Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Presiden, Mungkin Memang Kehendak yang Maha Kuasa

16 April 2014   08:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397584531239041230

[caption id="attachment_303451" align="aligncenter" width="471" caption="Kaos relawan Jokowi Presiden, yang menggambarkan Jokowi mirip dengan Jenderal Besar Soedirman (Antaranews.com/liputan6.com)"][/caption]

Sebenarnya saya juga termasuk orang yang “kecewa” dengan penetapan Jokowi sebagai capres sekarang ini. Maunya saya sih, nanti di Pilpres 2019 saja. Alasan utamanya adalah Jokowi itu masih Gubernur DKI Jakarta sampai 2017 nanti. Sejatinya seorang pejabat seperti ini harus berkomitmen untuk menyelesaikan tugasnya sampai selesai sesuai dengan periode yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apalagi Jokowi sendiri sudah berjanji bahwa dia tidak tertarik ikut nyapres di Pilpres 2014 nanti. Berkali-kali dia mengatakan bahwa ia hanya tertarik untuk fokus mengurus Jakarta dengan aneka macam problemanya. Apalagi sebelumnya Jokowi juga tidak menyelesaikan masa jabatannya di Solo sebagai Walikota di sana. Baru dua tahun menduduki jabatannya di periode kedua itu sudah loncat ke Jakarta sebagai Gubernur.

Kini terjadi lagi di DKI Jakarta. Baru dua tahun sebagai DKI 1, sudah mau loncat lagi ke RI 1. Bukankah lebih baik kalau Jokowi lebih dulu membuktikan dirinya mampu mengurus Jakarta dengan cara dan hasil yang jauh lebih baik daripada para pendahulunya? Dengan demikian modalnya untuk ke RI 1 di tahun 2019 akan menjadi lebih kuat daripada sekarang?

Tetapi, apa yang disebut sebagai “kehendak alam,” tidak selalu bisa sesuai dengan kehendak kita. Kita menghendaki begini, tetapi alam mengatakan begitu akan lebih baik bagi kita, dan itulah yang akan terjadi. Demikianlah fenomena Jokowi dalam Pilpres 2014 ini. “Kehendak alam”-lah yang menghantar Jokowi untuk ikut nyapres di Pilpres 2014 melalui mandat yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati pada Jumat, 14 Maret 2014 lalu.

Boleh-boleh saja Jokowi disebutkan sebagai “kutu loncat”. Toh, terbukti dengan predikat demikian, mayoritas warga DKI Jakarta tetap memilihnya sebagai pimpinan mereka, sedangkan warga Solo rela melepaskan Jokowi untuk menjadi pimpinan di provinsi terbesar di Indonesia, sekaligus miniatur Indonesia itu. Sekarang, giliran warga Jakarta yang rupanya akan rela melepaskan Jokowi untuk menjadi pimpinan mereka secara nasional.

Seandainya bukan inisiatif dan mandat dari Megawati, Jokowi juga tidak akan menyodorkan dirinya untuk dicalonkan. Jokowi pasti akan masih berkomitmen untuk meneruskan masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tanpa pusing-pusing untuk berpikir nyapres. Tetapi, karena Jokowi sangat percaya kepada Megawati, yang baginya adalah seorang negarawan sejati, yang sungguh-sungguh hanya berpikir bagaimana mensejahterakan rakyat Indonesia menuju sebuah Indonesia Raya, maka Jokowi sangat patuh kepada apa yang dikatakan Megawati. Bagi Jokowi apa yang dimandatkan Megawati itu semata-mata demi kemajuan bangsa dan negara ini, termasuk di dalamnya ketika memberi mandat kepadanya untuk ikut mencalonkan diri sebagai presiden RI.

Jokowi merasakan mandat dari Megawati kepadanya itu merupakan suatu tanggung jawab yang terbesar dalam hidupnya sampai akhir hajatnya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara secara nasional, tidak sebatas DKI Jakarta lagi.

Kalau tidak berpikir seperti itu, tentu Megawati akan memaksakan dirinya untuk maju lagi sebagai capres untuk ketiga kalinya, atau memilih anaknya, Puan Maharani yang maju ketimbang orang lain. Tetapi karena berdasarkan pemikirannya sebagai seorang negarawan, maka Megawati pun berpikir realistis, bagaimana kehendak kuat dari rakyat yang menghendaki Jokowi-lah yang maju, bukan Megawati, apalagi Puan Maharani. Megawati juga melihat ada sosok Soekarno pada diri Jokowi, maka itu dia akhirnya mengambil suatu keputusan final, Jokowi-lah capres 2014 dari PDIP. Megawati percaya bangsa dan negara ini membutuhkan pimpinan seperti Jokowi.

Ganang Soedirman, Ketua Yayasan Panglima Besar Soedirman (YPBS), yang juga adalah cucu pertama Jenderal Besar Soedirman, pernah mengatakan, ketika merespon pengdeklarasian Jokowi sebagai capres 2014 dari PDIP bahwa marwah Panglima Besar Soedirman ada pada diri Jokowi. Jokowi dikatakan adalah simbol perubahan dalam sejarah Indonesia.

"Oleh karenanya kami dari Yayasan Panglima Besar Soedirman, menyampaikan kepada publik bahwa marwah Panglima Besar Soedirman kami amati ada pada diri Jokowi," kata Ganang Soedirman, ketika itu (Liputan6.com, 15/3/2014).

Saya pernah menulis di Kompasiana mengenai proses Jokowi yang semula “hanyalah” seorang pengusaha mebel di Solo, kemudian secara “tak sengaja” menjadi Walikota Solo, kemudian “tak sengaja” lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dan, apakah kelak Jokowi juga akan “tak sengaja” menjadi presdien RI? Begitu saya bertanya di artikel saya itu.

Dengan pendeklarasian Jokowi sebagai capres PDIP pada 14 Maret lalu, tinggal selangkah lagi pertanyaan itu akan terjawab tuntas. Tepatnya pada 9 Juli 2014 saat Pilpres diselenggarakan. Saya merasakan adanya getaran kuat yang menyatakan pada saat itu Jokowi akan mencapai puncaknya dengan “tak sengaja” pula menjadi Presiden RI.

Yang saya maksudkan dengan “tak sengaja” itu adalah proses Jokowi menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan kelak Presiden RI itu bukan sesuatu yang sudah diskenariokan oleh Jokowi sebelumnya, tetapi semuanya melalui proses yang di luar inisiatif Jokowi sendiri. Pihak lainlah dalam hal ini Megawati dan para pengurus teras PDIP-lah yang menghendaki -- karena melihat sosok seorang pimpinan sejati ada pada Jokowi, lalu memberi mandat kepada Jokowi untuk maju di dalam Pilkada Solo 2005, 2010, Pilkada DKI Jakarta 2012, dan kini puncaknya adalah Pilpres 2014.

Jokowi adalah tokoh perubahan sejati. Dialah capres pertama dalam sejarah dan satu-satunya yang berani belum apa-apa sudah mengatakan "Tidak!" untuk bagi-bagi kursi, bagi-bagi kekuasaan, bagi-bagi kepercayaan rakyat, hanya demi mendapat kekuasaan itu sendiri.  Sebaliknya Gerindra belum apa-apa sudah menyatakan bagi-bagi kekuasaan dalam berkoalisi adalah suatu keharusan yang tidak bisa dihindari (demi mendapat kekuasaan itu sendiri).

Bisa jadi inilah perjalanan seorang pimpinan bangsa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, agar kita jangan terulang lagi sampai mengalami dipimpin oleh sosok yang serupa tapi tak sama dengan rezim Soeharto, yang pernah berkuasa selama 32 tahun dengan gaya diktator dan militeristis.

Bukankah  bakal capres yang bersangkutan sendiri pernah memberi isyarat ke arah itu, ketika berkampanye di Pileg 2014 menyindir Jokowi?

Katanya, "Kita saat di militer dipimpin dengan keras, komandan kita cerewetnya tidak main-main. Mereka singa anak buahnya pun menjadi singa. Tapi kalau Singa dipimpin kambing, nanti singanya bersuara Kambing!"

Yang pasti selama memimpin Solo dan DKI Jakarta, kita tidak melihat ada sosok "Kambing" pada diri Jokowi. Meskipun dia secara fisik kerempeng dan sederhana, etapi di balik itu terdapat sosok pimpinan yang punya integritas tinggi, dan tegas dalam menghadapi segala ketidakberesan di birokrasi pemerintahannya, sehingga "singa-singa" yang berjiwa preman dan koruptor pun disingkirkannya.

***

Artikel terkait:

-Akankah Jokowi "Tak Sengaja" Menjadi Presiden RI?

- Jokowi "Tak sengaja" Menjadi Presiden Semakin Dekat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun