[caption id="attachment_348441" align="aligncenter" width="464" caption="Jika tidak ada sama sekali hak imunitas pimpinan KPK, maka sewaktu-waktu, para koruptor bekerja sama dengan para oportunis akan dengan bebas sesukanya melakukan rekayasa kasus untuk memporak-porandakan KPK, dengan menyerang dan menghabisi satu persatu para pimpinannya (sumber: viva.co.id)"][/caption]
Wacana KPK tentang perlunya Presiden Jokowi menerbitkan Perppu tentang imunitas bagi para pimpinan KPK, agar tidak dikriminalisasi terus-menerus, yang akibatnya sangat melemahkan bahkan bukan tak mungkin menghancurkan KPK, segera mendapat respon beragam. Ada yang mendukung, ada yang menolaknya.
Alasan Penolakan Wacana
Yang juara satu menyerukan penolakan tersebut sudah bisa diduga, yaitu salah satu “musuh bebuyutan” KPK, yaitu DPR.
Mereka , antara lain mengatakan, kehendak KPK meminta imunitas kepada Presiden Jokowi itu sebagai sesuatu yang sangat tidak realistis, pimpinan KPK itu bukan dewa, bukan pula malaikat yang tidak bisa berbuat salah, itu melanggar asas hukum persamaan semua orang di depan hukum , dan melanggar Konstitusi. DPR yakin, Presiden Jokowi akan menolak menerbitkan Perppu itu, dan jika pun Perppu itu diterbitkan Presiden, DPR pasti akan menolaknya.
Padahal DPR sendiri sudah mengatur tentang imunitas mereka dalam kemungkinan menghadapi kasus hukum. Hal itu diatur di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang UU MD3, di Pasal 224 ayat 5 sampai dengan 7 ditentukan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, harus mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan tersebut paling lambat 30 hari setelah surat tersebut diterima.
Jika MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, maka surat pemanggilan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum. Alias anggota DPR bersangkutan tidak bisa lagi dipanggil untuk dimintai keterangan oleh penyidik.
Ketentuan ini dibuat atas inisitif DPR sendiri, yang patut diduga sebagai bagian dari strategi mereka untuk melindungi mereka sendiri dari jerat hukum kasus korupsi KPK. Selama ini sudah banyak sekali anggota DPR (dan DPRD) yang ditangkap KPK dan masuk penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan kewenangan mereka di DPR.
Presiden Jokowi sendiri belum merespon wacana untuk memberikan hak imunitas pimpinan KPK ini, meskipun demikian beberapa pembantunya di kabinet, seperti Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno (Menko yang satu ini yang paling getol mengecam KPK dan para pendukungnya) juga sudah menyatakan penolakannya, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla mengatakan, tidak ada orang yang berada di atas hukum. Seolah-olah dengan memberikan hak imunitas pimpinan KPK, otomatis mereka berada di atas hukum. Lalu, kenapa Kalla tidak pernah berkomentar tentang hak imunitas yang sudah diperoleh anggota DPR sebagaimana diatur di UU MD3 tersebut di atas?
Benarkah dengan memberikan hak imunitas kepada pimpinan KPK, otomatis mereka berada di atas hukum, melanggar Konstitusi, dan seterusnya?
Alasan Menerima Wacana
Kalau kita semata-mata hanya melihat “kulitnya” saja memang kelihatannya alasan-alasan penolakan tersebut adalah benar. Tetapi untuk masalah ini kita harus melihatnya secara komprehensif-substantif: Kenapa hak imunitas pimpinan KPK ini sangat diperlukan? Apalagi dalam situasi dan kondisi hukum dan politik, dan dengan kualitas Polri dan DPR seperti sekarang ini. Yang bukan rahasia lagi adalah dua lembaga yang paling banyak elitenya yang terlibat kasus korupsi. Mereka seringkali memanfaatkan institusinya dan mempolitikkan kasus hukum demi kepentingan kelompok dan pribadinya, termasuk melindunginya dari jerat hukum KPK.
Pendirian/prinsip yang asal menolak wacana pemberian hak imunitas kepada pimpinan KPK itu, sadar atau tidak, justru amat sangat menguntungkan para koruptor, karena mereka akan dengan mudah, dan seolah-olah diberi jalan untuk bebas mengkriminalisasi para pimpinan KPK. Dengan lembaga Polri dan DPR seperti sekarang ini kekuatan para koruptor akan semakin kuat untuk bisa senantiasa mencari-cari kesalahan dan merekayasa kasus hukum untuk bisa membuat satu per satu pimpinan KPK dijadikan tersangka. Sesuai dengan UU KPK, apabila pimpinan KPK berstatus tersangka, maka dia harus mengundurkan diri.
Di bidang hukum KPK akan terus diserang oleh para koruptor dengan dukungan polisi korup, sedangkan di bidang politik DPR senantiasa siap mendukung serangan terhadap KPK itu. Jika pemerintahnya juga korup, maka lengkaplah sudah kekuatan penghancuran yang sistematis terhadap KPK.
Jika satu persatu, sampai semua pimpinan KPK menjadi korban rekayasa kasus hukum (kriminalisasi), maka KPK nihil pimpinannya. Kalau sudah sampai pada tahapan ini, maka otomatis kaki dan tangan KPK sudah berhasil diamputasi, KPK lumpuh secara keseluruhan. Tidak mungkin lagi bisa melakukan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Maka yang berjaya adalah para koruptor itu. Sesuatu yang sangat ironis, yang berpotensi terjadi justru di era pemerintahan Jokowi yang sebelumnya sangat dikenal sangat tinggi integritasnya, bersih dan jujur, dan tegas tanpa kompromi dalam pemberantasan korupsi, saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Dan, kini sebagai Presiden dengan program Nawa Cita-nya, yang menegaskan antara lain memperkuat lembaga penegak hukum seperti Kapolri dengan tak akan memilihnya dari mereka yang terindikasi kasus hukum (korupsi), juga janjinya untuk memperkuat KPK dengan antara lain menambah anggaran sampai sepuluh kali lipat dari yang sebelumnya untuk lembaga anti rasuah itu.
Pimpinan KPK semuanya memang bukan manusia dewa, bukan pula manusia malaikat. Itu anak kecil pun sangat tahu. Tetapi juga bukan berarti, mereka pasti bersalah, apalagi untuk kasus-kasus lama.
Untuk menjadi pimpinan KPK bukankah mereka semua sudah melewati proses seleksi yang sangat ketat? Melalui Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan KPK yang terdiri dari tokoh-dan pakar hukum, dan tokoh masyarakat, dan juga melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR.
Selain pengetahuan hukum yang harus benar-benar dikuasai, dan pengalaman praktik di bidang hukum yang harus lebih dari cukup, semua calon pimpinan KPK yang dipilih itu juga ditelusuri dan diuji rekam jejaknya sampai beberapa tahun ke belakang, mulai dari sikap dan perilakunya yang apakah pernah tercela dalam kehidupan bermasyarakat ataukah tidak, bagaimana dengan nilai etika dan moralnya, apakah pernah tersangkut kasus tindak pidana (terutama kasus korupsi) ataukah tidak. Pokoknya semua aspek kualitas nilai kepimpinan, integritas, kompetensi dan indepedensi semua calon pimpinan KPK itu benar-benar ditelusuri, dan diuji kelayakan dan kepatutannya oleh Pansel KPK plus tahapan uji kepatutan dan kelayakan di DPR (yang sebenarnya, lebih bersifat politis, oleh karena itu sebenarnya tidak diperlukan).
Melalui seleksi ketat tersebut diharapkan yang lolos dan terpilih benar-benar adalah semua pimpinan KPK yang rekam jejak, reputasi, integritas, kepemimpinan, kompetensi dan indepedensi dan sebagainya adalah yang terbaik.
Oleh karena itu, jika kemudian tiba-tiba, apalagi dengan kebetulan-kebetulan yang terlalu sangat mencurigakan, dengan alasan hukum yang sangat lemah, sehingga terlihat sekali indikasi-indikasi rekayasanya yang begitu kuat, ada pihak-pihak yang memidanakan pimpinan KPK itu, maka kita semua harus bersikap sangat waspada. Tidak boleh terlalu bersikap formal dalam menyikapinya, dengan penolakan disertai argumen-argumen seperti hal itu melanggar asas semua orang sama di hadapan hukum, melanggar Konstitusi, pimpinan KPK bukan dewa, dan sebagainya itu.
Semua pimpinan KPK sudah melewati tahapan seleksi yang sangat ketat sebagaimana disebutkan di atas, sehingga jika tiba-tiba ada pihak yang memolisikan pimpinan KPK itu dengan mengungkit-ungkit kembali kasus lama, yang termasuk kasus yang sudah ditelisik Pansel KPK tempo hari dengan hasil nihil keterlibatan calon pimpinan KPK itu, apalagi dengan kebetulan-kebetulan yang begitu mencurigakan seperti sangat begitu kebetulan dengan kasus Budi Gunawan ini, maka hal tersebut patut sangat diwaspadai.
Dalam konteks inilah sebenarnya diperlukan pemberian hak imunitas terhadap para pimpinan KPK. Jadi, bukan imunitas dalam arti luas. Kasus kejahatan lain, misalnya, kejahatan terorisme, penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya, jika diduga dilakukan pimpinan KPK, tidak termasuk dalam pemberian hak imunitas itu. Demikian juga jika pimpinan KPK tertangkap tangan melakukan suatu kejahatan tertentu.
Hak imunitas terkait kasus-kasus lama itu pun bukan berlaku selamanya, tetapi tetap akan bisa diusut kembali, jika pimpinan KPK itu telah selesai masa jabatannya.
Jadi, pemberian hak imunitas kepada pimpinan KPK itu dikhususkan untuk kasus-kasus lama yang diungkit-ungkit kembali, seperti yang terjadi sekarang terhadap Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen.
Jika tidak ada sama sekali hak imunitas pimpinan KPK, maka sewaktu-waktu, para koruptor bekerja sama dengan para oportunis akan dengan bebas sesukanya melakukan rekayasa kasus untuk memporak-porandakan KPK, dengan menyerang dan menghabisi satu persatu para pimpinannya, seperti yang sedang diupayakan sekarang ini.
Rekam Jejak Bambang Widjojanto
Salah satu Wakil Ketua KPK yang sekarang, Bambang Widjojanto, adalah hasil seleksi dari Pansel KPK 2011-2015, dengan nilai tertinggi, atau terbaik. Berdasarkan ranking yang dibuat Pansel KPK ketika itu, Bambang Widjojanto berada di peringkat pertama. Tetapi saat sampai di uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, mereka tidak mau memakai peringkat yang dibuat Pansel KPK itu. Mereka menilai ulang sendiri para calon itu.
Bambang Widjojanto yang dinilai Pansel KPK sebagai yang paling punya reputasi hukum terbaik, jujur dan bersih, serta tegas dan paling berani di antara semua calon, malah tidak dipilih sebagai Ketua KPK. DPR malah memilih calon yang dianggap mereka paling “hijau” di antara lima calon lainnya sebagai Ketua KPK, yaitu Abraham Samad. Mungkin pertimbangannya adalah yang “masih hijau” itu lebih gampang dikendalikan atau digertak. Kenyataannya, ternyata mereka “salah pilih” juga.
Terkait penangkapan Bambang Widjojanto oleh polisi dengan tuduhan melakukan kejahatan menyuruh orang lain memberi kesaksian palsu di sidang Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada 2010, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah itu pun sebenarnya termasuk kasus yang diperiksa Pansel KPK ketika melakukan proses seleksi terhadap Bambang.
Dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat itu, Bambang adalah salah satu pengacara pihak calon bupati Ujang Iskandar dari Partai Demokrat melawan calon bupati Sugianto Sabran dari PDI-P. Hasil sidang sengketa Pilkada yang diketuai oleh Akil Muchtar itu adalah mengabulkan permohonan kubu Ujang untuk membatalkan hasil Pilkada yang telah diumumkan KPU setempat, karena terbukti adanya politik uang yang dilakukan kubu Sugianto, antara lain berdasarkan kesaksian dari 62 saksi yang diajukan kubu Ujang. Dengan demikian Ujang bersama pasangan wakilnya yang memenangkan Pilkada itu sebagai bupati Kotawaringin Barat.
Pihak Sugianto Sabran kemudian menuding beberapa saksi dari pihak Ujang telah memberi kesaksian palsu di persidangan MK itu, dia lapor polisi. Tetapi hanya satu orang saksi yaitu Ratna Mutiara yang ditangkap dan diproses hukum. Pada 16 Maret 2011, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dia divonis bersalah, dengan hukuman 5 bulan penjara (sesuai dengan masa tahanannya). Ratna mengaku dia tak mau naik banding, karena tidak mau urusan tersebut terus berlarut-larut. Meskipun dia merasa tidak melakukan kesaksian palsu itu.
Ratna mengaku tidak tidak pernah dipaksa Bambang untuk memberi keterangan palsu saat persidangan di MK. “Saya hanya pengurus yasinan dan saya mendapat info dari masyarakat. Apa yang saya dengar, saya lihat, dan rasakan, ya, saya sampaikan,” kata Ratna ketika diwawancarai Harian Kompas (Kompas, Senin, 26/01/2015).
Pasca penangkapan Bambang, beberapa mantan anggota Pansel KPK 2011-2015, yaitu Akhiar Salmi, Ronny R Nitibaskara, Imam Prasodjo, Saldi Irsa, dan Abdullah Hehamahua, menyatakan kasus saksi palsu dalam kaitannya dengan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat itu merupakan salah satu yang diperiksa Pansel untuk menilai Bambang, hasilnya Bambang bersih. Oleh karena itulah dia diloloskan sebagai salah satu calon pimpinan KPK ketika itu. Bahkan kemudian menjadi calon pimpinan KPK yang terbaik.
Rekam Jejak Para Pelapor
Dalam kasus pelaporan terhadap para pimpinan KPK itu pun, selain sarat dengan rekayasa kasus, rekam jejak para pelapornya pun termasuk buruk.
Berikut adalah rekam jejak para pelapor pimpinan KPK itu (disari dari Harian Jawa Pos, Rabu, 28/01/2015):
Sugianto Sabran, pelapor Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto, pernah diskor PDIP karena mangkir dalam rapat paripurna angket pajak DPR pada Februari 2011. Dari informasi warga di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, diketahui Sugianto Sabran termasuk pengusaha yang kerap bermasalah dengan hukum. Dia pernah menjadi buron polisi kasus illegal logging. Dia pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 2005, tetapi kemudian berakhir dengan perceraian karena kasus KDRT.
Mukhlis Ramlan, pelapor Adnan Pandu Praja, sudah lama dikenal di Samarinda, sebagai sosok yang pandai memanfaatkan momentum. Dia pernah ikut dalam pemilu legislatif 2009 dari Partai Hanura, untuk daerah pemilihan DPRD Kalimantan Timur dari daerah pemilihan Bontang, Kutai Timur dan Berau. Hanya mendapat seribu lebih sedikit suara. Dia gagal menjadi anggota DPRD.
Sejumlah orang yang mengenalnya juga mengatakan Mukhlis sering mengaku-ngaku atas sesuatu yang bukan kapasitasnya. Contoh, Mukhlis pernah mengaku sebagai orang dekat Hatta Rajasa ketika menjabat Menteri Sekretaris Negara.
M Yusuf Sahide, pelapor Ketua KPK Abrahaam Samad, sama sekali bukan tokoh yang populer, dia baru dikenal media setelah mengatasnamakan LSM bernama KPK Watch, untuk melaporkan Abraham ke polisi dengan tudingan telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pertemuan rahasia dengan para petinggi PDI-P. “Bukti” yang disertakan dalam laporannya ke polisi itu hanyalah berupa print-out artikel yang berjudul “Rumah Kaca Abrahaam samad” di Kompasiana, yang ditulis oleh seseorang yang tidak terverifikasi alias anonim.
Fathorrasjid, pelapor Wakil Ketua KPK Zulkarnaen, adalah politisi dari Partai PKB Jawa Timur. Dia pernah disidangkan atas dasar tuntutan dari Kejaksan Tinggi Jawa Timur untuk kasus korupsi pelaksanaan program penanganan sosial ekonomi masyarakat (P2SEM) yang dinilai fiktif, dan merugikan negara hingga Rp 5,8 miliar. Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Fathor hukuman enam tahun penjara. Di tingkat banding hukumannya menjadi empat tahun penjara, di kasasi hukuman itu diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Latar belakang para pelapor seperti ini, seharusnya semakin memastikan bahwa memang sungguh-sungguh adanya rekayasa kasus untuk menyerang para pimpinan KPK sekarang ini, secara sedemikian terstruktur, masif, dan sistematis.
Jika tanpa ada hak imunitas pimpinan KPK seperti yang diwacanakan itu, maka orang-orang seperti ini, baik atas inisiatifnya sendiri, maupun dengan berkongkalikong dengan aparat dan politikus korup, bisa bebas sesuka-sukanya memporak-porandakan KPK. Maka, cita-cita para koruptor, termasuk para politikus bermental koruptor, dapat segera terwujud. Ironisnya itu berpotensi terjadi di saat Presidennya adalah Jokowi, yang sebelumnya begitu diapresiasi dan diekspektasi oleh sebagian besar rakyat, dan para pendukungnya untuk membersihkan negeri ini dari para koruptor.
Save KPK, Save Polri, Save Indonesia! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H