Mohon tunggu...
Daniel Hok Lay
Daniel Hok Lay Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar komik yang belajar nulis. www.xervan.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

DICKY, Si Chef Keren dan Belagu IV: Kenapa Tuhan Kayak Nggak Peduli??(4 dari 4)

25 Oktober 2014   10:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:48 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_331011" align="aligncenter" width="558" caption="when bad thing happen to good people"][/caption]

" Bisa kau sebutkan? Satu saja rencana Tuhan yang kau bilang ‘lebih baik’ itu?”

---CHARISMA WIJAYA---

Charisma hampir tidak pernah berdebat denganku. Dia selalu menghindari debat kusir dengan siapapun. Tak kusangka, dia kini menggugat keyakinanku tentang keadilan Tuhan.

“ Kris! Aku nggak yakin bisa ngejawab pertanyaanmu!” ujarku, ”…pertama karena aku bukan rohaniwan, ataupun tokoh spiritual yang…”

“ Tapi kamu seorang penulis Xervan!” potong Charisma, “… Analisismu dianggap akurat! Kamu bilang: kamu percaya seratus persen kalo Tuhan ada!” ujar Charisma dengan nada tinggi, “… Tolong jawab Xervan! Kenapa Tuhan membiarkan kakak iparku mati kena kanker, tapi para penjahat dibiarkan hidup tenang di dunia ini?Kenapa Van?” lanjutnya.

Aku tidak bisa menjawab. Kami berdua terdiam

“ Tiga tahun lalu, tokoh forensik terkenal, dokter Luminta Hartly, diberitakan meninggal karena tabrak lari!” ujar Charisma memecah keheningan, “…masyarakat dan tokoh-tokoh hukum ikut menangis. Kamu ingat kejadian itu Van?” lanjut Charisma.

“ Itu kecelakaan, bukan tabrak lari! Pelakunya sudah mengaku khilaf dan dihukum!”

“ Tapi papamu tetap meninggal, gimana perasaanmu saat itu Van?”

“Perasaanku? Ya! Aku ingat! Banyaknya pelayat, dan ucapan belasungkawa yang kami terima nggak bisa nyembuhin kepedihan kami atas kepergian Papa! Itulah salah satu hari tersuramku Kris!” jawabku.

“ Kenapa Van? Kenapa Tuhan biarkan hamba hukum sebaik papamu meninggal duluan, sementara si pelaku tabrak larinya malah sudah bebas?”

Aku terdiam lagi. Itu pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku tiga tahun lalu. Papaku memang aktif sebagai konsultan forensik. Analisanya berhasil menolong polisi memecahkan berbagai kasus kriminal, serta mengungkap pelaku kejahatan. Waktu itu Papa sering mengajak dan mengajariku praktek analisis forensik di lapangan. Aku begitu bangga berada di tengah-tengah para penegak hukum yang sangat menghormati Papa. Itulah masa-masa terindah yang hilang dariku. Sepertinya gugatan Charisma memang beralasan. Tuhan membiarkan maut merenggut kebahagiaan masa mudaku.

“ Sori Van, kalau omonganku rada keras. Aku nggak bermaksud menggoyahkan keimananmu. Hanya saja…, aku hanya…, kenapa harus kakak iparku Van?!” ujar Charisma.

Aku menatap Charisma dan mengangguk mencoba faham.

“ Aku juga nggak bermaksud ngorek luka lamamu, aku cuma nggak ngerti …” Charisma kehilangan kata-katanya,”Aku heran, kenapa kok kayak Tuhan nggak peduli!…bantu aku Xervan! Tolong bantu aku memahami kehendak Tuhan yang katanya; ‘selalu baik’ itu! Aku pengin sepertimu Xervan, aku pengin bisa berdamai dengan Tuhan. ”

“ Kris! Sebenarnya aku nggak setegar itu juga. Kita sama-sama nggak ngerti maksud Tuhan atas penderitaan kita. Aku hanya yakin Tuhan punya rencana yang lebih baik dari perkiraan kita.”

“ Hahaha… itu udah ratusan kali kudengar Van! Bisa kau sebutkan? Satu saja rencana Tuhan yang kau bilang ‘lebih baik’ itu?”

Papa selalu mengajariku bahwa rencana Tuhan selalu baik. Aku yakin sepenuhnya dengan ajaran itu. Tapi gimana caraku mempertanggungjawabkan keyakinanku ke Charisma?

“ Kris, aku mau tanya, …tongseng kambingnya tadi enak nggak?”

“ Ya enak banget, tapi apa hubungannya dengan…”

“ Kenapa tongsengnya bisa enak Kris?”

“ Hei..., Kamu jangan menghindar dari pertanyaanku Van! Aku tadi nanya…”

“Dengar Kris! Tongseng kambingnya enak, karena ada sosok Dicky yang lihay, dan tahu persis cara memadukan santan, cabe, garam, potongan daging serta bumbu lainnya secara pas, menjadi semangkuk tongseng kambing yang kita makan tadi.”

“ Intinya aku harus bersyukur karena masih bisa makan dan minum tongseng, gitu kan? Itu nggak ngejawab pertanyaanku Van!”

“ Dengar dulu Kris! Bayangin, di dapurmu saat ini ada seekor kambing hidup, ada kelapa utuh, sebongkah garam, kompor dan alat-alat masak lainnya. Jika kebetulan tiba-tiba datang angin puyuh dan memporak-porandakan seluruh isi dapurmu, apa yang akan terjadi dengan isi dapurmu?”

“ Seluruh isi dapur akan berserakan ke mana-mana kurasa!”

141418375597793330
141418375597793330

“Bener Kris! Dari putaran angin puyuhitu mungkin akan keluar pecahan piring, bongkahan batu bata, serta serpihan-serpihan isi dapurmu.”

“ Trus?”

“ Menurutmu, berapa persenkah kemungkinan pisau dapur dan seekor kambing yang terhisap angin puyuh tadi, akan menghasilkan potongan daging yang rapi, lengkap dengan kol, cabe, santan dan bumbu yang lain, dan secara kebetulan tercampur di dalam mangkuk menjadi sebuah masakan tongseng kambing yang lezat?”

“ Nol persen donk! Tapi, arrgghhh…, kamu mau ngomongin apa sih Van?”

“Perlatan dapur dan bahan makanan yang dicampur-aduk secara acak, takkan secara kebetulan menghasilkan makanan yang enak. Semangkuk tongseng kambing lezat tercipta karena ada campur tangan seorang Chef yang tahu cara memotong irisan kambing, memasukkan kuah santan ke wajan, serta mengolahnya dengan api yang tepat.”

“ Kamu mau nyamain deritaku dengan tongseng kambing?”

“ Aku cuma mau bilang, segala sesuatu ada maksudnya. Lihat sekelilingmu Kris! Kau bisa bertemu denganku, pada situasi seperti ini, lengkap dengan teman-teman yang peduli padamu? Apa ini bukan hidangan kehidupan yang nikmat? ”kataku sambil menunjuk ke arah teman-teman, “Kau pikir perkenalan kita berdua hanyalah hasil kebetulan acak?”

1414184018958085777
1414184018958085777

Charisma memandang ke para undangan; Lestari, Freska, Chensy, Renata, Deni, Setyo, Randy, Sudibyo, Eron dan Demas, merekaterlihat gembira menikmati banyolan Dicky.

“ Aku bisa merasakannya Kris! Kedengarannya konyol! Tapi kamu benar! Hidup kita memang mirip tongseng kambing! Ada tangan-tangan yang berkerja dibalik semua musibah yang kita alami. Dan sejauh ini, kurasa menu yang Tuhan sajikan masih terasa nikmat. Potongan dagingnya sangat pas! Tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar.”

Charisma masih terdiam sambil menatap ke arah Dicky dan teman-teman.

“ Tadi kau minta aku nyebutin satu aja rencana Tuhan yang ‘selalu baik’ dibalik penderitaan kita. Lihat Kris! Sekarang kita berdua bisa saling ngerti betapa pedihnya kehilangan orang yang kita sayangi. Kini kita bisa menolong orang lain untuk bangkit lagi, jika suatu saat mereka kena musibah yang sama.”

Charisma menoleh dan menatapku. Matanya mulai bersinar-sinar. Kurasa dia mulai mendapat pencerahan.

“Cuma itu doank Van!”

“Bukannya kamu cuma minta satu contoh? ”

“ Oke…, untuk sementara kuterima argumentasimu Van! Jika si Chef membuang bulu kambing ke bak sampah, aku juga nggak akan protes dan maksain dia untuk masukin bulu itu ke mangkuk tongsengku! Aku bisa percaya sepenuhnya dengan semua keputusan Chef, demi mendapatkan tongseng kambing terbaik. Mestinya aku lebih bisa percaya pada Tuhan sebagai 'Chef kehidupan' kita. ” Ujar Charisma dengan tersenyum.

Akupun tersenyum mendengar Charisma mengutip istilah 'Chef kehidupan' yang entah gimana tadi tiba-tiba keluar dari argumentasiku.

“ …tapi pertanyaanku masih belum terjawab Van! Kenapa orang jahat hidup lebih lama dan nasibnya lebih mujur dari orang baik?”

“ Nanti kujawab kalo aku sudah tahu jawabannya ya Kris, hehehe…”

Charisma tertawa. Aku sedikit lega. Dialog singkat kami sanggup merubah suasana hati Charisma, walau belum pulih seutuhnya. Aku masih berhutang pada Charisma pertanyaan yang aku juga belum tahu jawabannya. Kami berdua berjalan dan kembali bergabung dengan yang lain, menikmati banyolan Dicky. Kini aku sadar! Berbagi kepedihan dengan Charisma membuatku bisa lebih mensyukuri semua yang telah Tuhan berikan untukku hari ini. Entah kenapa, rasa iriku kepada Dicky tiba-tiba seperti lenyap tanpa bekas. Kini aku bisa tertawa lepas menikmati lelucon Dicky, sama seperti teman-teman yang lain. Mungkin Dicky juga sama seperti Charisma. Kami tidak tahu kepedihan apa yang mungkin dialami Dicky, dibalik kemampuannya melucu dan menjadi pusat perhatian cewek-cewek cantik ini.

Bagian 4 dari 4

TAMAT

Tulisan dan gambar adalah karya asli penulis yang telah dipublikasikan di www.xervanindonesia.com atau www.xervan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun