[caption id="attachment_307928" align="aligncenter" width="576" caption="Prabowo sedang menabur bunga di salah satu makam pahlawan, dalam ziarahnya bersama Hatta Rajasa di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa, 20/05/2014 (Tribunnews/Herudin)"][/caption]
Selasa, 20 Mei 2014, calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berziarah ke Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. Dengan didampingi enam petinggi parpol pendukung, mereka berziarah di lima makam berturut-turut. Yakni, makam mantan Wakil Presiden RI Adam Malik, makam Jenderal TNI Ahmad Yani, makam Letnan Jendral Suprapto, makam Jenderal Besar A.H. Nasution, dan makam Pahlawan Nasional Agus Salim.
Seusai ziarah, Prabowo mengatakan, kelima pahlawan itu memiliki jasa yang berarti bagi dirinya. "Saya memang merasa dibesarkan oleh Pak Adam Malik, Pak Nasution. Kami minta izin ke pahlawan pendiri kita karena kita punya niat untuk memegang mandat bagi rakyat untuk membenahi bangsa ini melangkah ke tahapan yang lebih baik." (Kompas.com)
Semoga segera Prabowo Subianto (dan Hatta Rajasa) juga tak lupa berziarah ke makam korban kerusuhan Mei 1998. Salah satunya, yang kebetulan baru saja dibangun monumennya, dengan nama Monumen Reformasi 1998, dan diresmikan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pada Minggu, 18 Mei 2014, lokasinya di Taman Pemakanan Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur (dekat perbatasan wilayah DKI Jakarta dengan Provinsi Jawa Barat). Di sana terdapat 113 makam korban tewas kerusuhan yang dikubur secara massal.
Ketika menyampaikan pidatonya di acara peletakan batu pertama pembangunan Monumen Reformasi 1998 itu, Ahok menyatakan harapannya bahwa presiden baru (2014-2019) yang terpilih kelak dapat menuntaskan kasus misteri Tragedi Mei 1998.
Menurut Ahok, penuntasan penanganan kasus tersebut akan menjadi salah satu dasar dan bukti bahwa kejadian semacam itu tidak akan terulang lagi di masa mendatang.
"Kita harus dipimpin oleh presiden yang berani menjamin tak ada lagi kasus serupa," kata Ahok. Dia juga menegaskan bahwa pengusutan Tragedi Mei 1998 menunjukkan pemerintahan yang taat konstitusi. Ia mengingatkan agar presiden terpilih tak hanya menuruti keinginan segelintir orang dan mengabaikan undang-undang. "Presiden selanjutnya harus berani mati demi konstitusi, bukan demi konstituennya," ucap Ahok (Tempo.co).
Kepada siapa capres yang sekarang lebih bisa kita percayakan untuk menuntaskan pengusutan Tragedi Mei 1998, sebagaimana diharapkan Ahok, dan sudah pasti oleh kita semua itu? Apakah kepada Jokowi, atau kepada Prabowo?
Jokowi adalah orang sipil dan yang sudah pasti tidak mempunyai kaitan sejarah apapun, apalagi mempunyai indikasi terlibat di dalam peristiwa Tragedi Mei 1998 itu. Pada 1998, Jokowi bukan siapa-siapa, hanya seorang pedagang kecil biasa di Solo, yang bergerak di bidang permebelan. Sama sekali belum dikenal publik. Dengan kata lain Jokowi lebih bebas, tidak mempunyai beban untuk bisa memerintahkan pengungkapan misteri peristiwa Tragedi Mei 1998 itu, jika kelak dia yang menjadi presiden.
Sebaliknya dengan Prabowo Subianto, yang waktu itu adalah Danjen Kopassus dengan pangkat Letnan Jenderal TNI. Salah satu penanggung jawab utama kemanan nasional, termasuk Jakarta. Sudah sejak terjadinya kerusuhan Mei itu (13-15 Mei 1998) adalah sosok perwira TNI yang paling dicurigai berada di balik tragedi tersebut, meskipun sudah berulang kali pula dia membantahnya. Bahkan untuk Tragedi Trisakti, yaitu ditembak matinya empat orang mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998, konon Prabowo sampai berani bersumpah di bawah Al Quran bahwa dia tidak terlibat sama sekali.
Tetapi, apakah kita pernah mendengar Prabowo berani bersumpah, apalagi di bawah Al Quran bahwa dia tidak terlibat sama sekali dalam pecahnya kerusuhan besar di Jakarta setelah terjadinya penembakan mahasiswa Trisakti itu? Terutama pada 13 – 15 Mei 1998 yang merupakan puncak kerusuhan paling besar di Jakarta, yang diikuti beberapa kota lainnya, seperti di Solo dan Medan.
Apakah Prabowo juga berani bersumpah di bawah Al Quran bahwa dia tidak terlibat dalam kasus penculikan para aktivis pro-demokrasi, baik yang masih hidup, yang tewas, maupun yang sampai sekarang ini belum juga ditemukan?
Mantan Kepala Staf Kostrad (1998) Mayor Jenderal (Purnawirawan) TNI Kivlan Zen, pengikut setia Prabowo sejak dulu sampai sekarang, pada 28 April 2014 di sebuah acara debat di TV One membuat pengakuan bahwa dia tahu bagaimana nasib dan di mana para aktivis yang hilang itu berada. Kivlan mengaku, para aktivis yang hilang itu semua sudah tewas ditembak dan dibuang atau dikuburkan di suatu tempat. Tetapi, katanya, yang membunuh mereka itu adalah dari kelompok penculik lain, bukan dari Prabowo.
Ketika tentang pembunuhan para aktivis itu, Kivlan berkata-kata tanpa perasaan seolah-olah yang tewas dibunuh itu bukan manusia. Jika benar dia tahu, apakah mungkin Prabowo tidak tahu, termasuk tahu siapa sebenarnya kelompok penculik lain itu? Nah, apalah Prabowo berani bersumpah untuk hal ini? Termasuk berani berjanji hitam di atas putih bahwa dia akan mengungkapkan semua Tragedi Mei 1998 itu, terutama sekali jika dia terpilih menjadi presiden?
Bagaimana pun, terlibat atau tidak, sebagai salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Tragedi Mei 1998 itu, Prabowo pasti jauh lebih tahu mengenai apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam tragedi itu. Oleh karena itu dia jauh lebih besar beban tanggung jawabnya untuk mau bersumpah mengungkapkan misteri Tragedi Mei 1998 itu. Sangat tak patut jika dia tetap bersikukuh untuk menyimpan misteri tragedi berdarah itu bersamaan dengan pen-capresan-nya, apalagi sampai menjabat sebagai presiden.
Benar apa yang dikatakan Ahok tersebut di atas bahwa hanya dengan presiden yang berani berjanji dan bertindak nyata untuk mengungkapkan peristiwa Tragedi Mei 1998 itu, maka bisa diharapkan peristiwa serupa itu tidak akan terulang lagi. Karena dengan terungkapnya kasus besar tersebut, dan diproses hukumnya para pelaku dan otaknya, maka lebih bisa diharapkan peristiwa serupa itu tidak terulang lagi. Karena siapa saja yang hendak mengulanginya lagi pasti akan berpikir seribu kali, karena cepat atau lambat pasti diungkapkan, dan mereka akan menanggung risiko hukumnya.
Jika peristiwa seperti itu tidak pernah diungkapkan, maka besar kemungkinan bisa terulang lagi, baik oleh sutradara dan aktor-aktor yang sama atau yang lain, karena mereka berpikir, toh, apa yang mereka lakukan itu akan sama dengan peristiwa Mei 1998 yang juga tidak pernah diungkapkan.
Sebagai langkah awal untuk membuktikan keberaniannya untuk mengungkapkan peristiwa Tragedi Mei 1998 itu, karena Prabowo (dan Hatta Rajasa) sudah melakukan ziarah di TMP Kalibata itu, maka seperti saran saya di atas, alangkah baiknya mereka juga melakukan ziarah di makam korban tewas Tragedi Mei 1998 itu. Termasuk melakukan ziarah di makam empat orang mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak itu, yakni, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Sebab bagaimana pun “pengorbanan” mereka sebagai “tumbal” dari Tragedi Mei 1998 itu ikut berjasa dalam tumbangnya rezim otoriter Soeharto, berjalannya proses reformasi (meskipun belum maksimal), dan terciptanya iklim demokrasi yang sedemikian terbukanya seperti sekarang. Para “penikmat” kekuasaan saat ini, maupun mereka yang ingin menjadi penguasa saat ini tidak boleh melupakan “pengorbanan” jiwa-jiwa yang melayang di dalam Tragedi Mei 1998 itu.
Sejak 1998, setiap tahun di bulan Mei, sampai sekarang tuntutan untuk mengusut tuntas Tragedi Mei 1998 / Tragedi Trisaksti 12 Mei 1998 terus berlangsung. Enam belas tahun sudah berlalu, sekarang, Prabowo Subianto berkehendak kuat untuk menjadi presiden baru (2014-2019), tetapi kita belum mendengar dia akan memenuhi tuntutan tersebut.
Tuntutan itu kemungkinan besar tidak akan pernah mendapat perhatian serius dari kubu Prabowo. Karena, bukankah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon pernah mengatakan bahwa pelanggaran HAM dalam Tragedi Mei 1998 itu bukan sesuatu yang penting lagi untuk diperhatikan? Fadli mengklaim bahwa Gerindra telah melakukan survei ke masyarakat. Hasilnya, saat ini masyarakat sudah tak peduli dengan kasus tahun 1998. Yang penting sekarang, rakyat bisa diberi makanan yang cukup.
"Kami sudah survei ke masyarakat, yang penting sekarang ini soal pangan, sembako, dan sejenisnya. Untuk soal pelanggaran HAM itu enggak dianggap penting oleh masyarakat," ujar Fadli Zon, Kamis (7/11/2013) (Okezone.com)
Faktanya, sampai sekarang pun tuntutan pengusutan tuntutan Tragedi Mei 1998 masih terus berkumandang, apalagi ketika publik melihat salah satu tokoh yang diduga ikut bertanggung jawab dalam tragedi itu kini hendak menjadi presiden. Tuntutan itu justru semakin menguat.
[caption id="attachment_307931" align="aligncenter" width="600" caption="Tuntutan pengusutan Tragedi Mei 1998 pada Mei 2012 (Antaranews.com)"]
[caption id="attachment_307930" align="aligncenter" width="603" caption="Tuntutan pada Mei 2013 (Merdeka.com/Vany)"]
Sampai dengan 1998, Prabowo merupakan bagian dari mesin-mesin militer pembasmi semua gerakan pro-demokrasi anti-Soeharto. Saat itu semua yang berani melawan Soeharto, akan dengan mudah dicap sebagai pelaku subversif, musuh negara, yang bisa ditangkap dengan segala cara, termasuk dengan penculikan. Tetapi, sekarang ini setelah gerakan pro-demokrasi itu yang menang, Prabowo ikut menikmatinya. Oleh karena itu sebagai bentuk penyesalan (selama ini Prabowo tidak pernah menyatakan penyesalannya atas terjadinya Tragedi Mei 1998) itu, seharusnya dia lebih memperhatikan korban Tragedi Mei itu. Di antaranya dengan melakukan ziarah di makam-makam mereka, dan membuat pernyataan penyesalannya atas terhadinya tragedi tersebut, dan membuat ikrar akan membongkar misteri Tragedi Mei 1998 itu. Jangan hanya membantah dan bersumpah tidak terlibat.
Prabowo mengatakan, Adam Malik dan A.H. Nasution adalah dua tokoh besar yang membesarkan hingga bisa menjadi sosok seperti sekarang ini. Tetapi, Prabowo juga harus mengakui bahwa rakyat kecil yang menjadi korban Tragedi Mei 1998 itu juga ikut berperan besar membuat dirinya diberi kesempatan untuk menikmati alam demokrasi seperti sekarang ini dengan pen-capres-annya itu.
Hatta Rajasa bilang, ziarah dia bersama Prabowo di TMP Kalibata itu merupakan bagian dari budaya yang menghormati para pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Katanya, "Saya kira ini sebuah budaya, tradisi dan agama agar kita betul-betul menghormati pahlawan pendiri bangsa dan itu suatu budaya kita patriotisme." (Kompas.com).
Hatta Rajasa juga harus mengakui budaya menghormati para pahlawan yang dicetuskannya itu juga secara analogi berlaku bagi korban Tragedi Mei 1998, maka itu seharusnya dia dan Prabowo juga tidak melupakan mereka. Bukan hanya sibuk membersihkan diri dari tragedi tersebut, selain daripada itu masa bodoh.
Kalau Jokowi lebih suka langsung blusukan ke tengah-tengah rakyatnya, rupanya Prabowo dan Hatta Rajasa lebih suka “blusukan” di makan pahlawan, minus makam korban Tragedi Mei 1998. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H