Ompu ni Jonggara Napitupulu menghapus air mata yang merembes di kelopak matanya, mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Eddy Silitonga yang bercerita tentang penyesalan orang tua atas kemarahannya yang berlebihan, mengakibatkan anaknya merantau dan tak pernah memberi kabar atau pun pulang menjenguknya.
“Bah inum kopimi Ompung… so sanga ngali annon…” (minumlah kopinya kek… nanti keburu dingin) tiba tiba yang empunya kedai kopi menyadarkannya dari lamunannya.
Setiap pagi Ompu ni Jonggara duduk minum kopi di warung “sikomatu” ini (siang kopi malam tuak) menunggu hari agak siang. Semenjak dia mengidap penyakit rheumatik, dia tidak bisa lagi pergi kesawah terlalu pagi karena dinginnya air sawah membuat persendian tulangnya serasa nyeri bagai ditusuk jarum. Tiap pagi dia hanya nongkrong sambil minum kopi menunggu sang mentari menghangatkan bumi. Untunglah nyonya Napitupulu boru Sianipar pemilik lapo tak pernah mau menerima uang darinya, mungkin karena merasa masih saudara atau mungkin perasaan kasihan kepada beliau yang hidup sebatang kara digubuk tuanya.
“Eh… olo itonan… songon na tabo lagu i hubege… ulakhon jolo bah� (Eh iya… lagunya berkesan… tolong diulang lagi) Ompu ni Jonggara sedikit tersentak.
“Imada, ai baru dituhor pahompum nantoari… alai dang adong vicidina holan kaset do…” ( iya baru dibeli cucumu kemaren… tetapi tidak ada VCDnya hanya kaset) nyonya Napitupulu menerangkan, samabil merewind ulang kaset yang sedang diputar, kembali ke awal lagu.
Mengalunlah kembali suara Eddy Silitonga menyanyikan lagu :
Molo tung namuruk ma au na uju i
Molo tung marrimas ma au na salpu i
Ai satokkin do Amang muruk ni rohakki
Hu solsoli do Amang salpu ni hatakki
Alai boasa ma manibbas langkam i
Ai tung boasa ma lupahononmu au
Asi roham tu au naung matua on
Ai tung ro maho mandulo au Amangmon
Marsahit sahit au naung suda gogokki
Manakkar nakkar au dung monding inang mi
Pulutt ni rohami mangalupahon au
Atik na on nama ujung ni ngolukkon
Reff:
Aut na boi tarbahen au
lao manjururi hutami
Taontononhu do lao mandapothon ho
Asa huida bohimi anak hasianhu
Asa huhaol ho gomos….
Kalaupun saya marah dahulu
Kalaupun saya emosi dahulu
Kemarahan hati saya Cuma sekejap
Saya menyesal ucapan saya yang terlalu
Tetapi mengapa kamu nekad pergi
Mengapa kamu melupakan saya
Kasihanilah saya yang telah renta
Datanglah menjenguk ayahmu
Saya sakit sakitan kehabisan tenaga
Sebatang kara setelah ibumu meninggal
Teganya hatimu melupakan saya
Mungkin inilah akhir hidupku
Reff
Seandainya saya mampu
untuk menjalar ketempatmu
Akan kupaksakan untuk menemuimu
Agar kumelihat wajahmu anakku sayang
Agar ku memelukmu dengan erat
***
Ompu ni Jonggara kembali mengusap airmatanya dengan punggung lengannya. Kembali terbayang di pikirannya, anak laki lakinya yang saat itu baru berumur 15 tahun, seorang remaja tanggung yang seharusnya masih duduk di bangku SMP. Dia melarikan diri merantau entah kemana… setelah dia mengusirnya dari rumah, saat itu dia tidak mengakui lagi sebagai anak karena kenakalannya.
Memang kenakalan Timbul sangat keterlaluan. Ya, Timbul Pandapotan, nama yang dia berikan kepada putranya itu ketika lahir, yang berarti terbit atau bangkitlah pendapatan dalam segala hal, baik materi maupun kesejahteraan.
Sejak kecil dia sudah berani mencuri uang maupun barang barang milik kakaknya, bahkan anak anak sekolah yang banyak kost di daerah Sakkar Ni Huta, kampungnya tidak luput dari incarannya. Sudah tidak terhitung lagi kepala lorong (semacam RT) Sakkar Ni Huta mendatangi rumahnya, menuntut kelakuan Timbul yang selalu berbuat onar.
Ompu ni Jonggara pun sudah beberapa kali harus membayar atau mengganti Ayam, Telor Ayam, Entok, bahkan anak Babi yang di curi Timbul dengan teman temannya. Yang lebih merusak perasaan Ompu Jonggara adalah ketika Timbul pergi kerumah Tulangnya Silalahi di Sibodiala, dipuncak Dolok Tolong.
Hula hulanya itu datang berjalan kaki berjam jam, dari Sibodiala, karena memang saat itu hanya jalan kakilah transportasi satu satunya ke Sibodiala, walaupun letaknya tidak begitu jauh dari Soposurung Balige. Mereka menyampaikan keluhannya bahwa Timbul mencuri anak Babi milik parhangir GKPI Sibodiala, juga bermarga Silalahi. Timbul dan kawan kawan memanggangnya di tengah sawah dan memakannya beramai ramai.
Kedatangan Hula hulanya sangat membuat perasaan Ompuni Jonggara patah arang, maklum bagi orang Batak, Hula hula (pihak keluarga istri) adalah sumber pasu pasu (berkah), sehingga dia benar benar emosi dan putus asa. Dia menunggu Timbul pulang ke rumah dengan hati yang membara, tak ada kata maaf lagi darinya.
“Holan na pailahon do ho tu au, holanna paurakkon… sonnari pe lao maho sian jabu on… lao maho maup….” (kamu hanya membuat saya malu, membuat tercemar… sekarang pergilah dari rumah ini… pergilah kamu kemana saja)
“Mulai sadarion… huetong ma ho naung tilahakku…!!!” (mulai hari ini kamu kuanggap sudah mati) Ompu ni Jonggara membentak putra satu satunya itu dengan emosi, ketika Timbul pulang sore harinya.
Dia tidak memperdulikan lagi tangisan Istri dan anak perempuannya memohon agar dia merubah keputusannya, juga tetangga yang masih ada hubungan kerabat sudah tidak didengarnya. Ompu ni Jonggara memungut pakaian Timbul seadanya dan melemparkannya ke halaman.
Hari telah menjelang malam. Timbul melangkah tak pasti sambil memeluk pakaiannya seadanya diiringi tangisan Ibu dan dua orang Itonya.
Ke esokannya, Ompu Jonggara sudah bangun pagi pagi, hatinyapun sudah reda. Dia mengira bahwa Timbul tidak akan kemana mana, paling paling dia menompang tidur di rumahnya Marlon Hutabarat anak Hutabarat polisi, tetangganya. Ketika dia bertemu dengan Marlon dia bertanya; “Ai na di jabumuna do modom si Timbul, Marlon…?” (apakah si Timbul tidur di rumah kalian)
“Daong Tulang, ai naeng lao do ibana mangaranto ninna…” (tidak Paman, katanya dia akan pergi merantau) sahut Marlon Hutabarat sahabat Timbul.
“Bah… boasa pola pittor lao ibana… tu dia ninna tujuanna…?” (Wah… kenapa dia langsung pergi… kemana katanya tujuannya) Ompu ni Jonggara bertanya, dia merasa sedikit was was.
“Ai ima da Tulang, ala na nidok ni Tulangi naung tilaha ni Tulang ibana, gabe palungunhu rohana ninna, alai ibana pe dang diboto tu dia tujuanna Tulang” (itula paman karena paman mengatakan dia dianggap sudah mati… dia merasa sangat sedih, tetapi diapun tidak tau hendak pergi kemana), Marlon menerangkan.
Mulai hari itu Timbul menghilang bak ditelan bumi, tidak ada satu orang pun yang tau kemana dia pergi. Baru setelah tiga puluh tahun kemudian ada orang yang bercerita kalau Timbul ada di Batam dan menjadi orang yang sangat sukses, seorang pengusaha terkenal, export import dari Singapura. Ada sebagian orang mengatakan kalau Timbul adalah parsimokkel kelas kakap dan punya kapal sendiri.
Namun semua itu tak dapat mengurangi kesedihan Ompu ni Jonggara, karena dia belum melihat bagaimana wajah anak nya yang telah lama tidak kembali, bahkan suratpun tidak ada sama sekali.
Ada orang yang mengabarkan bahwa Timbul sudah menikah dan punya anak. Seharusnya dia tidak lagi dipanggil Ompu “ni” Jonggara. Harusnya dia dipanggil Ompu…, sesuai nama anak Timbul. (kalau cucu dari anak perempuan pakai “ni” di tengah tengah misal Ompu ni Radot, Ompu ni Sahat, kalau dari anak laki laki hanya nama misalnya Ompu Lambok, Ompu Jogal).
Ompu ni Jonggara sudah berpuluh kali menyampaikan pesan dan surat melalui orang orang Balige yang pulang dari Batam, tetapi tak ada kabar balasan. Dia sangat ingin menemui anaknya itu. Ingin menyampaikan penyesalannya, ingin membelai wajahnya, ingin memeluknya dan juga ingin memeluk cucu panggoarannya. Tetapi apa daya, dia sudah sakit sakitan, tak punya cukup uang untuk ongkos, sementara dua orang putrinya pun hidup pas-pasan sebagai buruh tani.
Nai Jonggara tinggal di Silaen, menjadi petani, sementara sawah yang dikelolanyapun milik orang lain, bukan miliknya. Nai Lambok tinggal di Gasaribu, juga buruh tani, sambil berdagang ikan Jahir di pasar Sirongit, itupun tidak setiap hari karena akhir-akhir ini ikan mujahirpun seolah mogok makan sehingga kurus kering kurang vitamin.
Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada dua orang putrinya itu, perasaannya hanya diungkapkan dengan mangandung menangis sambil memeluk makam istrinya yang ada dibelakang rumahnya, hampir setiap hari.
“Bah gabe tangis ho Oppung ala ni lagu i…” (Wah kakek menjadi menangis karena lagu itu) Boru Sianipar kembali menyadarkannya dari lamunan.
“Ima da… gabe huingot si Timbul… ai tung na adong do nuaeng di ae jolma na asing songon lagu on ?, ate ito…” (ya itulah saya jadi teringat si Timbul… apakah mungkin ada orang lain yang mengalami seperti isi lagu ini?) Ompu Jonggara menyahut sambil menghapus air matanya.
“Martangiang ma ho Ompung… pos roham mulak doi…” (berdoalah kakek… percayalah dia akan pulang) Boru Sianipar berusaha menenangkan, walaupun hatinya tak yakin.
Empat hari kemudian Ompu ni Jonggara ditemukan telah meninggal di rumah “sopo”-nya oleh Boru Sianipar pemilik Lapo. Sudah berhari-hari dia tidak muncul di Lapo, Boru Sianipar jadi curiga lantas menyelidik kerumah Ompu ni Jonggara. Yang ia temukan adalah seonggok tubuh yang telah menjadi mayat, terbujur kaku di bale-bale bambu “Bulu Godang” buatannya sendiri.
Timbul Pandapotan Napitupulu MBA, begitu tertulis di atas meja kerja yang terbuat dari kayu jati yang keras dan mahal didalam ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter itu.
Di sudut ruangan ada lemari kaca transparan yang berisi berbagai merek minuman keras yang berharga mahal seperti, Hennessy XO, Cognag MARTELL, Bourbon, Red Label, Blue label dan Calvados. Ditengah ruangan ada meja jati berukuran luas untuk keperluan meeting. Di sebelah kiri ada sofa yang empuk berbalut kulit dari Italy.
Timbul sedang asyik mengkalkulasi keuntungan yang akan diperoleh perusahaannya bulan depan yang akan berlipat. Dia baru saja membuka sebuah pabrik di daerah Muka Kuning Batam.
Telepon dari sekretarisnya berdering, melaporkan ada tamu seorang wartawan dari sebuah majalah dan surat kabar terbitan Medan. Seperti biasa sekretarisnya harus mengkonfirmasi terlebih dahulu sebelum tamu menemui Timbul.
“Bah… Horas Tulang…”, Amrin Simatupang sang wartawan menyapa.
“Bah..Horas, horas… songon na ro ho bere, apala aha na porlu…?!”, Timbul menyapa dengan akrab, Timbul sangat senang mengobrol dengan Amrin, karena beliau ini sangat pintar mengkilik-kilik perasaannya. Maklumlah bagi sipanggaron seperti Timbul sangat membutuhkan sosok parsarune buluseperti Amrin.
“Dang pola na dia Tulang… tentang pabrik ni Tulang on do… asa binaen nian baritana di Majalah Bonapasogit dohot di Harian Medan Pos, asa di boto angka par-hitaan naung mamora Tulang di son…”, Amrin menyatakan keinginannya mempublikasikan kehebatan Timbul seiring dengan dibukanya sebuah pabrik.
“Boi do i bah…, memang jago do ho bere pasonang roha ni Tulangmu…. beres ma annon anggo pasi sigaretmu….”. Timbul menyambut rencana Amirin dengan bersemangat, membayangkan semua orang di Balige dan Sangkar ni Huta akan membicarakan keberhasilannya di lapo lapo, langsung kambang birrik birriknya.
Amrin pun tersenyum cerah. Dia sudah membayangkan berapa kira-kira pasi-sigaret yang akan dia terima. Tempo hari hanya menyebutkan sekilas saja nama Timbul di koran dia sudah dapat ang-pauw yang cukup lumayan. Sekarang akan memuat artikel penuh dan di dua Media… “Mangallangi ma au…”, begitu kata hatinya.
Mereka berdiskusi panjang lebar tentang apa yang akan di muat di dalam artikel itu, tentunya pada garis besarnya semua hal-hal yang menyebutkan kehebatan Timbul. Amrin pun tidak pernah menanyakan akan asal usul gelar MBA yang tercantum dibelakang nama Timbul. Sebenarnya dia tau kalau Timbul hanya tammat SD, SMP tidak dirampungkannya karena keburu merantau setelah diusir oleh Ayahnya akibat kenakalannya.
Amrin mencatat semuanya apa yang Timbul inginkan harus disebutkan di artikel itu. Tentunya bagi wartawan parsarune bulu seperti Amrin, semuanya sah-sah saja. Semua bisa diatur asal ada ongkosnya. “Hepeng do mangatur negara on”, begitu prinsipnya. Hal itulah yang selalu membuatnya bertentangan dengan Almarhum Albert Situmorang seorang Wartawan senior Harian SIB dan Kompas.
Setelah mereka selesai membuat draft tulisan, Amrin berpamitan, tentunya setelah menerima selembar cek yang nominalnya mampu membuat Amrin menahan napas.
“Bah…ai godang ma on Tulang….” , kata Amrin berbasa basi seolah kaget yang diterimanya terlalu banyak, tetapi langsung memasukkan ke kantong bajunya sebelum Timbul meminta kembali.
“Ah… ai ho nian bere… sadia ma i… molo jago do suratanmi hutambai pe muse…”, Timbul merasa enteng memberi uang sebanyak itu, dan berjanji akan menambah lagi untuk memastikan bahwa missinya menaruh berita tersampaikan.
“Adong ulaonmu bodari Bere..? molo aha asa dongani Tulang marmitu”, Timbul minta kepastian apa ada pekerjaan Amirin nanti malam, agar bisa diajak menemaninya minum minum.
“Bah… ai anggo Tulang do manogihon sadihari pe siap do iba…”. Amrin menyatakan kesediaannya dengan mata berbinar.
Siapa yang tak mau pergi bersenang senang dengan konglomerat, pergi ke High Class Club, VIP member, dikelilingi wanita wanita cantik….
“Ise nasongon au… tombus na marjalang i…” Siapa yang bisa seperti saya… perantauanku berhasil, kata hati Amrin.
Dia mengingat beberapa waktu lalu, Timbul mengajaknya menemani bermain judi di Hotel Grand Hyatt Batam, di basementnya ada Casino terselubung, yang hanya orang orang tertentu yang dapat masuk kedalamnya, bahkan peraturan Sutanto pun tak berlaku disana.
Siapa yang tak mengenal Timbul di daerah Nagoya, pusat segala hiburan di pulau Batam, tempat Night Club dan segala macamnya, tempat mengumpulnya Cukong Cukong Singapore berburu ABG.
Timbul memang suka bermain judi, sambil dikelilingi oleh wanita wanita cantik, bahkan ahir-ahir ini seleranya pun meningkat, dia hanya ingin ditemani oleh wanita wanita bule. Kebanyakan dari daerah pecahan Rusia seperti Uzbekistan. Bagi Timbul, negara asal tidak masalah yang penting bule.
Dua minggu kemudian Timbul menerima Majalah dan Koran yang memuat berita tentang keberhasilan dirinya itu dari Amrin. Timbul langsung membacanya, dia merasa puas akan isi berita tersebut, persis seperti yang di inginkannya, menonjolkan semua keberhasilannya.
“Memang jago do ho bere pasonang roha ni Tulangmu bah… asa di boto parhitaan… dang si Timbul najolo be Au… si Timbul namora i nama on…” (memang kamu hebat kamu menyenangkan hati Pamanmu… agar orang orang Kampung mengetahui… saya bukan si Timbul yang dahulu lagi… sekarang saya adalah si Timbul yang kaya raya) Timbul menyatakan kepuasannya atas tulisan Amrin dikedua media tersebut.
“Ai sadihari be patuduhonon ni tulang anggo dang saonnari… ai tulang nama nomor sada ni konglomerat halak Batak di Indonesia on…” (kapan lagi Paman akan memamerkannya kalau bukan sekarang… sekarang ini Paman adalah nomor satu konglomerat orang Batak di Indonesia…) Amrin kembali memuji Timbul, membuat Timbul mabuk pujian, semakin kambang birrik birriknya.
“Tetapi ada ideku lagi Tulang… supaya Tulang lebih terkenal lagi…”, Amrin melanjutkan.
“Apa itu..?!,” Timbul langsung tertarik.
“Begini Tulang…, di Toba sekarang sedang musim orang membuat tugu satu Ompu. Sudah banyak kali pun orang orang kaya dari Jakarta membuat tugu. Mereka mengadakan pesta yang meriah, padahal kekayaan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan Tulang”, Amrin memasang jebakan.
“Jadi maksudmu..?”, Timbul masih belum mengerti.
“Ya Tulang bangunlah tugu yang lebih hebat… lalu di undang semua Marga Napitupulu untuk menghadiri peresmiannya, jadi semua mereka tau dan kenal sama tulang”, Amrin tersenyum didalam hati, karena kelihatannya Timbul termakan pancingan. Tetapi dilihatnya ada keraguan pada diri Timbul.
“Kalau dulu saya lihat orang paling hebat cuma mengundang Camat Balige untuk meresmikan tugu, kalau kita harus Bupati Tulang… kalau perlu Gubernur…”, Amrin semakin merasuk rayuannya, dasarparsarune bulu.
“Boleh, boleh itu… kalau soal Gubernurnya kuatur pun itu… hepeng do mangatur negara on…” Timbul benar benar terpancing egonya.
“Tapi kalau kita membangun, jangan tanggung tanggung, harus lebih hebat dari semua tugu yang pernah ada…. kalau perlu arsiteknya harus dari Bali, harus orang terkenal…”. Timbul bersemangat.
“Tetapi kalau begitu Tulang… biayanya nanti sangat Mahal…”, Amrin berusaha menggelitik ego Timbul.
“Bah…jangan kau singgung sama aku masalah biaya… berapapun tak masalah…!”, Timbul menegaskan.
“Agai amang tabo nai… mangallangi nama au… anggo on pe tombus namarjalang i…” (waduh bapak enaknya… makan besar saya… kalau begini berhasillah perantauanku…), Amrin tersenyum dan berkata dalam hatinya.
“Begini saja… mulai besok kau mulailah mencari arsitek yang hebat dari Bali… kau aturlah semua… kaulah pelaksananya….”, Timbul memberi tugas langsung pada Amrin. Ini sudah diduganya.
“Apala holan mangombak adong tarbirsak gambo tu pamangan, apalagi ma hepeng mar milliyar…” (memacul sawahpun akan terpercik lumpur ke mulut… apalagi proyek milliyaran..) Begitu prinsip Amrin.
Dengan semangat Amrin sibuk menghubungi para Arsitek, juga orang orang yang akan mensuplay bahan-bahan untuk pembuatan tugu, tentunya dengan potongan uang taba taba sekian persen.
Tugu yang di bangun Timbul itu memang sangat megah dan indah. Maklum, arsiteknya dari Bali, seorang arsitek yang cukup terkenal. Bahkan para pembuat ukir ukiran patungnya pun dari Bali. Tenaga tukang dari Balige hanya sebagai pembantu, sebagai tukang kocok semen.
Saran saran dari petukang Balige yang berpengalaman dan tau adat Batak itu tidak diindahkan. Ketika mereka mengatakan bahwa tidak baik membuat anak tangga yang berjumlah genap karena itu adalah symbol keluarga “Hatoban”, seharusnya mesti ganjil, milik para Radja, mereka tak menghiraukan.
***
Semenjak dari awal pendirian tugu, nyonya Napitupulu boru Sianipar, cuma geleng geleng kepala, sedikitpun dia tak merasa tertarik. Dia juga tak mau mengomentari ketika orang orang Sakkar ni Huta membicarkan keberhasilan Timbul dan kemegahan tugu yang di bangunnya, di laponya. Dia tak bisa melupakan pemandangannya ketika dia menemukan mayat Ompu ni Jonggara ayahanda Timbul yang telah kaku dengan posisi membungkuk di atas balai-balainya sudah mulai bau. Yang lebih parah lagi karena posisinya yang membungkuk, penduduk desa sangat kesulitan memasukkan mayat Ompu ni Jonggara kedalam abal-abal buatan Amang Sintua Siahaan Par-Sibulele. Mereka tak tega menekan atau menarik terlalu keras, karena takut mungkin ada bagian tubuh yang akan patah. Memang dia sudah tidak merasakan lagi, tetapi tetap saja tidak tega.
Boru Sianipar juga masih mengingat bagaimana sedihnya perasaannya bila melihat Ompu ni Jonggara meringis menahan sakit dikala penyakit rheumatik dan maagnya kambuh. Dia tak dapat berbuat banyak, mau membawanya berobat ke dokter dia pun kesulitan sebab dia juga harus membiayai sekolah anak anaknya. Membawa Ompu ni Jonggara berobat ke Rumah sakit Balige… lebih parah lagi, sebab Rumah Sakit milik HKBP ini yang nota bene, dibiayai oleh Persembahan durung-durung dan iyuran tahunan ruas (masyarakat umum) ternyata tak bisa diandalkan. Masyarakat HKBP memberikan durung-durung dan iyuran tahunan dengan ikhlas dan tanpa pamrih, tetapi ketika uang itu sampai ditangan Yayasan Rumah Sakit, mereka tak pernah ikhlas memberi pelayanan tanpa bayaran. Tak ada tempat bagi si miskin.
Pada waktu peresmian tugu, pembukaan acara sangat meriah, dihadiri beberapa pejabat. Music pengiring dari Jakarta, ada penyanyi penyanyi ibu kota yang tampil menghibur.
Pesta diadakan selama dua minggu nonstop, siang dan malam siapa saja boleh makan sepuasnya, boleh minum bir sepuasnya. Untuk kebutuhan ini setiap saat truk dari produsen bir siap mengantar kapan saja.
Setiap orang yang mau manortor mesti di beri saweran uang. Benar benar pesta yang fantastis. Ketika malam tiba penyanyi ibu kota menghibur bergantian. Tidak lupa beberapa gadis bule yang cantik cantik “Rekan Bisnis” Timbul berjoged dansa, disco, cha cha diatas pentas.
Masyarakat benar benar menikmati pertunjukan dan limpahan uang mendadak yang mereka dapat dari pesta ini. Mereka tak segan-segan berkata pada Timbul : “Ah… ho do na toho namarjalang i bah…. ho nama naummora di halak hita…” (andalah yang paling berhasil di perantauan… andalah yang terkaya di tengah orang Batak). Mendengar ini Timbul semakin kambang birrik birriknya.
Hanya satu keluarga yang tidak pernah tampak di pesta itu, boru Sianipar Parlapo.
Ada beberapa orang mengajaknya. “Bah beta… na masi hepeng on… ai holan sahali mangurdot nungnga dapotan hepeng…” ( marilah… mendapatkan uang… sekali berjoget saja sudah di beri uang… )
Boru Sianipar Cuma berkata : “Hamu ma tusi… dang tarpaida-ida au angka engkel muna i… Sai huingot natua-tua i nahinan… hansit nai ditaon….” (kalianlah ke sana… saya tak sanggup melihat tawa kalian… saya jadi teringat pada Almarhum… betapa sakit penderitaannya… )
Ketika malam terahir pesta itu, suara music yang hiruk pikuk dari pengeras suara, orang orang desa berpesta pora… uang berhamburan ditengah pesta sangat meriah. Boru Sianipar duduk sendiri dilaponya, semua pintu sorong laponya sengaja ditutup. Dia merenung, tak bergairah melayani pembeli.
Anehnya selama pesta berlangsung alam seolah olah protes, tak bersahabat. Hari selalu mendung dan hujan turun setiap hari, tak biasanya seperti ini.
Boru Sianipar duduk di bangku panjang laponya, disudut sambil bersandar. Dia teringat kembali pada Ompu ni Jonggara semasa hidupnya. Beliau yang sudah dianggapnya sebagai kakek kandungnya sendiri, sebatang kara menahan derita, tak ada yang perduli. Bahkan meninggal pun tak ada yang melihatnya. Ketika itu, seandainya dirinya tak penasaran atas ketidak munculan Ompu Jonggara di lapo, mungkin sampai beberapa lama tak ada yang mencarinya hingga membusuk.
Sekarang, setelah dia meninggal, jasadnya pun tak bisa tenang. Harus digali dari kuburnya. Tulang belulangnya diangkat, dimasukkan kedalam peti kecil terbuat dari kaca, sebagai pajangan agar semua orang bisa melihat tengkoraknya tanpa daging.
“Sonang ma ho di lambung ni Tuhan i Ompung…… dang adong be nahurang mu….” (Berbahagialah dirimu di sisi Tuhan Kakek…tak ada lagi yang kurang padamu….), boru Sianipar berbisik sambil menengadah kelangit. Tak terasa airmatanya telah membasahi pipinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H