Mohon tunggu...
Dani Akhyar
Dani Akhyar Mohon Tunggu... -

CEO Manilka Research & Consulting

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hukum Tabur Tuai dalam Politik

3 Oktober 2017   21:05 Diperbarui: 3 Oktober 2017   21:23 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi ketentuan Tuhan, bahwa siapa yang menabur, dia yang akan menuai hasilnya. Jika menabur bibit padi akan menuai padi. Menabur benih ikan akan memanen ikan. Tidak mungkin menabur benih padi akan menuai jagung atau kopi, dan menabur benih ikan akan memanen belut atau kepiting. Tidak mungkin juga tidak menabur apa-apa lalu berharap menuai hasil.

Memetik hasil sangat menyenangkan. Menabur benih perlu kerja keras dan tidak nyaman. Segala sesuatu terkesan mudah dan enak dilihat jika sudah berhasil. Tetapi semuanya terlihat sulit dan berantakan ketika baru mulai membangun. Bagaikan kupu-kupu dengan sayap yang indah beterbangan kesana kemari, asyik untuk dilihat, bukan? Padahal baru saja sang kupu-kupu melewati hari-hari penuh kesakitan dan kesengsaraan selama bermetamorfosis dari ulat menjadi kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu. Inilah satu-satunya jalan (pahit) yang harus ditempuh untuk mencapai kesempurnaan.      

Inilah paradoks kehidupan. Kita lebih suka menuai daripada menanam. Manusia lebih suka melihat hasil dan mengesampingkan proses. Lebih parah lagi jika orang berlomba-lomba untuk menuai TANPA menabur atau menanam. Proses menanam yang capek dan memupuk yang membosankan bisa dikonversi dengan materi. Dalam hiruk-pikuk dunia teknologi yang serba instan saat ini, kita  menjadi tidak sabar terhadap proses. Semua ingin cepat berhasil. Semua ingin cepat menuai. Padahal...tidak banyak yang mereka tabur. Akhirnya yang terjadi adalah orang menabur sedikit tetapi berharap menuai banyak. Inilah bahaya laten bernama keserakahan yang dipupuk akibat budaya serba instan. 

Hukum tabur tuai juga berlaku dalam politik. Tingkat popularitas, likeabilitas, dan elektabilitas partai maupun tokoh politik pasti mengikuti hukum tabur tuai. Partai politik yang sejak berdiri telah memposisikan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat, tentunya harus banyak menabur "telinga" kepada rakyat. Rajin turun ke bawah (turba), rajin mendengarkan keluh kesah masyarakat, dan yang terpenting, semua dilakukan secara natural dan bukan pencitraan semata.

 Lakukan turba jauh-jauh hari dengan niat baik untuk mengetahui permasalahan masyarakat dan mencari solusinya. Demikian pun calon pemimpin daerah. Jangan hanya turba saat mau 'nyalon' pilkada saja. Orang akan dengan mudah bilang, "ah, omong kosong, semua pencitraan saja". Ingat, sesiapa yang menabur pencitraan, akan menuai sikap skeptis dari masyarakat.   

Lalu, kapan sebaiknya seorang politisi mulai menabur? Jawabnya sedini mungkin. Menabur itu bukan terkait dengan jabatan atau tujuan politiknya, tetapi lebih kepada perilaku kita sebagai manusia yang harus saling peduli satu sama lain. Lakukan kebaikan tanpa intensi, itulah hukum 'menabur' yang terbaik. 

Sebagai contoh, kita lihat Obama. Sejak muda ia memang telah menunjukkan minat ke politik. Ia menyebut dirinya retail politician, yaitu politisi yang bergerak di grass root, door-to-door mendengarkan aspirasi masyarakat. Pola menabur seperti ini yang dilakukan bertahun-tahun lalu membentuk gaya komunikasi interpersonal Obama yang hangat, persuasif, dan mendapat respek baik dari kawan maupun lawan.

 Di Indonesia, misalnya Bung Hatta. Jujur, sederhana, dan keras berprinsip, adalah karakter yang 'ditabur' Bung Hatta di mata bangsa Indonesia. Hingga akhir hayatnya, image positif itulah yang dituai oleh beliau, jauh lebih dominan daripada citra positif negatif yang seringkali melekat pada politisi-politisi bangsa ini. Karena, at the end of the day, kita ingin dikenal sebagai politisi atau orang baik? Politis yang baik, kan? So, jika kita sudah pensiun dari politisi, yang tersisa adalah kita akan dikenal sebagai orang yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun