Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. -- MI/Sumaryanto (Metrotvnews.com)
"Kalau sampai Ahok tidak mengakomodasi Boy sebagai wagub, dia bukan hanya mengecewakan keluarga besar PDI-P. Dia juga akan menimbulkan masalah politik yang serius dengan Fraksi PDI-P di DKI Jakarta!"
"Ahok tidak boleh melupakan sejarah yang menjadikannya sekarang sebagai Gubernur DKI."
"(Jika opsi PDI-P tidak dipertimbangkan), tidak menutup kemungkinan dukungan politik kepada Ahok di DPRD DKI Jakarta akan kami cabut!"
Demikian ancaman-ancaman yang dilontarkan oleh Wakil Sekjen PDIP, yang juga Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta, Ahmad Basarah, Jumat, 28/11/2014, kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, karena Ahok tidak memilih calon wakil gubernur yang diajukan oleh PDIP, Boy Sadikin.
Basarah mengatakan, Ahok harus mengakomodasi keinginan PDI-P dalam memilih wagub. Ahok tidak bisa seenaknya memutuskan pendamping tanpa mempertimbangkan keinginan PDIP (Kompas.com).
Memaksa Ahok Melakukan Praktik Politik Transaksional
Dengan kata lain, menurut Basarah, tiada pilihan lain bagi Ahok, selain harus menerima bakal calon wakil gubernur yang diajukan oleh PDIP, yaitu Boy Sadikin. Karena PDIP punya jasa besar terhadap Ahok, sehingga sekarang ini dia bisa menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jika Ahok menolak, maka dia akan menanggung akibat politiknya, yaitu Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta akan mencabut dukungannya terhadapnya. Jadi, PDIP mau bergabung dengan KMP, demi menentang Ahok?
Ini jelas namanya pemaksaan kehendak, Ahok tidak diberi pilihan; harus menerima Boy Sadikin sebagai wakilnya! Titik. Ini kan cara-cara ala preman, ya? Lalu, di mana penghormatan terhadap ketentuan hukum yang memberi kebebasan hak kepada Ahok sebagai Gubernur untuk memilih wakilnya sendiri?
Sekali pun benar PDIP punya jasa besar yang membuat Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, lalu dengan demikian, apakah Ahok harus balas budi dengan wajib menerima Boy Sadikin, meskipun dia tidak sepenuhnya memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang dikehendaki Ahok sebagai pendampingnya di Pemprov DKI Jakarta?
Ancaman Basarah itu mencerminkan watak politikus yang sudah terbiasa dengan politik transaksional, lebih mementingkan kepentingan partainya daripada kepentingan rakyatnya. Revolusi mental belum terjadi di sini. Mental pejabat yang tidak bisa menerima perubahan dari pimpinan yang membawa perubahan.
Kalau begini caranya, lalu apa beda Basarah dengan M Taufik dari Gerindra itu?
Basarah bilang, Ahok tidak bisa seenaknya memutuskan pendampingnya tanpa mempertimbangkan keinginan PDIP, padahal sebelumnya Ahok sudah beberapakali mengutarakan kriteria calon pendampingnya itu, dan dari kriteria itu juga diketahui bahwa Boy Sadikin tidak termasuk di dalamnya. Salah satu kriteria yang diajukan Ahok adalah pendampingnya itu harus betul-betul berpengalaman dalam birokrasi pemerintahan daerah, terutama sekali di Pemprov DKI Jakarta. Kriteria ini hanya dipenuhi oleh Deputi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Sarwo Handayani dan mantan Walikota Blitar Djarot Saiful Hidayat. Sebenarnya, ada satu nama lagi, yaitu mantan Walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, tetapi sudah dicoret Ahok karena terindikasi bermasalah dengan hukum kasus gratifikasi.
Ahok ingin sekali kelak mengajak wakilnya itu langsung tancap gas bekerja membangun DKI Jakarta karena sisa waktunya memimpin Jakarta itu tinggal tiga tahun lagi. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan jika wakilnya itu sudah berpengalaman dalam menjalankan birokrasi pemerintahan daerah. Kalau wakilnya bukan dari unsur demikian, tentu memerlukan waktu lagi untuk beradaptasi. Sedangkan jabatan wakil gubernur itu bukan jabatan coba-coba atau bisa dipakai untuk bekerja sambil belajar.
Bukan hanya itu, Ahok juga sudah melakukan langkah berani dengan berkunjung langsung kepada Megawati di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana, menurut Ahok dia berkonsultasi dengan Megawati, menyangkut pemilihan wakilnya itu. Di antaranya juga mengemukakan langsung kepada Megawati mengenai alasan-alasan penolakannya terhadap tiga nama calon dari PDIP, termasuk Boy Sadikin. “Alasan saya, apa saya sebutin satu-satu. Si A kenapa, kita tukar pikiran. Si B gimana, kita sebut satu-satu. Bu Mega sih ngerti saja, kok,” jelas Ahok kepada para wartawan ( Jawa Pos, Jumat, 28/11/2014).
“Bu Mega juga tidak ingin saya kerja setengah mati kayak dikawinkan paksa gitu. Kalian pasti juga tidak mau kan punya suami atau istri yang enggak cocok gitu, enggak naksir?” kata Ahok kepada para wartawan.
Terhadap ancaman yang dilontarkan oleh Basarah itu, Ahok menanggapinya dengan tenang. Dia mengatakan, hubungannya dengan Boy Sadikin selama ini baik-baik saja. Boy juga bukan calon wakil gubernur tidak bagus, tetapi masih ada calon yang lebih bagus lagi daripadanya.
Kalau memang ada yang kw-1, kenapa harus memilih yang kw-2? Demikian yang dapat kita tangkap dari pernyataan Ahok itu.
"(Hubungan) aku sama Boy baik kok, bagus. Mana bisa dia (Basarah) ancam-mengancam begitu?" kata Ahok di Balaikota, Jumat (28/11/2014).
"Saya enggak bilang Pak Boy itu enggak baik, lho. Kalau kamu bisa mendapat pilihan terbaik, ngapain ambil pilihan yang kurang baik?" ujar dia (Kompas.com).
Jadi, sebetulnya semua itu sudah klir. Basarah dan PDIP harus ikhlas menerima kenyataan bahwa calon dari mereka tidak bisa diterima oleh Ahok. Tidak perlu memaksa kehendak dengan main ancam-ancam segala seperti itu. Apalagi menurut Ahok, hasil pertemuannya dengan Megawati itu positif. Mega bisa memahami argumen-argumen yang dikemukakan dalam pertemuan di antara mereka berdua itu, mskipun belum tentu setuju.
Boy Sadikin-lah yang Pertama Kali Menolak Ahok
Satu hal penting yang juga harus diingat oleh Ahmad Basarah, oleh PDIP, dan oleh Boy Sadikin sendiri bahwa sesungguhnya sangat tidak tepat sekarang ini mereka mempermasalahkan penolakan Ahok terhadap Boy Sadikin, sebab jauh hari sebelumnya, bahkan sebelum Jokowi maju sebagai calon presiden di Pilpres 2014, Boy Sadikin sendiri-lah yang menyatakan dirinya tidak cocok dengan Ahok. Dia bahkan dengan tegas mengatakan, tidak setuju Ahok naik menjadi Gubernur, jika kelak Jokowi terpilih sebagai presiden. Alasannya, karena karakter Ahok yang dinilainya temperamental, tidak cocok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pernyataan itu dia sampaikan kepada para awrtawan pada 13 Maret 2014.
Mungkin saja Boy itu sosok yang jujur, tidak korupsi, dan mau bekerja keras. Tetapi, belum tentu dia itu secara personal cocok dengan Ahok. Bahkan saya berani bilang, Boy Sadikin tidak cocok dengan Ahok. Jika dipaksakan hanya akan bermunculan perselisihan-perselisihan, yang akan sangat mengganggu kinerja Pemprov DKI Jakarta. Bisa-bisa sejarah hubungan Fauzi Bowo dengan Prijanto, dan antara Tri Rismaharini dengan Wisnu Sakti Buana terulang lagi.
Indikasinya, yaitu itu tadi, belum apa-apa Boy sendiri sudah menyatakan ketidakcocokannya dengan Ahok. Pada 13 Maret 2014, Boy meminta wartawan bertanya kepada warga Jakarta, apakah mereka setuju kalau Ahok menjadi Gubernur mengganti Jokowi. “Kalau saya pribadi tidak setuju, karena (Ahok itu) tempramental, ” katanya ketika itu. Silakan baca arsip beritanya di Tempo.co.
Saat itu, Boy mengaku dulu memang setuju, dan sangat mendukung Ahok sebagai Gubernur Jakarta apabila Jokowi terpilih sebagai Presiden. Bahkan dia juga adalah ketua tim pemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012. Namun, kata dia, sekarang dia sudah tidak suka lagi dengan Ahok, karena sifatnya yang tidak pantas, tempramental.
Hal ini dikemukakan Boy saat mengetahui Ahok marah-marah kepada beberapa orang anak buahnya di Dinas Pelayanan Pajak, yang mengenakan pajak reklame kepada perusahaan-perusahaan penyumbang total 30 bus. Menurutnya hal itu wajar, karena memang ada peraturan tentang pajak reklame tersebut.
Sedangkan menurut Ahok, Pemprov sengaja mau menerima sumbangan 30 bus TransJakarta dari perusahaan-perusahaan itu, supaya meringankan beban Pemprov dalam pengenaan unit-unit bus tersebut, dan sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan penyumbang itu boleh memasang iklan produknya secara gratis di badan dan di dalam bus TransJakarta. Yang dilakukan para anak buahnya di Dirjen Pajak itu adalah tetap menagih pajak reklame kepada mereka. Jadi, perusahaan-perusahaan itu sudah menyumbangkan 30 bus itu secara gratis, tetapi mereka tetap ditagih pajak reklamenya.
Karena kejadian Ahok marah-marah secara terbuka kepada Plt Sekretaris Daerah Wiriatmoko, Kepala Dinas Pelayanan Pajak Iwan Setiawandi, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Endang Widjajanti, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Sri Rahayu, Kepala UP Transjakarta Pargaulan Butar-Butar itulah, Boy Sadikin menetapkan talaknya kepada Ahok. Dia menyatakan, menolak Ahok naik menjadi Gubernur DKI, mengganti Jokowi.
Dia mempunyai kesan, Ahok lebih membela pengusaha. Padahal ‘kan ada aturannya, katanya, jika memang hibah ya pengusaha tidak perlu minta embel-embel promosi iklan di bus yang diberikan kepada pemerintah provinsi.
Jadi, ini sebenarnya soal perbedaan pendapat. Boleh-boleh saja. Tetapi, kalau hanya berbeda pendapat begini, terus Boy menyatakan penolakannya kepada Ahok sebagai Gubernur DKI, bagaimana bisa pribadi seperti ini dijadikan pendamping Ahok di Pemprov DKI Jakarta?
Penggunaan istilah “pengusaha” pun sebenarnya kurang tepat, karena konotasinya hanya kepada perusahaan swasta. Padahal 3 perusahaan penyumbang masing-masing 10 unit bus itu adalah PT Telkomsel (milik pemerintah), PT T-Phone, dan PT Rodamas.Dua.
Lalu, sekarang setelah punya peluang menjadi wakil gubernur-nya Ahok, Boy Sadikin berbalik mengatakan, siap menjadi pendamping Ahok? ***
Artikel terkait:
Ahok Driver Sejati si Pembela Batu
Boy Sadikin Tidak Cocok dengan Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H