Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polisi dan SBY Pro "Obor Rakyat"?

6 Juli 2014   06:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:18 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314180" align="aligncenter" width="546" caption="Salah satu edisi "][/caption]

Awal Juli ini, seorang perempuan bernama Sue Wilkins (55) membuat Australia heboh. Gara-garanya adalah aksi rasismenya yang dialakukan di atas sebuah komuter jurusan  Central Coast & Newcastle, Sydney, Australia. Aksinya itu direkam oleh penumpang lain, kemudian diunggah di YouTube pada 2 Juli 2014, dengan nama pengunggah: Karrem Abdul. Meskipun peristiwa rasis seperti ini bukan pertama kali terjadi, tetapi tetap saja menarik perhatian besar di sana. Sampai Artikel ini dimuat, video itu sudah dilihat lebih dari 655.000 kali, dan mendapat tanggapan dari ribuan orang.

Peristiwa itu berawal dari Wilkins yang tidak mendapat tempat duduk karena semua tempat duduk di dalam komuter itu sudah penuh. Dia lalu meminta dua anak-anak laki-laki berusia 12 dan adiknya untuk berdiri, memberinya tempat duduk. Tetapi kedua bocah itu tak tergerak untuk melakukannya. Wilkins langsung emosi dan mulai mengumpat, dengan kata-kata kasar dia menghardik Jade Marr, ibu dua anak itu yang sedang berdiri di dekat situ. “Angkat anak-anak bogan (sampah) keparatmu dari tempat duduk ini!”

Lalu dia berbicara dengan seorang laki-laki yang berada di dekat Jade Marr, berkata-kata melecehkan pacar Marr sambil tertawa-tawa, “Dia hanya bisa mendapat seorang gook, dia tidak bisa mendapat kekasih lokal (Australia). Sangat menyedihkan. Dia hanya mendapat pasangan seorang gook!”  “Gook” merupakan sebutan hinaan untuk orang Asia di masa perang Vietnam.

Ketika Marr yang beretnis China itu hendak membela diri, Wilkins membalasnya dengan meniru-niru aksen China-nya, sambil menarik kedua matanya dengan jarinya meniru mata sipit orang China. “Kamu kembali ke China, ... ada apa di Hongkong? Ini negara saya!” lecehnya.

Wilkins pun terlibat pertengkaran dengan penumpang lain yang tidak senang dengan ulahnya itu.

Peristiwa itu langsung menarik perhatian polisi setempat. Berkat video di YouTube itu identitas Sue Wilkins dengan mudah diketahui. Keesokan harinya, polisi langsung ke rumahnya, dan menangkapnya, dibawa ke kantor polisi. Dalam bulan ini juga dia harus menjalani sidang pengadilan di sana dengan ancaman hukuman denda 500 dollar Australia. Wilkins telah menyatakan penyesalannya atas perbuatannya itu.

Kasus “Tabloid Rakyat”: Sikap Janggal Polisi dan SBY

Apa makna dari peristiwa ini? Maknanya adalah polisi di Australia benar-benar menegakkan hukum antirasisme yang berlaku di negaranya, yang sama sekali tidak toleran terhadap semua tindak pidana rasisme, sekecil apa pun itu. Meskipun korbannya hanya orang biasa. Mungkin hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Bagaimana jika itu terjadi di Indonesia, hampir pasti akan dianggap peristiwa kecil yang tidak penting diurus. Betapa tidak, ketika seorang calon presiden saja dihinakan secara rasis (SARA), polisi tidak melakukan tindakan apa-apa, apalagi kalau korbannya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, seperti kasus Jade Marr di Sydney, Australia itu.

Jadi, bandingkan dengan apa yang terjadi di negara ini. Yang punya dasar negara Pancasila, yang polisinya mempunyai slogan: “Melayani dan mengayomi.” Ketika kejahatan SARA terjadi selama berbulan-bulan, dan korbannya adalah seorang calon presiden Republik Indonesia. Caranya pun sudah sangat jauh di luar batas-batas kepatutan; menggunakan semua unsur SARA, yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan, semua difitnah dan dihinakan serendah-rendahnya kepada Jokowi, calon presiden itu. Itulah yang dilakukan oleh “tabloid Obor Rakyat,” sejak Maret 2014, sampai sekarang!

Tetapi, polisi hanya pasif, ogah-ogahan dalam melakukan tindakannya. Ketika akhirnya bertindak pun terkesan kuat hanya karena kuatnya desakan publik, karena takut dibilang berpihak (padahal memang berpihak?). Alasan-alasan yang dikemukakan pun tidak masuk akal. Seolah-olah mereka berbicara dengan orang-orang naif, yang semuanya tidak mengerti hukum.

Presiden SBY pun yang sebelumnya pernah beberapakali menyatakan perintahnya kepada TNI dan Polri untuk netral, dan memerintah kepada polisi untuk menindak dengan tegas semua pelanggaran, terutama kampanye hitam dalam Pilpres ini, hanya berdiam diri ketika semua fenomena janggal yang merendahkan polisi itu, termasuk dirinya sebagai seorang presiden, terjadi.

Ketika berbicara dalam pidatonya beberapa waktu lalu juga kelihatan bohongnya, mengatakan  suasana Pilpres semua berjalan aman, kondusif, tidak ada yang meresahkan masyarakat. Padahal jelas-jelas keberadaan “Obor Rakyat” selama berbulan-bulan itu telah meresahkan masyarakat, khususnya pesantren-pesantren yang menjadi sasaran “tabloid” itu. Belum lagi fitnah-fitnah teramat keji yang dilontarkan oleh sebuah stasiun televisi bernama TV One, yang sudah saking kalapnya, bingung mencari kesalahan Jokowi, lalu menuduh Jokowi telah merangkul kader-kader PKI sebagai pendukungnya! Bukan tak mungkin, ini juga merupakan taktik TV One, sengaja memprovokasi keributan atau anarkis untuk menciptakan imej negatif pada kubu Jokowi-JK.

Setyardi Budiono yang telah mengaku sebagai penanggung jawab penerbitan dan peredaran “Obor Rakyat”, yang ternyata juga adalah bagian dari Staf Kepresidenan SBY, sampai ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi pun, sama sekali tidak dikenakan tindakan apa-apa. Alasannya, pihak Istana (Presiden) menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Padahal, ketika Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana haji oleh KPK, SBY langsung mengisyarakatkan yang bersangkutan segera mengundurkan diri sebagai Menteri Agama, dan segera dikabulkan ketika hal itu dilakukan.

Ketika sikap polisi dan SBY seperti ini, lalu apa makna seruan SBY kepada polisi untuk melakukan tindakan tegas terhadap tindak pidana kampanye hitam SARA seperti itu? Hanya retorika! Itulah memang spesialisnya SBY.

Sekali lagi kelihatanlah antara ucapannya (tidak menolerir kampanye hitam) dengan tindakannya sering bertolak belakang. Setyardi jelas-jelas telah melakukan kegiatan kampanye hitam terburuk dan paling serius sepanjang sejarah, tetapi dibiarkan terus melancarkan aksinya itu. Sebab tindakan tersebut sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Jika saja masyarakat berhasil terprovokasi, maka potensi kemungkinan terjadinya kerusuhan SARA itu sangat besar. Apalagi dipanas-panasi juga dengan mengibaratkan Pilpres ini dengan perang Badar, perang antar umat Islam dengan kaum kafir. “Obor Rakyat” menyebutkan Jokowi dan para pendukungnya itu adalah “kaum kafir,” “musuh Islam.”

Jika, SBY serius, benar-benar berniat baik, minimal dia memerintah melalui Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, untuk menghentikan Setyardi. Tetapi itu tidak dilakukan, Setyardi tetap bebas untuk meneruskan aksinya itu. Kalau begini sikap SBY, jangan salahkan orang kalau curiga kepadanya ikut berperan, minimal tahu tentang visi dan misi “Obor rakyat” itu sesungguhnya.

Kecurigaan itu bisa semakin tebal dilihat dari sikap terakhirnya, yang dengan gampang dapat ditafsirkan sebagai dukungannya kepada pasangan Capres-Cawapres lawan Jokowi-JK itu, yaitu ketika Jumat malam kemarin (4/7/2014), di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, menerima pasangan Nomor 1 itu, berbuka puasa bersama sekaligus menyampaikan sikapnya kepada pasangan Capres itu.

Pada kesempatan itu SBY menyampaikan doa, dan lima nasihatnya kepada Prabowo jika terpilih menjadi presiden. Dari sikapnya ini  dapat disimpulkan SBY menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Hatta. Padahal, sebelumnya, pada Mei 2014, SBY sendiri menyatakan tidak akan mendukung capres yang berbahaya bagi bangsa dan negara, karena ada keinginannya untuk mengembalikan UUD 1945 ke UUD sebelum amandemen-amandemen dilakukan. Kembali ke UUD asli. Berarti, di antaranya, pilpres akan dikembalikan ke MPR (tidak ada lagi pilpres langsung oleh rakyat), dan presiden dapat dipilih berkali-kali, tanpa batas. Hanya Capres Nomor Satu itu yang mempunyai cita-cita demikian.

Sejak beredarnya “Obor Rakyat” itu, sikap polisi sudah kelihatan janggal. Semakin berani “tabloid” itu beredar, semakin janggal sikap polisi. Tidak ada inisiatif apa pun dari pihak polisi untuk melakukan penyelidikan dan menangkap para pelakunya. Jika tidak ada pengakuan dua pelakunya itu sendiri, mungkin sampai sekarang siapa yang berada di balik “Obor Rakyat” itu masih dibiarkan misteri.

Adalah Darmawan Sepriyosa, jurnalis dari inilah.com, yang mungkin karena tersentuh nuraninya, akhirnya mengakui dia adalah satu orang yang berada di balik “Obor Rakyat.” Peran dia adalah sebagai penulis artikel di “tabloid” itu. Dari Dharmawan itu kemudian nama Setyardi Budiono disebut sebagai penanggung jawabnya, dan yang bersangkutan pun mengakuinya.

Setelah dua orang ini mengaku pun, polisi tetap saja terkesan enggan untuk melangkah lebih lanjut. Berbagai alasan dikemukakan seolah-olah ini kasus yang sangat rumit ditangani.

[caption id="attachment_314181" align="aligncenter" width="546" caption="(Kompas.com)"]

14045761841421145760
14045761841421145760
[/caption]

[caption id="attachment_314182" align="aligncenter" width="614" caption="Salah satu artikel "]

140457623933542368
140457623933542368
[/caption]

Mengabaikan Petunjuk Dewan Pers

Dewan Pers sudah menyatakan kepada publik, maupun kepada polisi bahwa kasus “Obor Rakyat:” itu bukan merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan pers. Karena dia tidak memenuhi unsur-unsur jurnalis sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yaitu, karena tidak berbadan hukum, menggunakan nama pengurus dan alamat fiktif, artikel-artikelnya tidak berdasarkan fakta, tetapi fitnah, dan menebarkan kebencian. Dharmawan sendiri mengaku, sebagian besar artikel yang ditulis di “Obor Rakyat” diambil dari internet yang belum teruji kebenarannya. Berkali-kali Dewan Pers menegaskan UU Pers tidak bisa digunakan dalam kasus ini.

Tetapi anehnya, polisi malah tetap ngotot untuk menerapkan UU Pers kepada Setyardi dan Darmawan. Jadi, untuk apa polisi minta petunjuk Dewan Pers sebagai saksi ahli, kalau petunjuk mereka itu diabaikan? Berdasarkan UU Pers ini, polisi menetapkan Setyardi dan Dharmawan sebagai tersangka. Tersangka yang mendirikan perusahaan pers tanpa berbadan hukum. Jadi, unsur kampanye hitam, fitnah, SARA, menjelek-jelekan calon presiden, penyebar kebencian, penghinaan, pencemaran nama baik, dan lain-lain sama sekali tidak disentuh polisi.

Kenapa polisi ngotot menggunakan UU Pers, karena ancaman hukuman di UU ini adalah yang paling ringan, sangat ringan. Yaitu, hanya denda sampai dengan Rp 100 juta, tidak ada ancaman hukuman penjaranya. Juga tidak ada dasar hukumnya untuk polisi bisa menahan para tersangka. Tentu dua orang ini tertawa senang mendengar “guyonan ala polisi” ini.

Polisi juga tak terlihat ada niat untuk mengusut lebih lanjut siapa sebenarnya di belakang dua orang ini, yang kelihatannya akan dijadikan tumbal, tumbal yang paling enak, sementara itu “tabloid” itu tidak dicegah peedarannya. Kapolri Jenderal Sutarman bilang, polisi tidak berwenang untuk melakukan pencegahan peredaran “tabloid” itu! Padahal, jelas-jelas tabloid itu adalah bagian dari kampanye hitam, penebar fitnah, kebencian SARA, dan lain-lain, yang sangat merugikan kubu Jokowi, dan berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

"Memang sudah kita jadikan tersangka sesuai pasal 18 ayat (3) UU No 40/1999 tentang Pers karena menurut pasal 9 ayat 2 nya, penerbitan harus berbadan hukum tapi ini kan tabloid tidak berbadan hukum. Tapi bukan tugas Polri menghentikan penerbitannya," kata Sutarman (Beritasatu.com, Jumat, 4/7/2014).

"Yang dilanggar pidana, maka Polri akan menindak. Tapi ini era kebebasan pers sehingga itu kan kehendak masyarakat. Bebas tapi tidak melanggar hukum," bebernya (Beritasatu.com, 4/7/2014).

Kebebasan pers apanya? Apa yang ditulis di “Obor Rakyat” itu jelas-jelas bukan merupakan kebebasan pers. Yang namanya kebebasan pers itu adalah penyampaian berita, gambar, dan opini yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ini sih namanya kebebasan mengfitnah dan menghina orang, asalkan korbannya itu Jokowi, dijamin tak bakal ditangkap polisi.

Aneh, bukan? Padahal, sudah berkali-kali Dewan Pers menyatakan kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan UU Pers, karena alasan-alasan tersebut di atas. Tetapi polisi tetap menerapakan UU Pers untuk menanganinya.

Kalau begini caranya, boleh, dong setiap orang membuat dan menyebarkan segala macam fitnah kepada orang-orang yang tidak disukainya, termasuk fitnah dan provokasi SARA, asalkan dibuat dengan format tabloid ala “Obor Rakyat”, maka dia pasti tidak bakal dikenakan pidana umum (penjara). Paling hanya didenda paling tinggi Rp. 100 juta.

Tugas Polri, menurut Sutarman, adalah menegakkan hukum bagi mereka yang melanggar pasal-pasal pidana.

UU Pemilu, KUHP, dan UU Antidiskriminasi Ras

Jadi, terkesan kuat polisi dengan sengaja mengiring kasus ini agar dua tersangkanya itu terhindar dari jerat pidana Pemilu dan pidana umum, karena ancaman hukumannya adalah penjara.

Padahal sebetulnya apa yang dilakukan oleh Setyardi dan Dharmawan dengan “Tabloid Rakyat” itu merupakan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur di KUHP, UU Pemilu dan UU Antidiskriminasi ras.

Pada UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, ada ketentuan yang mengatur mengenai larangan-larangan yang dilakukan saat kampanye Pilpres berlangsung, di antaranya terdapat di Pasal  41 (1) huruf b, c, d, dan e, yaitu, semua orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Pasangan Calon yang lain, menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat, dan  meganggu ketertiban umum.

Ancaman hukumannya terdap di Pasal 214 UU tersebut.: “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, atau huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)

Sedangkan di KUHP diatur di Pasal 310, 311, 156, dan 157 KUHP.

Pasal 310 dan 311 KUHP mengenai pernyataan penghinaan atau pencemaran nama baik yang disampaikan di muka umum, yang hukumannya diperberat jika itu dilakukan dengan menyebarkannya melalui barang cetakan, dan lain-lain sejenisnya. Ancaman hukuman terberatnya adalah satu tahun empat bulan.

Pasal 156 dan 157 KUHP mengenai di muka umum menyampaikan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan karena perbedaan ras, negeri asal, agama, keturunan, dan kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara. Ancaman hukumannya sampai empat tahun penjara.

*

Dilihat dari uraian-uraian di atas semakin jelas adanya kejanggalan-kejanggalan sikap Polri dan Presiden SBY dalam kasus SARA untuk menyerang Calon Presiden Jokowi yang disebarkan oleh “Obor Rakyat” ini. Jadi, mereka jangan tersinggung kalau ada yang mencurigai mereka, berpihak kepada Capres lawan Jokowi-JK.

Polisi harus berani menggunakan ketiga UU tersebut di atas untuk menjerat Setyardi dan Dharmawan, bukan UU Pers, yang oleh Dewan Pers sendiri sudah menjelaskan tidak tepat diterapkan pada kasus ini.

SBY harus berani tegas sesuai dengan ucapannya sendiri untuk menggunakan wewenangnya menindak Setyardi Budiono dengan memerintahkan pemecatan terhadap dirinya sebagai Asisten Staf Khusus Kepresidenan Bidang Pembangunan Daerah yang dipimpin oleh Velix Wanggai.

Beranikah Polri dan SBY mengambil langkah-langkah itu? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun