pun seharusnya sangat penting dijalankan secara benar dan tepat. Misalnya, kebijakan Pemerintah Pusat tentang Low Cost Green Car (LGGC), atau mobil murah dan ramah lingkungan, yang sangat berpotensi menetralisir semua upaya Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan. Sangat dikhawatirkan kemacetan Jakarta akan semakin tak teratasi dengan membanjirinya mobil-mobil murah itu di jalanan-jalanan Jakarta.

13962419441108503750
13962419441108503750


Tetapi, seperti biasa, Jokowi yang menerima serangan-serangan politik seperti itu, tetap saja bersikap sabar dan tenang, tidak pernah melakukan serangan balik. Ketika diminta pendapatnya tentang serangan-serangan politik yang ditujukan kepada dirinya  itu,  di rumah dinasnya, Menteng, Jakarta Pusat, pada 15 Maret 2014, Jokowi berujar, "Enggak apa-apa, dicemooh enggak apa-apa."

Jokowi mengaku sudah terbiasa dengan pelbagai ejekan. "Saya sudah ngomong berkali-kali, diejek enggak apa-apa. Ada yang kritik silakan. Biasa dalam demokrasi biasa dan sudah berpuluh-puluh, beratus kali, beribu kali biasa-biasa saja," ujarnya (Tempo.co).

Itulah paham “Tukulisme” yang dianut Jokowi. Dengan “Tukulisme” itu, Jokowi justru semakin terkenal dan semakin disukai publik.

“Tukulisme” adalah istilah yang digunakan oleh pengamat politik, Eep Saefulloh Fatah, dalam tulisan opininya di Majalah Tempo, edisi 24-30 Maret 2014.

Menurut Eeep, Tukul selalu tampil apa adanya di setiap acara televisi yang dia bawakan. Dia tidak pernah menutup-nutupi kekurangan fisiknya, malah kekurangan itu dijadikan kelebihan baginya yang membawa citra positif dan semakin disukai pemirsa.

Eep menulis, “Tukul berani tampil sebagai manusia tak bertopeng. Ia memperlihatkan dirinya yang asli, tanpa membungkusnya dengan citra-citra selebritas yang mentereng. Ia bahkan senang menertawakan segenap kekurangannya sendiri atau membiarkan orang lain menertawakannya. Ia juga kerap mengeksplotasi sisi lemah dirinya, termasuk kekurangan fisiknya, yang biasanya kita sembunyikan habis-habisan.”

“Itulah ‘Tukulisme”, paham yang menegaskan bahwa lemah, serba kurang, tidak cantik atau tampan, jauh dari kesempurnaan, tak sepandai cendekia, atau tak sementereng orang lain adalah hal biasa. Segenap sisi lemah diri itu tak perlu ditangisi. Bahkan kekurangan itu jika perlu dirayakan.”

Demikianlah, maka dengan “Tukulisme” itu, semua serangan para tokoh lawan politik Jokowi, termasuk yang dari Partai Demokrat, termasuk SBY yang selalu memoleskan dirinya dengan citra-citra yang serba positif, agar orang melihatnya sebagai tokoh politik dan pimpinan yang sangat baik, menjadi sia-sia. Yang terjadi malah sebaliknya, semua serangan itu malah membawa efek positif bagi Jokowi, dan juga PDIP. Karena, dari sanalah publik bisa semakin melihat adanya kesederhanaan, kerakyatan, kebijaksanaan, kemurnian dan kejujuran jiwa dari seorang Jokowi. Sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang negarawan.

Sebaliknya dengan SBY. Semakin dia mengumandangkan dirinya sendiri sebagai tokoh putih yang serba hebat, malah yang dilihat publik adalah sebaliknya. Salah satu contoh kongkritnya adalah pengangkatan dirinya sendiri sebagai tokoh politik dan pimpinan yang tidak pernah menyerang pihak lain, tetapi dalam kenyataan publik bisa menilai bahwa antara apa yang diucapkannya (pengakuan nya) tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun