Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tidak Sepantasnya "Noah" Dilarang

3 April 2014   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_301587" align="aligncenter" width="297" caption="Salah satu adegan di film NOAH (Sumber: IMDB.COM)"][/caption]

Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel berjudul Pantas Saja, Film Noah Dilarang!, yang ditulis oleh Syaripudin Zuhri, yang pada intinya setuju film Noah dilarang diputar di Indonesia.

Di awal tulisannya, Syaripudin mengatakan, “Tapi kalau ada yang mengatakan film ini tidak lolos sensor karena ketakutan pada suatu organisasi, ini sudah berlebihan.” – satu hal yang saya singgung di artikel saya sebelumnya, yang bisa dibaca di sini. Benarkah pernyataan tersebut berlebihan?

Yang pasti, yang pertama kali bilang begitu, justru bukansiapa-siapa, bukan juga saya, tetapi adalahKetua LSF Dr. Mukhlis Paen sendiri yang mengatakannya secara tak langsung. Dia bilang tentang alasan pihaknya tidak meloloskan film itu diputar di Indonesia, karena film itu  “Tidak  mendapat respons baik hampir di semua negara Islam. Kita sebagai negara mayoritas menganggap kalau diputar memancing keributan.”  Siapa yang akan bikin keributan yang dimaksud Mukhlis? Karena sudah lazim terjadi, wajar kalau kekhawatiran pembuat keributan tersebut ditujukan kepada ormas-ormas sejenis FPI. Kalau bukan mereka, siapa lagi? Ini bukan soal suka tidak suka, tetapi adalah memang yang biasa terjadi selama ini bukankah begitu? Ormas-ormas seperti FPI itu sering sekali membuat keributan/anarkis ketika berhadapan dengan perbedaan keyakinan seperti ini?

Syaripudin sendiri mengatakan dalam lanjutan kalimatnya itu:  “Tapi kalau film Noah tersebut tak dilarang, lalu masyarakat menjadi  rusak akidahnya, dan FPI bertindak, lain lagi urusannya.”

Nah, bukankah itu memang alasan LSF melarang film itu diputar? Takut FPI ngamuk dengan alasan film itu merusak aqidah, dan sejenisnya? Bukan selama ini alasannya memang seputar itu untuk membenarkan aksi keributan dan anarkisme mereka?

Kalau dimaksud dengan “keributan”, hanya masalah kontroversi, bukankah hal itu soal biasa, dan sangat jauh dari kewenangan LSF?

Jangan lupa, film Noah memang dibuat bukan berdasarkan Al Quran. Dengan sangat terang benderang dijelaskan di film itu bahwa film ini dibuat terinspirasi  pada kisah Nuh di Alkitab (Kitab Kejadian). Kemudian dikreasi secara bebas oleh Darren Aronofsky , sutradaranya.  Kalangan pemuka Kristen sendiri mengkritik film ini, tetapi tidak sampai reaksionis yang berlebihan. Film ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Da Vinci Code (2006), yang jelas-jelas menghina keimanan/aqidah Kristen dan Alkitab (Yesus menikah, punya anak, tidak mati di kayu salib, tidak bangkit, bukan anak Allah, Injil dipalsukan, dst-nya). Tetapi, toh, meskipun juga menimbulkan kontroversial di seluruh dunia, tetap diputar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Jadi, aneh memang alasan LSF melarang film itu karena katanya tidak sesuai dengan Al Quran. Apakah LSF sudah berubah menjadi lembaga keagamaan sekaligus hakim penentu suatu film boleh ditonton oleh kita atau tidak? Seperti orangtua yang menyeleksi film-film mana yang patut ditonton oleh anak-anaknya yang masih di bawah umur, karena belum mampu menilai sendiri.

LSF memperlakukan penonton Indonesia sebagai orang-orang naif, yang tidak mempunyai nalar sendiri, sepertri anak-anak kecil yang gampang terpengaruh ketika menonton sebuah film. Singkatnya LSF menghina kecerdasan penonton Indonesia, yang ironisnya banyak juga yang mau diperlakukan demikian.

Siapa pun yang keberatan dengan film ini seharusnya tidak usah memaksa menontonnya, lalu ngomel-ngomel, terus bilang, “Ya, saya setuju dengan LSF, film ini harus dilarang!” Jadi, anda yang belum sempat menontonnya harus setuju dengan LSF dan dia yang sudah menonton dan sepakat dengan LSF. Mereka mengemukakan alasannya: Karena film ini tidak sesuai dengan Al Quran. Penggambaran sosok Nabi Nuh-nya bertentangan dengan Al Quran,  perusak aqidah Islami,  maka,  mau tak mau anda harus setuju, meskipun anda belum menontonnya, meskipun anda yakin aqidah anda tidak semudah itu (hanya dengan menonton sebuah film) lalu rusak.

Mereka secara tak langsung menghina kecerdasan anda, menghina nalar anda, bahwa anda tidak bisa berpikir sendiri, tidak bisa bersikap kritis terhadap sebuah film yang anda tonton. Meraka takut anda tersesat jiwanya, keimananya, aqidahnya, ketika menonton film ini. Mereka merasa berhak menentukan film apa saja yang boleh dan tidak boleh anta tonton.

Padahal, sudah sejak awal-awal, sutradara dan pemilik film ini sudah bilang, sudah diumumkan, sudah dicantumkan di-trailer-nya bahwa film ini merupakan pengembangan inspiratif yang bebas dari sutradaranya yang menggunakan kisah kisah Nuh di Kitab Kejadian dalam Alkitab (sekali lagi bukan dari Al Quran), sebagai tokoh utamanya. Saking terlalu bebas berkreasi, sampai-sampai memang ceritanya melenceng jauh dari apa yang tertulis di Alkitab, meskipun itu belum bisa dikatakan sebagai suatu penghinaan. Tetapi, mereka juga mengingatkan, kalau mau tahu lebih jelas (dan benar) tentang Nuh, silakan baca Alkitab (Kitab Kejadian).

The film is inspired by the story of Noah. While artistic licence has been taken. We believe that this film is true to the essence, values and integrity of a story that is cornerstone of faith for millions of people worldwide. The Biblical story of Noah can be found in the Book of Genesis.” Demikian salah satu pemberitahuan di-trailer film tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Emma Watson salah satu pemeran film itu, “Jika Aronofsky benar-benar setia kepada Alkitab, maka bisa jadi film itu akan menjadi film bisu. Karena di Alkitab (Kitab Kejadian) memang tidak menulis kalimat-kalimat yang diucapkan Nabi Nuh, maupun para anggota keluarganya. Di Alkitab juga tidak menulis dosa-dosa macam apa yang dilakukan umat manusia di zaman Nabi Nuh hidup itu.

Tokoh yang diperankan oleh Watson pun, yakni Iia, tidak ada di Alkitab.

Aronofsky berkata,  “We tired to remain truthful to themes and the ideas that are written, but to create a dramatic story for 21st century audience. I think people who are believers will see the ideas and the values that they're looking for represented in the film, and I think people who are non-believers, or come from different traditions, are going to be excited because it's not your grandmother's bible. It's something new, something big and something different."

Jadi, memang sejak awal dia tidak berniat membuat sebuah film agama (Kristen). Kisah Nabi Nuh hanya digunakan sebagai pengembangan kreatifitasnya agar film ini benar-benar menjadi sangat menarik untuk ditonton. “Jika anda benar-benar ingin mengetahui kisah sebenarnya dari Nuh, temukanlah di Kitab Kejadian, di Alkitab!” katanya.

Saudara Syaripudin Zuhri beberapakali mengakui film ini bukan film agama (Islam), tetapi beberapakali pula dia menyampaikan argumentasinya berdasarkan agama itu. Misalnya, dia menulis: “Digambarkan dalam film ini, Noah adalah tokoh yang pemarah, pembunuh, bahkan bayi pun kembar yang baru lahir mau dibunuhnya, padahal itu cucunya sendiri, walau pun tidak jadi akhirnya. Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk tidak menyetujui film ini, kalau dilihat sisi agama.”

Agama yang mana? Tentu saja yang dimaksud Syaripudin adalah agama Islam (Al Quran). Aneh sekali. Bukankah sudah dijelaskan oleh pemilik film ini, filmnya dibuat berdasarkan inspirasinya dari Alkitab. Bukan yang lain.

Berdasarkan Alkitab pun memang banyak yang tidak sesuai. Di kalangan Kristen pun banyak yang kecewa dan mengkritik film ini karena ceritanya tidak sesuai dengan Alkitab. Tetapi, mereka bisa menerimanya karena sadar bahwa ini hanya sebuah film hiburan, bukan film agama Kristen. Kalau tidak mau dihibur dengan film ini, gampang sekali, jangan menontonnya! Tetapi sangat naif, kalau kemudian memaksa atau menghalangi orang lain juga tidak boleh menontonnya.

Noah tidak mengajar tentang agama, jadi keimanan atau aqidah apa yang dikhawatirkan melenceng?

Sebenarnya film ini juga dibuat berdasarkan novel grafis karya David Aronofsky dan Ari Handel yang ilustrasinya dikerjakan oleh seniman Kanada bernama Niko Henrichon. Diterbitkan pertama kali pada 2011 dalam bahasa Perancis untuk peredarannya di Eropa, dengan judul No’e: Pour la Cruaute’ des Hommes, kemudian seiring dengan dirilisnya film Noah, hak peredaran versi bahasa Inggrisnya dibeli oleh Image Comics, dan diberi judul  Noah: for the Cruelty of Men untuk diedarkan di Amerika Serikat dan Kanada.

13964602881246195679
13964602881246195679
Cover depan salah satu volume novel grafis tentang Nuh berbahasa Perancis, yang dibuat berdasarkan draft dan imajinasi Darren Aronofsky, sutradara film NOAH (sumber:absolute-zone.com)

Novel grafis ini terdiri dari empat volume. Dibuat berdasarkan draft awal skrip Anonosky, sehingga sejak awal  sudah diketahui bahwa visi awal novel ini memang merupakan kisah epic fantasy, bukan epic biblical.

Inti ceritanya seperti di filmnya.

Menceritakan dunia tempat Nuh tinggal itu merupakan dunia tanpa harapan. Di bawah kekuasaan kaum bar-bar dan penguasa kejam. Nuh adalah manusia yang baik, tetapi sekaligus juga sebagai petarung yang hebat, penyihir dan penyembuh yang handal. Dia mau hidup tentram bersama keluarganya.  Kemudian, setiap malam, Nuh mengalami penglihatan bencana maha besar bakal melanda dunia. Nuh berangsur-angsur menyadari bahwa itulah pesan Sang Pencipta kepadanya bahwa Dia akan memusnahkan semua manusia di muka bumi, berikut segala kehidupan lainnya. Tetapi, masih memberi kesempatan kepada Nuh untuk menyelamatkan diri dan keluarganya, dan melestarikan kehidupan baru kelak. Untuk itulah dia membuat sebuah bahtera (Cinemags, April 2014).

Untuk bahtera ini, untuk bentuk dan ukurannya Aronofsky setia kepada apa yang ditulis di Alkitab.

Aronofsky dalam mengembangkan imajinasinya mengenai Nuh memang menggambarkannya sebagai manusia biasa yang bisa marah, bertarung dan membunuh. Ketika membuat bahtera, dia sudah berprinsip bahwa akan membiarkan manusia musnah dari muka bumi. Tetapi, setelah bah mereda baru diaketahui ada menantunya yang ikut masuk ke dalam bahtera dan melahirkan. Nuh sebagai manusia biasa murka, rasanya dia hendak membunuh saja cucunya itu, agar jangan meneruskan keturunan spesis manusia, tetapi hati nuraninya mengatakan sebaliknya, dan dia menuruti hati nuraninya itu.

Syaripudin Zuhri membenarkan alasan LSF tidak meloloskan film ini karena di negara-negara Islam di Timur Tengah, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab juga melarangnya, padahal Indonesia harus punya pendirian sendiri, dan Indonesia  jelas berbeda dengan ketiga negara Arab itu. Indonesia bukan negara berdasarkanIslam, rakyat Indonesia itu sangat heterogen/pluralis, dan negara ini dijalankan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang sangat menghormati pluralisme itu.

Syaripudin mengatakan karena Indonesia itu heterogen, maka keputusan LSF itu kontroversial. Padahal,  kalau LSF menghormati keheterogenan masyarakat Indonesia itu, dia justru tidak akan membuat keputusan yang kontroversial tersebut (menyatakan film itu tak lolos sensor dengan alasan agama).

Tetapi, menurut Syaripudin, putusan LSF  itu sudah benar, karena film itu dapat merusak akidah yang ada di masyarakat awam dalam ilmu agama. “Kalau masyarakat yang sudah maju dalam agamanya, mungkin tak ada masalah! Mereka bisa menyaring sendiri,” katanya. Jadi, menurutnya umat beragama di Indonesia belum maju wawasannya?

Sekali lagi, pertanyaannya, agama yang mana yang dimaksud Syaripuddin, dan sekali lagi harus diingat bahwa film ini sudah memberitahukan kepada kita semua bahwa film ini bukan film agama, dan didasarkan pada tokoh Nuh di Alkitab (meskipun ceritanya pun tidak sama dengan Alkitab), bukan dari Kita Suci lainnya.

Jadi, bagi mereka yang punya pola pikir seperti Syaipudin seharusnya sejak awal sudah bisa menghindari film ini, tanpa perlu LSF melarangnya, yang artinya juga melenyapkan hak orang lain yang tidak berpikir seperti itu, termasuk orang islam sendiri yang berwawasan luas. Di kalangan Kristen sendiri banyak yang kecewa dengan film ini, dan melontarkan kritik kepadanya. Mereka mengira akan menonton film Nuh seperti yang diceritakan di Alkitab, ternyata mereka kecele. Kritik pun dilontarkan, hanya sebatas itu. Tidak bereaksi secara berlebihan seperti reaksi LSF.

Apakah ini artinya – berdasarkan pernyataan Syaripudin itu, --  masyarakat Kristen sudah lebih maju karena lebih bisa berpikiran kritis dalam menonton sebuah film?

Setahu saya yang namanya Nabi juga adalah manusia biasa, mereka meskipun dianggap manusia suci, utusan Tuhan,  tetapi mereka tidak seperti malaikat apalagi Tuhan, yang selalu putih bersih tanpa cela sama sekali, seperti yang ditulis oleh Syaripudin. Nabi-nabi itu juga bisa marah, cemburu, berperang, membunuh dan sebagainya.

Dalam Alkitab, tidak semua Nabi dikisahkan hidup dalam kesempurnaan, Nabi Musa misalnya, sebelum menjalankan perintah Allah, sempat tidak percaya diri dan menolak perintah Allah kepadanya untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan, dan membawa keluar mereka dari Mesir menuju ke Tanah Kanaan, Tanah Perjanjian.  Setelah 40 tahun membawa umat Israel ke luar Mesir menuju Tanah Perjanjian, Musa pun sempat putus asa dan mengeluh kepada Allah karena merasa tak sanggup lagi memenuhi perintah Allah Untuk membawa umat Israel masuk ke Kanaan). Akibatnya, dia tidak diperkenankan masuk ke Tanah Perjanjian itu. Dia meninggal dunia sebelum seluruh umat Israel itu akhirnya memasuki Tanah itu, perannya diganti oleh Harun.

Nabi Yunus pernah melarikan diri ketika hendak diutus Allah ke Niniwe, hingga dia ditelan ikan raksasa.

Nabi Daud pernah membunuh (Golliat) dan berperang. Dia juga pernah jatuh ke dalam dosa birahi. Suatu ketika dia melihat seorang perempuan yang sangat cantik, bernama Batsyeba. Dia jatuh hati dan ingin menikahinya. Tetapi, ternyata Batsyeba sudah menikah. Suaminya  bernama Uria, dari suku Het, seorang perwira dari pasukan Israel, anak buah Daud sendiri. Daud gelap mata, dengan kelicikannya dia sengaja mengirim Uria ke medan perang paling ganas, agar dia terbunuh.  Setelah Uria tewas, Daud pun mengambil Batsyeba sebagai istrinya. Allah mengetahui kelicikan Daud, melalui Nabi Nathan, Daud diperingatkan dan dihukum Allah.

Nabi Nuh pun pasti tak bebas dari sifat-sifat buruk manusia seperti ini. ***

Artikel terkait:

“Noah”  Tidak Lolos Sensor, LSF Takut atau Sepaham dengan Ormas Anarkis?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun