[caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="(Sumber: Al-khilafah.org)"][/caption]
Sebenarnya kita ini seharusnya tertawa atau menangis menyaksikan fenomena caleg-caleg gagal yang menderita stres, depresi berat, bahkan sampai gila ini? Jumlahnya pun bukan main-main, jika ditotalkan di seluruh Indonesia, caleg-caleg gagal jenis ini, mulai dari DPRD II sampai DPR RI jumlahnya bisa mencapai angka seribuan!
Belajar dari pengalaman Pemilu Legislatif yang lalu, sebelum Pileg dimulai, rumah-rumah sakit jiwa (RSJ) di berbagai kota pun sudah mempersiapkan dirinya masing-masing dalam rangka menerima pasien-pasiennya yang berasal dari caleg-caleg gagal itu. Persiapan dini RSJ-RSJ itu pun tidak sia-sia, setelah Pileg 2014 ini berlangsung dan hasilnya sudah diketahui, mulai berdatanganlah para caleg gagal yang menderita gangguan jiwa itu ke RSJ-RSJ itu. Ini masih mendingan, ada yang malah tambah memperusak dirinya sendiri dengan bukan mendatangi rumah sakit untuk mengobati gangguan jiwanya itu, malah berobat ke paranormal lagi! Maka bertambah tak normallah jiwanya.
Gangguan jiwa itu, mulai dari stres, depresi berat sampai gila benaran itu, sesungguhnya bertolak dari kualitas karakter dari mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif itu. Yakni, sejak awal ambisi besar itu didasarkan semata-mata hanya untuk mencari kekuasaan demi memperkayakan dirinya. Menjadi anggota legislatif hanya dipandang sebagai cara untuk mencari mata pencaharian, menjadi orang kaya, bukan dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat.
Oleh karena itu segala cara pun ditempuh, mulai dari yang masuk akal sampai di luar akal sehat, seperti menggunakan modal usahanya sendiri yang cukup untuk berkampanye, sampai pergi ke paranormal minta jimat dan sejenisnya, bertapa di gua-gua, dan menjalani ritual-ritual tertentu yang benar-benar tidak rasional.
Bonek (bondo nekad, hanya bermodalkan nekad) sudah terkenal sebagai sebutan bagi supporter klub sepakbola Persebaya Surabaya. Tidak masalah menjadi bonek kalau hanya untuk menjadi supporter sepak bola, tetapi sungguh tinggi risikonya kalau “ilmu bonek” juga diterapkan ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tetapi, faktanya, caleg-caleg gagal itu kebanyakan berasal dari mereka yang menggunakan “ilmu bonek” itu.
Yaitu, tidak punya dana yang cukup untuk menjadi caleg, tetapi tetap nekad maju tak gentar. Untuk menutupi kekurangan dana itu, setelah modal sendiri terkuras habis, dicarilah pinjaman kanan-kiri, dari anggota keluarga/kerabat, teman, kolega, dan sebagainya. Dengan harapan jika berhasil menjadi anggota legislatif, mereka akan mencari “ceperan-ceperan” alias korupsi untuk membayar hutang-hutang itu. Setelah hutang lunas, tinggal mencari keuntungan dan kekayaan selama lima tahun ke depan, menjadi orang kaya yang duduk di kursi empuk sambil tiduran di ruang sidang.
Tetapi, mimpi indah itu mendadak menjadi kenyataan yang super buruk, ketika ternyata mereka gagal menjadi anggota legislatif. Raihan suaranya sangat minim, atau bahkan nihil sama sekali. Padahal sudah terlanjur keluar banyak sekali duit, termasuk duit untuk politik uang (money politics). Namun, politik uang pun saat ini sudah banyak yang tidak berguna lagi. Rakyat sudah pintar-pintar menghadapi caleg-caleg kotor yang sebetulnya lebih tepat disebut camal, cagar, atau caram, calon maling, calon garong, atau calon rampok uang negara. Prinsip: “Terima uangnya, terima bantuannya, tetapi pilihan tetap ditentukan berdasarkan hati nurani sendiri,” rupanya benar-benar semakin banyak dipakai oleh rakyat pemilih. Berdampak pada melonjaknya caleg-caleg sakit jiwa.
[caption id="" align="aligncenter" width="184" caption="(Kapanlagi.com)"]
Para caleg gagal penyebar politik uang tanpa malu lagi kembali bergerilya untuk meminta kembali uang atau bantuan materi lainnya yang telah dia sebarkan sebelumnya itu dari warga, maunpun masjid-masjid, dengan alasan uang sudah dikasih, tetapi mereka tidak memilihnya.
Seharusnya menghadapi kejadian-kejadian seperti itu, yang dengan sendirinya telah membuktikan telah terjadinya politik uang itu, Banwaslu segera melakukan tindakan hukum lebih lanjut, melaporkan yang bersangkutan ke polisi untuk diproses hukum selanjutnya. Tetapi, dari sekian banyak kasus itu, kita tidak mendengar Banwaslu melakukan hal demikian. Jangan-jangan orang-orang Banwaslu juga menderita semacam gangguan jiwa, ya?
Simak saja beberapa contoh berita di bawah ini:
-RSJ Menur Siapkan 35 Kamar untuk Caleg Depresi,
-RSJ Solo Siap-siap Tampung Caleg Stres,
-Beragam Ulah Caleg Gagal, Jadi Gila Sampai Bugil di Jalan!
-180 Ribu Caleg Berpotensi Gila!
-Caleg Gagal Cirebon Kesulitan Cari Tempat Berobat,
-Gagal, Caleg Demokrat Minta Kompor Gasnya Kembali,
-Sejumlah Caleg Minta Kembali Sumbangan untuk Masjid,
-Gagal, Caleg PPP Batal Sumbang 2 Kubah Masjid,
-Tak Dapat Suara, Caleg Gagal PKS Minta Uangnya Dikembalikan,
-Suara Tak Sampai, Caleg PAN Minta Warga Kembalikan Rp. 50.000.
[caption id="" align="aligncenter" width="368" caption="Kamar VIP disediakan juga untuk caleg gagal (Indopos.com)"]
Di Harian Kompas, Sabtu, 12 April 2014, ada artikel mengenai caleg-caleg depresi yang ke paranormal untuk mengobati depresi mereka itu.
Salah satunya bernama Witarsa Winata (33), kader Partai Demokrat yang menghabiskan Rp. 250 juta untuk mengusung istrinya, Nur Asiyah Jamil (35), dalam Pileg 2014 ini. Istrinya maju sebagai caleg untuk DPRD Jawa Barat di daerah pemilihan Kota/Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kabupaten Indramayu. Namun meskipun uang itu yang berasal dari menguras habis semua hasil usaha jual-beli motor dan pinjam sana-sini, telah dipakai untuk berbagai kegiatan kampanye, ternyata Nur Asiyah gagal total, maka bergabunglah dia dan suaminya di dalam “persatuan caleg gagal dan stres/depresi/gila.”
Menariknya, Witarsa sempat melontarkan keluh-kesahnya dengan menyalahkan para konstituen yang tidak memilih istrinya itu meskipun dia akui telah membagi-bagi uang kepada mereka. Dia malah menuduh mereka memperalat dia dan istrinya untuk memperoleh uang dari mereka.
“Saya kecewa dengan konstituen yang menerima uang. Sebab, setelah menerima uang, mereka belum tentu mencoblos caleg yang memberikan uang. Ya, mereka ini pinter-pinter sekarang,” ujarnya.
Ujang Busthomi, seorang paranormal, yang mengelola Pondok Al-Busthomi, di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, mengaku dalam tiga hari terakhir dia telah didatangi oleh tujuh caleg gagal yang meminta bantuannya untuk menenang pikiran mereka. Di Pileg 2009, Buthomi mengaku menangani 67 caleg gagal yang depresi. Untuk Pileg kali ini diduga jumlahnya lebih banyak lagi karena banyak parpol besar yang hasilnya jeblok.
Dari pengakuan para pasiennya, Buthomi menginformasikan, “Ada caleg yang menyebar amplop sampai 1.500 buah, tetapi suaranya hanya 230. Ada yang menyebar 700 amplop, tetapi raihannya cuma 99 suara. Ada yang memberikan 450 amplop, tetapi suaranya hanya 24.”
Ada yang mempersalahkan sistem pencalonan anggota legislatif yang salah, sehingga membuat biayanya sangat besar, sehingga membuat kerugian besar bagi para caleg itu kalau gagal, yang kemudian berdampak pada masalah kejiwaan mereka. Tetapi menurut saya, sistem pengrekrutmen kader parpol juga perlu dipertanyakan, apa kriteria dan persyaratanya, sehingga bisa memperoleh kader-kader yang bermental demikian.
Demikian juga dengan sistem penerimaan caleg, apakah persyaratannya sedemikian longgarnya sampai bisa lolos sedemikian banyak caleg bermental rawan seperti ini. Apakah tidak ada suatu seleksi dan test psikologi bagi para caleg?
Memang. sangat memprihatinkan fenomena unik tetapi konyol yang terjadi di setiap Pemilu di negeri ini. Sepengetahuan saya, hanya di Indonesia yang bisa begini.
Tetapi, sebenarnya, kita juga patut bersyukur karena para caleg itu tidak sampai lolos ke parlemennya masing-masing. Karena terbukti karakter dan mental mereka seperti ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="(Kaskus.com)"]
Sebenarnya, para caleg gagal yang mengalami masalah kejiwaan, sehingga menghantarkan mereka bukan ke gedung parlemen, tetapi ke gedung RSJ itu tidak membuat kita khawatir. Yang membuat kita khawatir justru pasti ada saja para caleg di Pileg 2014 ini yang bermental sama dengan para caleg gagal itu, tetapi tidak menghantarkan mereka ke gedung RSJ seperti teman-temannya, malah karena berhasil lolos, menghantarkan mereka ke gedung parlemen. Maka, kualitas macam apakah yang bisa kita harapkan dari parlemen kalau didominasi oleh anggotanya yang bermental seperti ini? Tak akan beda jauh dengan yang sekarang ini, bukan?
Jadi, tentu saja lebih berbahaya caleg yang bermental sama, tetapi lolos ke gedung parlemen, ketimbang mereka yang gagal dan ke gedung RSJ. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H