HANTU DI SEKOLAH
      Cerita ini dimulai pada saat aku berumur 13 tahun, saat aku mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama, aku yang baru saja pindah kedaerah terpencil jauh dari ibukota harus beradaptasi dengan linkungan tempat tinggal dan sekolahku.
Hal ini terjadi dikarenakan orang tuaku harus pindah pekerjaan dari ibukota ke daerah Red, perjalananku dimulai dengan menggerutu kepada Ayah
 "Ayah, apakah kita harus benar-benar pindah ke Red?" Tanyaku
"Tentu saja, Mir. kita tidak punya pilihan lain, kita perlu memulai hidup baru" Jawab Ayahku
"Tetapi Yah, Ayah tahu Red itu jauh sekali dari sini, kita perlu menempuh 7 jam perjalanan, melewati pegunungan. Aku juga tidak tahu apakah di sana ada sinyal atau tidak, bagaimana aku bisa video call dengan teman-temanku disini, Yah"
" Maaf ya Mir, semenjak kepergian Ibumu, kita perlu beradaptasi dengan keadaan, ayah harap kamu mengerti keadaan kita." Timpal ayah sambil mengemasi barang-barang pribadinya.
Aku termenung tidak mengiyakan juga tidak menjawab apapun, satu sisi aku kesal dengan keadaan, di sisi lain aku mencoba belajar menerima kenyataan yang ada.
Selagi aku mengemasi barang-barangku, karena esok hari pagi-pagi benar, kami harus meninggalkan rumah kami, tempat kami tinggal, tempat dimana aku tumbuh, tempat dimana aku juga kehilangan Ibuku. Disaat aku memasukan pakaian, mainan dan bonekaku kedalam kardus-kardus untuk diangkut, disitulah foto Ibuku terjatuh.
Seketika aku membetulkan posisi foto Ibuku dan hendak memasukan kedalam kardus-kardus yang sudah aku siapkan. Tanpa sengaja air mataku menetes mengingat ibuku, mengingat suara ibuku. Air mataku jatuh menetes tepat diatas bingkai foto Ibuku, disaat itu aku tidak ingat bagaimana Ibuku bisa meninggal, yang hanya aku ingat hanya hangatnya dekapan ibuku, bagaimana suara ibuku pada saat memanggil namaku 'Mir... Mira sayang...'
Aku meraba secarik kertas yang keluar dari balik bingkai foto ibuku, ada pola-pola tertentu tergambar di secarik kertas itu yang aku tidak tahu apa artinya, samar-samar seperti ingatanku mengingat sesuatu tentang pola yang tergambar di kertas itu
Sedang memikirkan hal tersebut, terdengar suara ayah memanggil, "Mir, Mira, kemari sebentar, bantu ayah merapihkan barang-barang yang lain."
"Baik Ayah." Sahutku, dan akupun melupakan pola pada secarik kertas yang aku temukan.
KEESOKAN HARINYA
      Pagi-pagi sekali aku bangun untuk bersiap menghadapi kehidupan kami yang baru, semua barang-barang sudah tersedia di mobil ayah. Kulihat ayah pun sedang bersiap, mengecek ulang agar tidak ada yang tertinggal. Selagi aku mengumpulkan nyawa, tiba-tiba badanku terasa berat untuk bangun dari tempat tidurku, seketika aku mendapatkan vision. sesuatu yang sudah lama sekali tidak pernah kudapatkan.
Vision ini memperlihatkan seekor rusa berlari dari padang rumput ke semak-semak, dimana semak tersebut terdapat banyak jebakan dan ada seorang pemburu yang sedang menunggu, lalu vision tersebut menghilang. Setelah mendapatkan vision tersebut aku mengabaikannya, dan dengan cepat bangun dari tempat tidurku untuk bersiap dan membersihkan diri.
Setelah semuanya siap, aku memasuki mobil, menutup pintu, melihat ayah sudah bersiap di bangku supir, mobil tidak bisa dinyalakan, padahal semua indikator menunjukan tidak ada yang eror, bensin full, aki tidak ada masalah, ban mobil tidak bocor, tetapi tetap tidak bisa dinyalakan. Aku masih belum curiga apa yang sedang terjadi. Kemudian ayahku keluar lalu membuka kap mobil, membetulkan sesuatu dan mobil bisa kembali menyala.
7 JAM PERJALANAN...
      Setelah 7 jam perjalanan lalu akhirnya kami sampai dirumah baruku di Kota Red, tidak terlalu besar tetapi kelihatannya nyaman untuk ditinggali. Karena hari sudah menjelang sore, kami pun bergegas untuk merapihkan barang-barang, menurunkan segala barang, lalu aku bergegas menuju kedalam untuk melihat dan berkeliling. Aku tiba di belakang rumah dengan halaman yang tidak begitu luas, ilalang tinggi menjulang, banyak semut, serangga berterbangan, memang rumah ini ayah beli dengan harga murah, jadi kondisinya banyak yang perlu diperbaiki.
      Aku kembali ke dalam rumah, dan memilih salah satu dari ruangan yang ada untuk dijadikan kamar tidurku. Aku mulai merapihkan semua barangku sampai semuanya keluar dari kardus. Namun karena lelahnya aku tertidur diatas kasur yang bahkan aku belum berikan sprei.
      Tanpa sadar aku bermimpi, melihat pola-pola yang aku belum kenali, aku merasa tidak asing tetapi tidak tahu apa arti pola-pola tersebut rasanya seperti pernah aku lihat disuatu tempat tetapi aku tidak ingat dimana dan kapan.
KEESOKANNYA...
      Aku bersiap ke sekolah untuk pertama kalinya. Memasuki gerbang sekolah, entah mengapa aku merasakan perasaan yang tidak enak, tetapi aku melawan perasaan tersebut aku berpikir mungkin karena ini hari pertama ku di sekolah ini. Memang sekolah di desa, di kota Red yang kecil dan jauh dari ibukota ini, tidak sebagus sekolah di ibukota.
      Bangunannya sudah tua, tampak agak tidak terawat. Bangku sekolahnya juga sudah tua, papan tulisnya masih menggunakan kapur, di dalam kelas masih terdengar suara ayam, jangkrik dan hewan-hewan ciri khas di desa. Rasanya aneh sekaligus menyenangkan, rasanya asri tetapi juga sepi jauh dari hingar bingar kota
      Tak lama, seorang Bapak memanggil namaku, "Mira, kemari nak, perkenalkan nama Bapak Santoso, wali kelasmu", katanya.
"Selamat pagi Pak, saya Mira, saya pindahan dari kota", sahutku.
"Mari, kita ke kelas." ajak Pak Guru Santoso. Aku mengangguk
"Selamat pagi anak-anak, kita kedatangan teman baru bernama Mira, tolong temani Mira dengan baik ya anak-anak." Ucap Pak Guru Santoso
"Baik Pak Guru."
      Aku duduk di bangku kosong yang letaknya kedua dari belakang. Beberapa jam berlalu, dan  tanpa kusadari jam sudah menunjukan pukul 2 siang, saatnya pulang untuk ke rumah. Saat aku sedang merapihkan buku dan memasukannya kedalam tas, aku dihampiri 3 orang teman, Mereka adalah Boy, Lexi, dan Lusi. Lexi dan Lusi adalah saudara kembar.
      "Hai Mir, salam kenal, aku Boy, dan ini Lexi dan Lusi, mereka kembar." Ucap Boy sambil menyapaku.
      "Hai Boy, aku Mira," aku membalas sapaan Boy, "hai Lexi dan Lusi, salam kenal."
      "Mir, kamu tahu sekolah kita ini angker? Kabarnya ada orang yang meninggal loh disini" kata Lusi, seolah mencoba menakutiku.
      Ucapan Lusi seketika membuat aku diam. "Oke ini tidak lucu, hahaha..."
      "Udahlah, jangan begitu." Sahut Boy
Seketika Lusi mengambil jepit rambutku. Aku refleks menariknya dan jepit rambut itu loncat dari tanganku dan tangan Lusi, dan jatuh ke lantai 1. Mengingat kelasku ada di lantai 2, dan sekejap menggelinding ke belakang sekolah.
Lusi langsung meminta maaf kepadaku, akupun tidak memperpanjang masalah itu. Tetapi Boy berinisiatif, "Ayo kita harus bertanggung jawab mencari jepit rambut Mira, mungkin itu sesuatu yang berharga buat Mira" kata Boy.
Aku sebetulnya tidak mempermasalahkan. Buatku, Â aku bisa membeli baru, tetapi mereka bersikeras untuk mencarinya. Akhirnya dengan terpaksa akupun mengikuti mereka ke belakang sekolah kearah jepit rambutku terlompat dan menggelinding. Perasaanku semakin tidak enak, melihat hari sudah mau gelap, aku merasa tidak aman di sekolah ini
Kami berempat pun berjalan bersama mencari jepit rambutku, tanpa terasa sudah 30 menit kami mencari dan aku melihat waktu sudah menunjukan jam 4 sore. Kami sudah terlalu jauh dari sekolah, menuju kebelakang sekolah. Tibalah kami di bekas gedung sekolah lama, jaraknya hampir 1 kilometer dari gedung sekolah baru.
Aku melihat wajah tidak enak dari Lexi dan Lusi, mereka berkata "Boy sebaiknya kita kembali, ini tidak benar, ini tidak benar."
"Tidak, kalian harus bertanggung jawab," sahut Boy. "Ayo kita masuk kedalam, tenang saja tidak ada apa-apa didalam sini", lanjutnya.
 Kami memasuki gedung sekolah lama, seketika bulu kudukku berdiri. Something's not right, ucapku dalam hati. Masuk lebih lagi ke dalam gedung sekolah lama, bau tidak enak bercampur amis keluar dari dinding sekolah yang sudah lapuk dan berjamur. Setiap langkah kami ditutupi dengan genangan air entah keluar dari mana sumbernya.
Semakin masuk ke dalam kami tiba di aula sekolah lama, tepat di tengah kami menemukan jepit rambutku. Aku pun tertegun dan berpikir bagaimana mungkin jepit rambutku bisa disitu, lalu tanpa ragu Lusi mengambil jepit rambutku. Begitu tangan Lusi meraih jepit rambutku, tiba-tiba ia berteriak, dan sesuatu yang tidak pernah kulihat seumur hidupku terjadi. Tubuh Lusi terangkat di atas tanah, kepalanya mendongak keatas, tanganya terbuka lebar masing-masing ke kanan dan ke kiri.
"Ada sesuatu yang tidak beres", teriak Boy.
"Itu terjadi lagi, ayo Boy pegangi", teriak Lexi.
      Selagi Boy dan Lexi memegangi Lusi yang sudah berteriak dan meronta, terlihat bola matanya menjadi putih semua, air liurnya menetes dari mulutnya yang terbuka, kemudian tiba-tiba Lusi menatapku, menunjuku, dan berkata "Yang lama sudah berlalu, yang baru sudah tiba, mari bergabung."
      Sontak aku terkejut, aku mau berteriak tetapi tidak bisa, aku mau berlari tetapi tidak bisa, seolah kakiku menjadi kaku tidak mau digerakan. Lusi terus berkata yang sama sambil sesekali tertawa.
      Seperti ada dorongan energi yang keluar, aku mengambil bongkahan batu besar di depanku. Aku membanting batu tadi ke tanah sampai menjadi serpihan. Serpihan itu aku gunakan untuk menggambar pola-pola yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Setelah pola itu jadi, aku berteriak kepada Boy dan Lexi "Cepat baringkan!" kataku.
      "Boy, cepat ambil air dan tanah, cepat, kita harus menolong Lusi!" kataku.
      Boy lari keluar mengambil tanah dan air, selagi aku dan Lexi memegangi Lusi. Lalu dengan cepat aku mencampur tanah dan air, sembari keluar dari mulutku, "Segala energi negatif dinetralkan oleh energi bumi, pergilah!", campuran air dan tanah ku oleskan ke kepala Lusi, dan seketika itu juga Lusi berangsur-angsur membaik.
      Boy melihat kearahku terheran-heran, sambil Lexi membantu Lusi untuk berdiri, kami langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk kembali ke sekolah dan akhirnya kami berpisah tanpa terucap satu patah kalimat dari mulut kami.
      Malam itu kami semua bingung atas apa yang sedang terjadi, bahkan aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, tidak percaya apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa yang terjadi dan apa yang kulakukan terhadap Lusi -to be continued-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H