[caption id="attachment_322751" align="aligncenter" width="624" caption="Cerminan kualitas anggota DPR 2009-2014: Banyaknya kursi-kursi kosong dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pandangan yang lazim terjadi. Namun, rapat paripurna DPR pada Selasa (18/2/2014) pagi bisa jadi yang terparah selama masa kerja DPR 2014-2019. Pasalnya, baru dalam rapat kali ini, tingkat kehadiran anggota DPR merosot tajam, bahkan tak mampu mencukupi kuorum sebagai syarat dimulainya rapat (Kompas.com. "][/caption]
Direvisinya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD 3) dan rencana akan diundangkan RUU Perubahan terhadap UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (RUU Pilkada 2014) dalam September 2014 ini juga oleh DPR (khususnya oleh Koalisi Merah Putih) sesungguhnya merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan demokrasi, dan perampokan terhadap kedaulatan rakyat, yang dilegalkan melalui lembaga legislatif.
UU MD 3
Revisi UU MD 3 dilakukan secara tergesa-gesa oleh Koalisi Merah-Putih di DPR, yaitu pada 8 Juli 2014, atau hanya sehari sebelum Pilpres diselenggarakan.
Sebelumnya, usul untuk membicarakan revisi terhadap UU tersebut ditolak oleh fraksi-fraksi Koalisi pimpinan PDIP, tetapi karena kalah suara, pembicaraan tentang revisi itu tetap dijalankan. Fraksi PDIP bersama semua fraksi parpol pendukungnya walk-out, meninggalkan ruangan sidang. Tinggal Koalisi Merah Putih yang membicarakannya, yang kemudian secara aklamasi menyetujui revisi UU tersebut.
Ketergesaan Koalisi Merah Putih melakukan revisi UU MD3 itu diduga kuat terkait dengan langkah antisipasi mereka, ketika melihat kecenderungan Jokowi akan menang di Pilpres 2014 ini, maka mereka buru-buru mengatur strategi antisipatif dengan menyusun kekuatannya di parlemen.. Untuk itu diperlukan perubahan-perubahan substantif di dalam beberapa ketentuan pasal di UU tersebut untuk bisa memperkuat posisi mereka, dan sebaliknya melemahkan posisi koalisi PDIP di parlemen.
Kalau sebelumnya, setelah reformasi, ketua DPR adalah dari parpol yang terbanyak suaranya di pemilu legislatif, dan empat wakil ketuanya dari masing-masing parpol terbanyak urutan kedua, ketiga, dan seterusnya, maka sekarang diubahmenjadi untuk menentukan ketua dan para wakil ketua DPR harus melalui mekanisme musyarawah-mufakat, yang jika tidak tercapai harus melalui cara voting. Itu semua sudah diatur; Dalam “musyarawarah-mufakat” itu pasti suara dari koalisi PDIP akan kalah, kemudian jika dibawa ketingkat voting, pasti koalisi Merah Putih yang menang, karena jumlah kursi mereka di DPR secara total adalah 292 dari seluruh jumlah kursi yang ada, 550.
Dengan ketentuan baru hasil revisi ini, maka tentu saja calon dari Koalisi Merah Putih yang pasti terpilih, sekalipun dia berasal dari parpol yang jumlah suaranya paling kecil di pemilu legislatif. Demikian juga halnya untuk empat orang wakilnya, akan diborong semua oleh Koalisi Merah Putih. Tidak hanya ketua dan wakil ketua DPR, semua ketua komisi pun akan ditentukan dengan cara yang sama. Alhasil semua parpol yang bergabung bersama PDIP tidak akan mendapat apa-apa di DPR.
Majalah Tempo edisi 25 Agustus 2014 menyebutkan jatah untuk semua komisi itu sudah dibagi-bagikan di antara mereka, yaitu Gerindra mendapat jatah tiga komisi, Golkar, PPP, dan PKS masing-masing kebagian jatah dua komisi.
“Tidak apa-apa presidennya Jokowi, tapi DPR kita sapu bersih!” demikian pembicaran di antara politikus anggota Koalisi Merah Putih itu.
Kejanggalan, sikap gila kuasa, dan pragmatisme politik semakin terasa karena Koalisi Merah Putih itu hanya mengubah sistem pemilihan itu di DPR, sedangkan di DPRD dibiarkan seperti yang selama ini sudah berlangsung, yaitu ketua DPRD adalah dari parpol pemenang pemilu di daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain revisi pasal di UU MD3 itu benar-benar khusus diperuntukkan untuk menguasai seluruh lini di parlemen, sekaligus melemahkan posisi Koalisi PDIP dan Jokowi.
Menguasai semua lini kekuatan di DPR pasti dimaksud untuk bisa terus menyerang kekuasaan Jokowi secara efektif di parlemen. Semua kebijakan Presiden Jokowi akan dihambat kelancarannya sampai ditolak, meskipun itu jelas-jelas baik untuk rakyat. Antara lain yang mungkin terjadi nanti adalah sedikit-sedikit kebijakan Jokowi akan dipermasalahkan, dan sedikit-sedikit Jokowi akandipanggil ke DPR.
Selain itu, diduga untuk memberi kelonggaran mereka dalam bermain anggaran – tidak diawasi secara ketat lagi, revisi UU itu pun dilakukan dengan menghapus ketentuan tentang Badan Akuntalibitas Keuangan Negara (BAKN) dari alat kelengkapan DPR.Sedangkan untuk mempersulit pemeriksaan terhadap anggota DPR dari dugaan melakukan suatu kejahatan tertentu, termasuk korupsi oleh penyidik (Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK) dibuat ketentuan pasalbaru, yaitu setiap tindakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap anggota DPR harus dengan seizin presiden. Padahal di UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan semua WNI tanpa kecuali sama di depan hukum.
Apalagi kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), maka sangat tak masuk akal jika untuk memeriksa seorang anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi itu harus dipersulit (diistimewakan) dengan harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden, seperti yang sudah dibuat pasalnya itu.
RUU Pilkada 2014
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, perubahan itu menyangkut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari semula, yang selama ini (pasca jatuhnya rezim Orde Baru) dipilih langsung oleh rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD,jadi kembali ke sistem yang digunakan di era Orde Baru.
Alasannya adalah karena anggaran pilkada yang terlalu besar, terjadinya politik uang di setiap pilkada, dan di beberapa pilkada yang pernah diselenggarakan terjadi kerusuhan dan bentrok horizontal. Tentu saja, semuaalasan itu terlalu dibuat-buat.
Mengenai anggaran pilkada yang terlalu besar, tentu saja bisa, dan saat ini juga sedang, dan sudah dilakukan dengan memperbaiki beberapa bagian dari sistem yang ada, agar anggaran pilkada tersebut bisa diperkecil secara signifikan.Misalnya, dengan menentukan maksimal anggaran kampanye calon setiap kepala daerah, rencana penjadwalan pilkada diselenggarakan secara serempak di seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Mengenai alasan politik uang di pilkada langsung, -- ini yang paling lucu. Karena justru jika pilkada dilakukan di DPRD kemungkinan besar terjadinya politik uang yang malah lebih parah, sosok-menyogok di antara para parpol pendukung calon, calon, dengan anggota DPRD pasti akan terjadi. Berpotensi besar, akan terjadi pula kongkalikong antara DPRD dengan penguasa-penguasa daerah koruptor, untuk saling melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing dalam menjalankan praktek-praktek korupsi itu.
Anggota DPRD akan semakin kaya dari politik uang pilkada di DPRD itu, dan alhasil bukan orang terbaik yang bakal dipilih menjadi bupati, walikota, atau gubernur, tetapi sebaliknya: orang/parpol yang kuat membayar sogok/suap, tetapi berkemampuan rendah dan bermental korup. Praktek KKN akan kembali tumbuh subur.
Politik uang di pilkada langsung pasti bisa diselesaikan secara hukum, dengan berbagai mekanisme perbaikan sistem dan penegakan hukum yang tegas. Bukankah saat ini KPK sudah semakin tegas dalam menangkap para kepala daerah yang terlibat dalam kasus-kasus suap? Ini merupakan peringatan yang paling menakutkan bagi calon-calon kepala daerah lainnya dalam bermain politik uang.
Jika Pilkada dilakukan di DPRD, maka kita tidak akan punya lagi kepala-kepala daerah dan wakilnya yang berprestasi dan membuat PNS-PNS pemalas dan koruptor tersingkir, seperti yang dilakukan Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta, dan Tri Rismaharini di Surabaya.
Sebaliknya, bisa jadi, jika pilkada jadi diselenggarakan di DPRD, maka gubernur DKI Jakarta berikutnya adalah orang-orang seperti Haji Lulung sebagai Gubernurnya, dan Wakil Gubernurnya adalah orang-orang seperti Eggi Sudjana!. Sedangkan yang berkarakter seperti Jokowi dan Ahok pasti tidak dipakai lagi.
[caption id="attachment_322749" align="aligncenter" width="691" caption="(Kompas cetak, Sabtu, 6/9/2014)"]
Mengenai terjadinya konflik horizontal di beberapa pilkada, sesungguhnya itu itu dapat dipandang sebagai ekses dari suatu proses demokrasi yang belum terlalu matang di beberapa daerah. Seiring berlalunya waktu, dengan semakin baiknya sistem yang diterapkan, dan kesadaran hukum dan demokrasi yang semakin tinggi, maka pasti secara rata-rata pilkada di Indonesia akan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saja secara rata-rata pilkada di seluruh Indonesia bisa berlangsung dengan baik, dibandingkan dengan yang tidak. Berapakah pilkada yang memicu terjadinya konflik horizontal, dibandingkan yang tidak? Bisa dihitung dengan jari, pun terjadi di daerah-daerah yang kecil cakupan wilayah dan penduduknya. Maka, jelas alasan Koalisi Merah Putih untuk memilih kepala daerah melalui DPRD adalah terlalu mengada-ada.
Alasan untuk mengubah ketentuan pilkada dari langsung oleh rakyat menjadi sistem perwakilan, yaitu oleh DPRD tersebut jelas-jelas sangat dibuat-buat, hanya supaya ada alasan pembenaran dari mewujudkan ambisi besar mereka untuk berkuasa. Ketika melalui cara yang demokratis dan berkedaulatan rakyat tidak bisa mereka menangkan, sebaliknya justru menjadii ancaman bagi eksistensi mereka yang berperilaku korup, maka cara merampok kedaulatan rakyat pun mereka tempuh.
Dekan Fakultas HUkum Universitas Jember, Jawa Timur, Widodo Ekatjahjana, mengatakan, “Demokrasi memang besar, dalam segala hal. Demokrasi itu tidak bisa diukur dengan nilai uang. Bahkan, ketika masa reformasi, memperjuangkan demokrasi itu nyawa taruhannya. Begitu pula di banyak Negara di dunia, orang memperjuangkan demokrasi dengan taruhan nyawa” (Kompas cetak, Minggu, 7/9/2014).
Berkaitan dengan politik uang di pilkada langsung, Widodo juga mengatakan, pemberian sanksi tegas, termasuk sanksi diskualifikasi terhadap calon yang berpolitik uang, dapat juga dilakukan. Hal tersebut bisa efektif mengurangi praktek uang yang selama ini marak kepada pemilih.
Majalah Tempo edisi 25 Agustus 2014 yang saya sebutkan di atas juga menulis bahwa mengenai pilkada ini, muncul lagi ungkapan di antara pengusung Prabowo: Tak apa-apa presidennya Jokowi, tapi kepala daerahnya kita semua.” Rasanya hanya politikus-politukus yang bermental preman yang bisa berperilaku seperti ini.
Peneiliti senior LIPI, Syamsuddin Haris, mengatakan, anggota DPRD periode 2014-2019 merupakan produk system pemilu proporsional terbuka, yang lebih mengandalkan uang dan popularitas agar terpilih. Selain itu mereka produk dai system perekrutan partai politik yang buruk. Partai cenderung memilih seseorang menjadi calon anggota DPRD sebatas karena orang itu punya uang, popular, atau dekat dengan elite partai (Kompas cetak, Minggu, 7/9/2014).
Dengan dasar kualitas anggota DPRD seperti ini, apakah bisa kita harapkan?
Bisa jadi, mengubah pilkada dari langsung ke pilkada perwakilan merupakan test case, untuk jika sukses diberlakukan, akan diterapkan pula pada upaya mengembalikan UUD 1945 ke UUD 1945 sebelum diamandemenkan, dengan sasaran presiden dan wakil presiden pun kembali dipilih dengan sistem perwakilan.
Kaidah Pembentukan UU yang Baik
Gebrakan politik yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih di dalam upaya mereka mengubah UU MD3 dan UU Pilkada, sangat kelihatan dengan hanya mengandalkan jumlah mereka yang mayoritas di parlemen. Dengan menguasai 292 kursi dari 550 kursi di parlemen, mereka merasa bisa berbuat apa saja, termasuk mengubah atau membuat suatu UU sesuai dengan kehendak dan kepentingan politik mereka. Padahal untuk melahirkan suatu UU (hukum) yang baik, agar bisa bermanfaat bagi rakyat banyak, dan bisa berumur panjang, diperlukan kaidah-kaidah dasar pembuatan suatu UU. Jika, tidak demikian lahirnya suatu UU atau UU yang direvisi/diubah pasti akan menimbulkan reaksi penolakan dari rakyat, yang ujung-ujungnya malah bisa menggangu stabilitas politik, keamanan dan ketertiban.
Kaidah-kaidah hukum pembuatan hukum atau undang-undang seperti ini sudah lama diterapkan di Indonesia, juga di seluruh negara yang berdasarkan demokrasi.
Ketua Majelis Hakim MK yang memimpin persidangan uji materi UU MD3, Arief Hidayat, pada 29 Agustus lalu, antara lain mengingatkan bahwa proses hokum pembuatan suatu produk hukum (UU) harus berdasarkan kaidah-kaidah dasar yang kuat, tidak boleh dibuat dengan semena-mena, hanya berdasarkan mayoritas.
Arief menyatakan, proses pembuatan hukum atau undang-undang yang baik harus memenuhi kaidah yang sifatnya filosofis, yuridis, dan sosiologis.
"Proses pembuatan hukum yang baik apalagi di negara hukum Pancasila proses hukumnya gak boleh main-main dan semena-mena hanya berdasarkan mayoritas, harus memenuhi kaidah-kaidah," ungkapnya (Republika.co.id).
Apa itu kaidah yuridis, filosofis, dan sosiologis, yang menjadi dasar kekuatan yang hakiki dari sebuah produk undang-undang itu?
Hal tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:
Kaidah Yuridis: Kaidah yuiridis mewajibkan suatu peraturan perundang-undangan itu harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, bentuk dan isinya harus memenuhi syarat formal pembuatan suatu undang-undang, harus memenuhi kriteria hirarki suatu peraturan perundang-undangan, harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya (misalnya, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi).
Kaidah Sosiologis: Yaitu bahwa peraturan perundang-undangan tersebut memang dibutuhkan keberadaannya, dan bisa diterima secara wajar oleh maryarakat luas. Sifatnya dapat dipaksa pelaksanaannya. Produk hukum yang dibutuhkan, diterima masyarakat, dan pelaksanaannya dapat dipaksakan, memungkinkan peraturan perundang-undangan itu bisa efektif, efesien, dan langgeng keberadaannya.
Kaidah Filosofis: Peraturan hukum yang dibuat harus berdasarkan nilai-nilai, cita-cita/kehendak, dan rasa keadilan paling dasar dari masyarakat.
Ketiga kaidah atau landasan hukum tersebut harus ada secara bersama-sama di dalam suatu produk perundang-undangan. Karena jika hanya ada kaidah yuridisnya saja, maka yang terjadi adalah hukum tersebut hanya merupakan suatu peraturan hukum yang mati (dode regel), tidak bisa dilaksanakan.
Jika hanya ada kaidah sosiologisnya saja, maka peraturan tersebut hanya dilaksanakan dengan suatu pemaksaan saja (dwangmaat regel), dan jika hanya berdasarkan kaidah filosofis saja, maka kaidah hukum itu hanya sebatas yang dicita-citakan (ius constituendum).
Berdasarkan tiga landasan atau kaidah hukum tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan UU MD3 dan RUU Pilkada sebagaimana dimaksudkan di atas hanya memenuhi syarat kaidah hukum yuridis (formal). Tetapi, tidak memenuhi kaidah hukum sosiologis (dibutuhkan dan diterima rakyat) dan kaidah filosofis (sesuai dengan cita-cita dan rasa keadilan paling dasar rakyat).
Secara kasat mata saja sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa pilkada langsung adalah benar-benar kehendak rakyat, terbukti dari begitu tinggi antusiasme rakyat dalam ikut aktif dalam setiap pilkada.
Hasil survey Litbang Kompas yang dimuat di Harian Kompas (cetak), Jumat (5/902014) menghasilkan: 87,6 persen respon menghendaki pilkada langsung, dan hanya 10,2 persen yang menghendaki pilkada dengan system perwakilan di DPRD, sedangkan 2,2 persen menjawab tidak tahu.
Di berbagai media massa pun kita bisa mengetahui bahwa yang paling dikehendaki masyarakat luas itu adalah pilkada langsung. Hanya Koalisi Merah Putih di DPR dan sekelompok kecil masyarakat saja yang menghendaki sistem perwakilan seperti di era Orde Baru dikembalikan.
Jadi, masihkah Koalisi Merah putih berani melanjutkan khianat mereka terhadap demokrasi dan merampok kedaulatan rakyat itu? ***
Artikel terkait:
Teori Konspirasi Koalisi Merah Putih di Parlemen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H