Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memecah Malam Gede Pangrango

4 Oktober 2019   18:08 Diperbarui: 4 Oktober 2019   18:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkahku masih terasa berat, bukan kaki ini yang tak bisa melanjutkan langkah tapi hati ini masih dipenuhi amarah, kecewa dan rasa kehilangan.  Kupandangi puncak Gede Pangrango yang menguning keemasan terpapar sinar senja jingga. Pucuk-pucuk Pinus  berbisik padaku yang digoyang angin pengunungan semilir membelai rambut gondrongku penuh rasa sayang dan cinta.

Lamunanku terjegal, seorang bapak tua melintas di depanku. Dia memikul ikatan kayu bakar, terasa berat sekali rasanya. Tertatih melangkah diiringi hembusan nafas menderu. Dia berhenti di depanku.

"Mau Naik den, sendirian aja ya ?"

Aku tersenyum, "Iya Pak, saya sendiri !"

Bapak tua itu membalas tersenyum ramah sekali, "Hidup, kita yang tentukan sendiri, orang sekitar kita hanya pemanis dan ujian hidup den !"

Perkataan bapak tua itu langsung merasuk singgah di benakku. Memaksaku memikirkannya, itulah makanya aku sering berjalan sendiri, merenungi segala yang terjadi dan mengambil hikmahnya. Kadang sendiri itu lebih indah dan lebih mempunyai nilai. Kala sendiri pikiran akan jernih, masalah akan terlihat jelas penyebabnya. Saat itu, keputusan tepat akan bisa kita lakukan dengan lugas.

Itu lamunanku yang kedua, ...

Sadar bapak tua tadi sudah jauh berjalan, aku mulai melangkah. Ada energi baru rasanya menjalar di kakiku. Langkahku mantap menapaki jalan setapak. Agak kering tanah yang kuinjak, kemarau sudah berbulan-bulan memusuhi hujan. Dingin mulai menusuk dan gelap sebentar lagi menghalangi pandanganku.

Hanya suara alam yang terdengar, kadang ada gemerisik atau lengkingan halus. Lampu senterku terus menuntunku, menaiki Gede Pangrango yang sepi berjubah gelap malam. Kadang aku melihat bintang di sela-sela rimbunnya hutan, bintang yang sendiri-sendiri bersinar nun jauh disana.

Meski mereka sendiri tapi mereka disiplin bersinar. Bukan, bukan bintang yang bersinar tetapi Matahari di belahan langit sana yang menyinarinya. Aku menyadari, tak ada satu makhluk hidup di dunia ini yang mampu memisahkan diri dari makhluk hidup lainnya. Semua terkait saling membutuhkan. Aku sendiri dan sedih juga karena aku terpisah dengan cintaku. Cinta yang membuat hati indah, seindah hamparan hutan dan kebun teh di kaki Gede Pangrango.

Pukul 02.00 dinihari, Alun-Alun Surya Kencana aku injak dengan kelelahan kakiku, kesedihan hatiku. Ada tempat biasa yang akrab disana, tenda aku dirikan untuk memeluk tubuhku. Air mataku mengalir deras dalam sujudku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun