[caption id="attachment_305018" align="aligncenter" width="601" caption="Koalisi dan dukungan PPP kepada Gerindra dan Prabowo Subianto, 18/04/2014, tetapi kemudian dibatalkan pada 23 April 2014 (Kompas.com)"][/caption]
Ternyata, kejadian PPP membatalkan dukungannya kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden bukan baru pertama kali ini terjadi. Tetapi dengan yang ini, sudah kali keduanya. Bahkan di kali pertama, disertai dengan adegan suhu yang membara dalam pertemuan antara para petinggi partai, telepon dilemparkan, dan letusan senjata api (?) pun terdengar.
Menurut Majalah Tempo edisi terbaru (28 April – 4 Mei 2014), peristiwa itu terjadi di rumah adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada hari Minggu dini hari, 10 Mei 2009. Ketika itu, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali bersama koleganya, Suharso Monoarfa, Hasrul Azwar, dan Joko Purwanto, menemui Prabowo. Hadir pula Ketua Umum PAN ketika itu Sutrisno Bachir dan rekannya, Totok Daryanto.
Mereka semua duduk di sebuah meja persegi panjang. Prabowo di kepala meja, di seberangnya duduk Hashim dan Hasrul. Suryadharma, Sutrisno, dan Totok di sisi meja sebelah kiri Prabowo. Suharso duduk di sisi kanan. Joko berdiri di belakang Hashim. Hadir juga Bambang Kristiono, mantan Komandan Tim Mawar Kopassus Grup IV, yang terlibat penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998, yang telah bergabung dengan Gerindra.
Ketika itu yang lebih banyak bicara Suharso, sedangkan Suryadharma lebih banyak diam. Suharso menjelaskan kepada Prabowo hasil keputusan rapat konsultasi PPP yang telah digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta, sehari sebelumnya. Bahwa meskipun sebelumnya PPP menyatakan mendukung Prabowo sebagai calon presiden di Pilpres 2009, tetapi ternyata hasil rapat itu memutuskan lain. Secara resmi Partai Ka’bah itu memutuskan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk maju lagi sebagai calon presiden 2009.
Perubahan sikap politik PPP itulah yang membuat Prabowo berang. Apalagi, PAN juga mengambil sikap serupa. Prabowo tidak bisa mengendalikan emosinya, dia meraih telepon yang ada di dekatnya, lalu dilempar ke arah Suharso. Untung Suharso masih bisa secara reflek menghindar, telepon itu pun berantakan membentur tembok. Mantan Danjen Kopassus itu pun lalu bergegas meninggalkan ruangan pertemuan, tak lama kemudian terdengar suara keras seperti bunyi letusan senjata api. Apakah itu memang bunyi letusan yang berasal dari senjata api? Mungkinkah saat itu Prabowo meluapkan kemarahannya dengan menembak senjata apinya ke udara? Tidak ada yang bisa memastikan, karena tidak ada yang melihatnya. Mereka yang hadir di ruangan itu hanya mendengar suara letusan keras, serupa bunyi letusan senjata api.
Suharso yang diminta konfirmasi oleh Tempo, tidak mau berkomentar. “Saya no comment,” ujarnya. Sedangkan Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi mengakui, bosnya itu pernah memarahi Suryadharma pada 2009, tetapi kemudian hubungan keduanya semakin dekat.
Tempo juga sempat mengklarifikasikan langsung kepada Prabowo ketika mewawancarainya di akhir Oktober tahun lalu, di rumah Prabowo, di Desa Bojong Koneng, Bogor. Prabowo tidak menyangkalnya, dia memberi penjelasannya kepada Tempo, tetapi sifatnya off the record.
Dengan batalnya PPP dan PAN mendukungnya sebagai calon presiden, Prabowo pun merapat ke PDIP. Hasilnya, dia maju berpasangan dengan Megawati di Pilpres 2009 itu. Megawati-Prabowo, pasangan capres-cawapres. Tetapi, mereka dikalahkan pasangan SBY-Budiono.
Dengan latar belakang peristiwa di tahun 2009 itulah yang mungkin membuat Suryadharma berani nekad mengatasnamakan partainya datang untuk mendukung Gerindra dan Prabowo pada kampanye akbar Gerindra di Gelora Bung Karno, pada Minggu, 23 Maret 2014, yang dilanjutkan pada Jumat 18 April 2014, dengan pengdeklarasian koalisi Gerindra-PPP dan mendukung Prabowo sebagai calon presiden di Pilpres 2014 ini. Peristiwa selanjutnya sudah kita semua ketahui, hampir semua petinggi PPP marah atas blunder Suryadharama itu, legitimasi Suryadharma sebagai ketua Umum PPP dihilangkan, dia terancam akan dicopot dari jabatannya itu kelak di Munas IV PPP.
Pada Munas III PPP di Bogor (21-23 April 2014) diputuskan PPP belum berkoalisi dengan partai manapun, termasuk dengan Gerindra, dan belum mendukung calon presiden siapa pun, termasuk Prabowo Subianto. Deklarasi Suryadharma-Prabowo itu pun dibatalkan. Perkembangan terakhir, PPP malah mendekati PDIP untuk berkoalisi. Jika itu diwujudkan, tentu saja PPP akan mendukung juga Jokowi sebagai calon presiden 2014-2019, bukan Prabowo. Dengan demikian bisa dikatakan peristiwa yang mirip di tahun 2009 itu, terulang kembali antara PPP (Suryadharma Ali) dengan Prabowo Subianto. PPP mendukung Prabowo, tetapi kemudian membatalkannya. Dengan terjadinya peristiwa ini, masih akan baikkah hubungan Prabowo dengan PPP, khususnya dengan Suryadharma Ali?
Peristiwa di rumah Hashim pada Minggu dini hari, 10 Mei 2009 itu, memperkuat sinyalemen bahwa Prabowo Subianto adalah sosok yang temperamental, sulit mengendalikan emosi kemarahannyannya.
Di dalam hubungannya dengan Megawati dan Jokowi baru-baru ini pun sesungguhnya kelihatan lagi karakter Prabowo yang temperamental. Merasa dikhianati Megawati (dalam Perjanjian Batu Tulis) dan dibohongi Jokowi (komitemen menghabiskan masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta), Prabowo pun “mengamuk” dengan serangan pernyataan-pernyataannnya yang melecehkan Megawati dan Jokowi, ketika berkampanye di masa Pileg 2014.
Lewat pernyataan-pernyataan sarkastisnya, Prabowo menilai Jokowi sebagai calon presiden bonekanya Megawati, Jokowi calon pimpinan yang lembek seperti kambing, mencla-mencle, pembohong, penipu rakyat, dan seterusnya.
Sikap yang tidak pantas dilakukan oleh seorang calon presiden. Bagaimana bisa sikap ini ditolerir, kalau berhadapan dengan pesaing di pilpres saja dia bersikap demikian. Bagaimana nanti kalau sudah jadi presiden berhadapan dengan oposisinya, lawan politiknya, dan rakyat yang mengkritiknya, yang biasanya keras, bahkan terlalu vulgar – seperti yang pernah dialami SBY? Bisa-bisa gaya pemerintahan otoriter Orde Baru pun digunakan lagi.
Ketika itu (29/03/2014), pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Tjipta Lesmana sampai mengatakan pernyataan-pernyataan Prabowo itu tidak pantas untuk disampaikan karena terlalu sadis, sedangan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Jenderal (Purnawirawan) Agum Gumelar yang juga adalah atasan Prabowo ketika keduanya masih aktif di Kopassus, pernah mengingatkan Prabowo agar jangan suka menghujat, karena itu di luar kewajaran.
Agum Gumelar berkata (23/04/2014), "Ketika seseorang yang namanya Prabowo dan timnya berkeinginan menggapai cita-citanya, kami berharap lakukan itu dengan cara menyebarluaskan pemikiran yang brilian milik Prabowo kepada rakyat Indonesia. ... Sebarluaskan tanpa caci-maki, tanpa hujat-menghujat, tanpa melakukan tindakan di luar kewajaran."
[caption id="attachment_305017" align="aligncenter" width="581" caption="Pangab Jenderal Wiranto mencopot tanda kepangkatan Letjen Prabowo Subianto, Agustus 1998 (Sumber: Atjehcyber.net)"]
***
Artikel terkait:
Ingkar Jokowi vs Ingkar Prabowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H