Setiap tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi oleh semua orang di seluruh dunia.
Kenapa Hari Bumi ditetapkan pada tanggal 22 April? Karena di tahun 1970 pada tanggal 22 April Gaylord Nelson untuk pertama kalinya mengumumkan konsep Hari Bumi di sebuah konferensi pers di Seattle.
Gaylord adalah seorang senator junior dari Wisconsin Amerika Serikat yang tergerak untuk menyadarkan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas tentang polusi dan kerusakan lingkungan yang semakin parah di sana.
Apa yang sudah dilakukan Gaylord sebenarnya sudah sangat bagus dan seharusnya bukan menjadi sebuah peringatan yang dianggap angin lalu dan dirayakan setahun sekali saja oleh orang-orang.
Musim Hujan dan Kemarau yang Tidak Konsisten
Keresahan ini bermula dari cuaca panas yang beberapa hari terakhir ini saya rasakan. Pagi hari ini padahal udah mandi masih juga keringetan.
Biasanya kalau panas gini tandanya mau turun hujan. Eh bener aja ga beberapa lama kemudian turun hujan di siang hari tadi.
Jadi teringat kata guru SD mata pelajaran IPA saya saat itu katanya untuk menghafal musim hujan di Indonesia tuh gampang.
Caranya dengan mengingat bulan-bulan yang berakhiran “-ber” itu tandanya sudah masuk musim hujan yang dimulai dari bulan September hingga Desember.
Idenya adalah kata “-ber” di bulan-bulan tersebut disamakan dengan kata "ember" untuk menampung air saat musim hujan tiba.
Tetapi sepertinya sekarang cara tersebut sudah tidak berlaku lagi karena justru musim hujan sudah bergeser ke bulan Januari hingga Februari bahkan peluang turun hujan di bulan Maret dan April masih tinggi.
Apa Hubungannya Kerusakan Lingkungan dengan Anomali Cuaca yang Terjadi?
lingkungan yang disebabkan karena berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan CO2.
Anomali cuaca atau musim hujan dan kemarau yang tidak menentu adalah salah satu dampak dari kerusakanContoh terdekatnya adalah penggunaan motor dan mobil yang semakin bertambah setiap tahunnya.
Asap hasil pembakaran kendaraan bermotor yang mengandung karbon dioskida (CO2) tersebut terbang ke atmosfer, berkumpul dan menahan panasnya sinar matahari yang dipantulkan kembali oleh bumi.
Seharusnya panas tersebut bisa dipantulkan kembali tetapi karena adanya CO2 justru panas tersebut terjebak di bumi. Ini lah efek rumah kaca yang menyebabkan bumi semakin panas dari tahun ke tahun dan mengakibatkan anomali cuaca.
Dari sepengamatan saya setidaknya sudah 2 tahun terakhir secara berturut-turut setiap awal tahun pasti selalu banjir besar. Sebuah pembukaan awal tahun yang "menarik".
Dampak Pemanasan Global terhadap Bumi
Berkaitan dengan tema Hari Bumi 2022 “Invest in Our Planet” laman Earthday.org mengajak semua orang untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai investasi di masa depan.
Kelestarian lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil sederhana seperti pengurangan penggunaan kendaraan bermotor dan juga plastik.
Panas matahari yang terjebak akibat CO2 menyebabkan cuaca yang sudah panas menjadi lebih panas yang pada akhirnya berdampak pada melelehnya gunung-gunung es raksasa yang ada di Antartika.
Melelehnya gunung es tersebut tentu akan membuat kenaikan permukaan air laut secara permanen.
Gunung es sendiri adalah produk yang terjadi 20 ribu tahun yang lalu saat bumi ada di Zaman Es Terakhir.
Seharusnya kita tidak perlu khawatir karena bumi memiliki siklus yang berulang seperti Zaman Es yang sudah terjadi sebanyak lima kali.
Tetapi karena penggunaan bahan bakar fosil yang berlebih sepertinya kita perlu untuk mulai introspeksi diri karena Zaman Es yang dinantikan atau setidaknya proses menuju ke sana yang ditandai dengan hawa-hawa dingin tidak akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Malah justru bumi akan semakin panas dan gunung-gunung es tersebut akan meleleh total pada akhirnya.
Apa Dampaknya kalau Gunung Es Tersebut Meleleh?
Gunung es dan lautan beku yang ada di Kutub Selatan dan Kutub Utara menampung miliaran ton air yang apabila mencair akan menaikkan level permukaan air di seluruh dunia.
Berdasarkan berita di CNN Indonesia, melelehnya gunung es terbesar di Antartika (Kutub Selatan) sejak Juli 2017 mengakibatkan kenaikan 1 triliun ton air dalam 3 tahun terakhir.
Kalau dihitung secara matematis (semoga perhitungannya saya ga salah hehe), artikel tersebut mengatakan air sebanyak 150 miliar itu setara dengan mengisi 60 juta kolam renang ukuran olimpiade.
Standarnya 1 kolam renang ukuran olimpiade itu memiliki volume air sebanyak 2.500.000 L. Jika dikali 60 juta berarti volume airnya sebanyak 150 triliun liter.
Nah karena 1 liter itu setara dengan 0,001 meter kubik (m3) maka kalau 150 triliun liter itu berarti setara dengan 150 miliar meter kubik (m3).
Karena meter kubik itu untuk perhitungan balok/ruang, maka kita turunkan jadi meter persegi untuk menghitung bidang datar.
Dengan perhitungan 1 meter kubik sama dengan 100 meter persegi (m2) maka 150 miliar meter kubik sama dengan 15 triliun meter persegi (m2).
Setelah perhitungan matematika yang lumayan jelimet itu, mari kita telusuri lebih dalam lagi.
Luas wilayah Indonesia yang sudah termasuk pulau-pulau di dalamnya mencapai 1.916.906,77 km2.
Kalau dikonversikan lagi maka 15 triliun m2 sama dengan 15 miliar km2. Dengan perhitungan tersebut tentu saja Indonesia akan tenggelam!
Potensi Indonesia Tenggelam
Tentu saja perhitungan tadi sangat kasar karena volume air sebanyak itu kan ga langsung serta merta menuju ke Indonesia saja tetapi terbagi merata ke seluruh permukaan air di bumi.
Saat ini bumi sudah memiliki jumlah air sebanyak 1,386 juta km3 belum lagi yang ada di wujud lain seperti awan dan gunung es.
Jika ditambah dengan volume air 150 juta km kubik tadi tentu saja akan berdampak terhadap meningkatnya permukaan air laut meskipun tidak secara signifikan.
Berdasarkan data dari NASA, setiap tahunnya volume air laut rata-rata meningkat sebanyak 3.3 milimeter per tahunnya.
Jumlah tersebut tentu tidak mengancam....
Setidaknya itu juga yang dirasakan orang-orang di tahun 1990-an. Mungkin di tahun tersebut mereka masih anggap "ah biasa aja, cuma naik dikit".
Lalu kita yang mendengar hal serupa pada saat ini juga menganggap "ah biasa aja cuma naik dikit" padahal kalau dibandingkan cuaca dan keadaan bumi dalam rentang waktu 32 tahun terakhir ini tentu SANGAT BERBEDA.
Contoh kecilnya setiap kali ke Bandung orang tua saya pasti selalu bercerita tentang dinginnya Bandung di tahun 90-an.
Di awal tahun 2000-an juga udah mulai berkurang hingga terakhir kali saya ke sana 3 bulan lalu udah ga ada dingin-dinginnya sama sekali. Yahh.. paling dingin saat hujan turun saja.
Analis NASA bahkan sudah mengamati bahwa bagian pinggiran di Jakarta Utara sudah berkurang sebanyak puluhan milimeter akibat terendam air secara konstan.
Puluhan milimeter itu berarti mulai dari 10 milimeter sampai 90 milimeter. 10 milimeter itu sama dengan 1 cm. Tebal sol sepatu pada umumnya adalah 1 cm sampai 3 cm.
Jadi kenaikan air puluhan milimeter yang dikatakan NASA itu sudah cukup untuk membuat genangan air yang merendam jalanan setinggi sol sepatu kita bahkan lebih.
Menurut mereka usaha pemindahan ibu kota ke Kalimantan untuk melindungi kotanya dari banjir serta merawat perkembangan ekonomi dan juga pembangunan tanggul laut raksasa itu belum cukup.
Alasannya karena usaha tersebut mungkin tidak akan cukup untuk menanggulangi keadaan banjir yang sudah terjadi.
Kesimpulan
Film Don't Look Up (2021) adalah film yang menurut saya dengan sangat apik dan realistis berhasil menggambarkan bagaimana kiamat di bumi akan terjadi dan apa yang orang-orang lakukan di sisa waktu hidupnya.
Saya adalah salah satu penyintas dari (hoax) kiamat dunia di tahun 2012. Tapi tidak menutup kemungkinan kiamat tersebut tetap akan datang suatu saat nanti akibat kerusakan bumi yang sudah dicicil sejak beberapa puluh tahun lalu.
Kalau saya sendiri malah lebih yakin kalau kiamat di bumi bukan karena faktor ekstraterestrial seperti di film tersebut (meskipun ada kemungkinannya), namun justru karena ulah manusia sendiri yang menyebabkan banjir dan negara-negara akan tenggelam.
Seperti digambarkan oleh film Waterworld (1995) yang dibintangi oleh aktor kawakan Kevin Costner.
Sama seperti makhluk hidup lainnya yang mempunyai usia, bumi pun akan tutup usia juga pada akhirnya.
Selama kita masih bisa menikmati hidup dengan berbagai keindahan alam yang ada, mari kita mulai hidup go green dari melakukan hal-hal sederhana untuk mencegah bumi dari kerusakan permanen.
Misalnya naik sepeda atau jalan kaki untuk pergi ke tempat yang jaraknya dekat, menggunakan kantong kain atau dus untuk berbelanja, dan menggunakan sedotan besi untuk minum....
atau langsung minum aja lah ngapain pula minum pake sedotan, bikin ribet.
Semoga peringatan Hari Bumi bukan hanya sebuah euforia sehari saja, namun diterapkan dalam kehidupan kita setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H