Terburu-buru dan sepihak merupakan kata-kata yang sangat cocok untuk menggambarkan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 di akhir masa jabatannya.Â
Masa kepemimpinan yang sudah di ujung tanduk membuat DPR semakin gencar untuk menuntaskan "pekerjaan rumah" yang belum rampung, termasuk wacana pengesahan RKUHP. Â
RKUHP yang dinilai sudah senada dengan kehidupan masyarakat Indonesia, malah menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun beberapa pasal di RKUHP berhasil mencuri perhatian bagi para pembacanya. Tak tanggung-tanggung, negara-negara tetangga pun memberikan himbauan bagi masyarakatnya yang hendak pergi ke Indonesia.
Meskipun pada akhirnya RKUHP batal disahkan oleh DPR, namun tetap saja menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat. Dimulai dari diedarkannya petisi-petisi untuk menolak pengesahan RKUHP hingga aksi long-march yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa.Â
Mayoritas mahasiswa secara aktif memberikan aspirasinya kepada DPR maupun DPRD di wilayah setempat. Gerakan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai strata sosial ini terjadi hampir diseluruh Tanah Air sejak beberapa minggu yang lalu.
KUHP yang masih berlaku sampai saat ini merupakan warisan peninggalan pemerintah Belanda sejak zaman kolonialisasi. Mengingat usianya yang sudah mencapai 100 tahun, maka DPR berinisiatif untuk membuat KUHP baru yang 100% produk asli Indonesia.Â
Ahli-ahli hukum telah membuat wacana mengenai RKUHP sejak tahun 1963 pada Seminar Hukum Nasional I di Semarang. (Sahbani Agus:2017) Para ahli berkumpul untuk membahas rekodefikasi KUHP yang ada dan menggantikan dengan yang baru. Tujuan rekodefikasi KUHP pada dasarnya untuk menciptakan peraturan yang lebih cocok dengan kepribadian dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Â
Tetapi kenyataannya, jika kita lihat isi RKUHP yang dibuat oleh DPR, masih banyak sekali pasal-pasal yang sangat terkesan over-kriminalisasi dan kurang cocok untuk diterapkan. Mengapa demikian?Â
Coba lihat RKUHP Pasal 432! Disana disebutkan bahwa gelandangan yang ada di tempat umum dapat dikenakan denda Kategori I, yaitu sebesar satu juta rupiah. Bagaimana bisa seorang gelandangan yang belum tentu memiliki penghasilan tetap dan tidak memiliki tempat tinggal tetap bisa membayar denda sebesar satu juta rupiah. Sangat aneh, bukan?Â
Jika seorang gelandangan memiliki uang setidaknya satu juta rupiah setiap bulan, pastinya gelandangan tersebut tidak akan menggembel di jalanan. Satu juta rupiah dapat dialokasikan untuk menyewa kontrakan atau kos-kosan menengah kebawah dibandingkan harus menggembel di jalanan.Â
Tidak seharusnya denda satu juta rupiah dibebankan kepada seorang yang tunawisma. Masih ada opsi-opsi lain yang lebih baik dan lebih manusiawi yang dapat diberikan kepada gelandangan, seperti pendidikan, pelatihan kerja, ataupun peminjaman modal usaha yang bisa diberikan oleh pemerintah.
Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat (1) disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Berdasarkan pasal inilah sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki kewajiban yang sangat besar untuk memberikan pendidikan, pelatihan kerja, atau meminjamkan modal usaha kepada gelandangan tersebut.Â
Melalui opsi-opsi tersebut, seorang gelandangan bisa memilih opsi manakah yang sangat tepat bagi dirinya. Jika sebelumnya masalah biaya yang menjadi penghalang bagi gelandangan untuk mengenyam pendidikan, maka opsi pendidikan dapat ditempuh untuk melanjutkan cita-citanya.Â
Kalau sebelumnya seorang gelandangan tidak memiliki kemampuan apapun untuk menghasilkan nafkah, maka pilihan mengikuti kegiatan pelatihan kerja dapat mengatasi permasalahan ini. Karena yakinlah gelandangan di luar sana memiliki potensi-potensi yang besar jika kemampuannya diasah dengan baik.Â
Sedangkan jika seorang gelandangan sudah memiliki kemampuan tetapi terhalang oleh modal, maka opsi meminjamkan modal dapat menjadi jawaban yang tepat untuk permasalahan ini.
 Mens Rea GelandanganÂ
Hingga saat ini masih tetap tidak ada korelasi yang jelas antara hidup menggelandang dan perbuatan kriminal yang dilakukan oleh gelandangan. Karena belum tentu gelandangan di luar sana memiliki niat jahat atau motif kriminal. Sebenarnya gelandangan ini mutlak hanya permasalahan sosial dan ekonomi saja.Â
Tidak selamanya dan tidak semua gelandangan dapat dikaitkan dengan perbuatan kriminal atau perbuatan jahat. Mens rea merupakan unsur yang harus terpenuhi dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.Â
Gelandangan dan tindak pidana seperti pencurian, perampokkan, ataupun begal yang dilakukan oleh gelandangan merupakan dua hal yang berbeda. Publik sama sekali tidak memiliki hak untuk membuat stigma bahwa gelandangan pasti akan melakukan kejahatan yang dapat meresahkan masyarakat.Â
Gelandangan dianggap jahat karena undang-undang kita mengatur gelandangan sebagai perbuatan yang jahat padahal menjadi seorang gelandangan pun tidak memenuhi terpenuhinya unsur melawan hukum.
 Masyarakat Miskin Tidak Selalu KriminogenÂ
KUHP yang dianggap telah using dan tidak mengikuti zaman merupakan alasan terkuat mengapa pengesahan RKUHP harus dilakukan. KUHP dipakai pada masa penjajahan, yang mana peraturan tersebut dibuat mengikuti keadaan di abad ke-18. Gelandangan yang juga disebut batur pada masa tersebut merupakan orang yang digambarkan dengan pakaian yang compang-camping dan tak memiliki hunian.Â
Pekerjaan para batur umumnya adalah pekerja serabutan yang bekerja pada masyarakat Belanda di era tersebut. Dengan upah minim bahkan tanpa upah, para batur ini sering kali ditemukan tewas di pinggir jalan akibat kelaparan.Â
 Ironisnya banyak juga para batur yang menghabiskan uang minim mereka ke tempat-tempat perjudian. Hidup mereka pada saat itu sangatlah liar, yang mana kerap kali mengganggu ketertiban umum.Â
Pemerintah kolonial Belanda menganggap mereka sebagai pengganggu. Para batur ikut dalam persoalan politik yang serius, karena para batur merupakan masyarakat yang terdepan dan paling aktif menyuarakan pendapat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Beberapa batur merupakan partisipan yang berani mati untuk menghadapi pemerintah.Â
Sampai sekarang ini, masalah mengenai gelandangan masih terus bergulir. Padahal masalah gelandangan hanya masalah yang merujuk pada permasalahan sosial dan ekonomi saja.
 Jika pemerintah dapat menyelesaikan masalah gelandangan ini dengan baik maka tidak akan ada lagi orang-orang miskin di pinggir jalan yang dianggap mengganggu keindahan kota-kota di Indonesia. Masih banyak opsi-opsi yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan gelandangan yang ada di Indonesia. Pemidanaan penjara maupun denda bukan pilihan yang tepat untuk permasalahan gelandangan, bahkan tidak menyelesaikan masalah apapun.Â
Seharusnya ada perbaikan-perbaikan yang signifikan di KUHP baru, setidaknya tidak menjadikan gelandangan suatu perbuatan yang jahat. Semoga kedepannya DPR boleh mempertimbangkan untuk mendekriminalisasi gelandangan ini sebagai wujud perlindungan terhadap masyarakat miskin. Gelandangan hanya masalah sosial-ekonomi yang hanya perlu diatasi dengan bijak tanpa perlu embel-embel pemidanaan maupun denda.
Teman-teman yang ada di luar sana dan hidup menjadi gelandangan bukanlah sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai ancaman bagi masyarakat. Jika ada pilihan mau hidup dengan layak atau menjadi gelandangan, maka tidak akan ada satu manusia pun yang mau hidup menjadi seorang gelandangan. Sepatutnya pemerintah juga bisa memberikan opsi-opsi lain untuk mengurangi angka gelandangan yang ada di Indonesia.Â
Karena bagaimana pun permasalahan mengenai tingginya angka gelandangan dan masyarakat miskin disuatu negara menggambarkan ketidakberdayaan Negara dalam mengelola, membentuk dan menyejahterakan masyarakatnya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H