Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Gema Maulid] Nurani Takbir

5 Februari 2012   05:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:02 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaka masih berbaring pada bale-bale Bambu rapuh, suara berderit ketika jaka membalikkan tubuhnya yang terasa sakit di sana-sini. Perkelahian semalam adalah yang ke-99 kali ia lakukan, tak ada kekalahan dan dia hanya berfikir membawa uang taruhan itu kepada adik perempuannya semata wayang. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membiayai kehidupan mereka, Jaka rela menumpahkan darah dengan erangan kesakitan sekalipun. Mungkin Jakalah yang merasakan betul bahwa hidup itu sangat kejam ! Tubuh kekar jaka menutupi cahaya lampu teplok yang menerangi tidur adik tersayang. Dengan lemah lembut Jaka mengusap pipi adiknya yang masih pulas tertidur, “Bangun Seruni, Adzan Subuh sudah memanggil kita !” Perlahan Seruni membuka matanya, dalam rabun ia melihat sosok yang sangat dia kenal. Hanya sosok itu yang menyayanginya selama hidupnya. Ayah dan Ibu tak sempat Seruni kenal dan ketahui karena 7 tahun lalu mereka tewas tertabrak mobil ketika sedang mengemis di persimpangan jalan. “Abang sudah pulang, jam berapa tadi malam pulang ? Maaf seruni duluan tertidur, sudah sangat mengantuk...hehehhee ?” Jaka tersenyum, “Sudahlah, cepat kau mengambil wudhu dan kita Sholat Subuh berjamaah !” Jaka menegaskan. Ada sebuah tempayan besar dari tanah liat yang mereka isi air dan sedikit dibolongi di bagian bawah, mereka berwudhu secara khusyu bergantian. Mata Seruni menelusuri tubuh abangnya yang sedang berwudhu dalam keremangan, terlihat beberapa noktah kebiruan dan sayatan kecil dengan darah mengering. Seruni tak kuasa menahan tangis sedih dan cemas, seakan ikut merasakan pedihan pukulan dan sayatan pada tubuh abangnya. Seruni menahan isak tangis dan menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang terurai, ia tak mau abangnya melihat kesedihan itu. Pada awal takbir, Jaka merasakan getaran Illahi Rabbi melesat masuk dari ketinggian langit melalui ubun-ubunnya. Getaran itu semakin besar dan sejuk saat Al-Fatihah dibacakan, tak ayal bulir air mata penghambaan mengalir deras. Jaka seakan berhadapan langsung dengan Alloh SWT di hadapannya yang sedang tersenyum sangat indah dan membelai kepalanya. Jaka ingin mengadukan semua hidupnya dan bertanya bagaimana agar hidupnya dapat ia lalui dengan keridhoan Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Sempurna. Di penghujung salam, terdengar suara tangis dan doa mereka berdua. Hanya sebuah gubuk sempit dan kusam dengan genting yang tak lengkap, dinding bilik yang hitam yang rapuh usia, pengap dan gelap, namun disitulah mereka mengadukan semua gundah dan gulana kehidupan. Mereka tahu bahwa Bumi terhampar dan dimanapun seorang hamba bisa berdoa dan bertemu sang khaliq yang sangat menyayangi mereka. *** Pagi memberikan cahaya emas di ufuk Timur, pertanda manusia dan makhluk lainnya diwajibkan berusaha mencari keberkahan ridzki dengan landasan doa, namun berbeda untuk pagi ini, ini sebuah pagi yang mengingatkan manusia pada sebuah awal penciptaan alam semesta. Di awal penciptaan Alloh SWT menciptakan Nur-Muhammad SAW dan dengan kuasanya ia ciptakan semuanya dalam 7 hari, hari pertama Ahad diciptakan Bumi, Senin diciptakan gunung-gunung, Selasa diciptakan tumbuh-tumbuhan, Rabu diciptakan langit, Kamis diciptakan Matahari, Bulan dan Bintang, Jumat diciptakan Malaikat dan Adam, ketujuh selesai penciptaan. Penduduk desa kumuh dibelakang kawasan apartemen elit, bersiap diri bergotong-royong membersihkan Mesjid sederhana dan lapangan kecil di pinggir empang. Semua terlihat gembira dan bersemangat, beberapa orang meliburkan diri dari kesibukan sehari-hari. Mereka harap peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW nanti malam akan berlangsung hidmat, ini merupakan acara tradisi tanah air. Jaka berhasrat membantu, sedikit tertatih ia keluar dari gubuknya sambil mengikat rambut panjangnya dengan karet gelang. Beberapa orang tersenyum pilu sekaligus begitu menghormatinya, ketua DKM Masjid menghampirinya, “Jaka !” Pak Ali menepuk pundak Jaka, terlihat matanya berkaca-kaca menatap tubuh Jaka. Jaka mengetahui hati mulia bapak angkatnya itu akan berkata apa, Jaka segera tersenyum dan memeluk Pak Ali seraya berbisik, “Bapak, jangan kau tanyakan sesuatu yang sudah biasa kau tanyakan itu, aku berjanji akan mencari pekerjaan lain nanti !” Pak Ali, mengusap rambut Jaka, “Kapan kau potong rambutmu ini Jaka ?” Jaka hanya tersenyum tak menjawab. *** Adzan Mahgrib mengumandang, menyusuri gang-gang sempit dan jendela-jendela yang masih terbuka. Telinga-telinga takwa segera memerintahkan hati dan keimanan segera membersihkan diri untuk menghadap Pencipta Alam Semesta. Membasuh kedua tangan mengalirkan dosa perbuatan, membasuh muka menghilangkan segala perangai buruk dan kata-kata tercela, mengusap sebagian kepala menghilangkan pemikiran maksiat dan pendengaran yang bukan hak, membasuh kaki membersihkan langkah atas dosa yang dituju. Semua hati akan tunduk dan menghiba atas pengampunan abadi. Masyarakat sederhana telah berkumpul menanti wejangan sang Ustad yang berwibawa dan seribu simpati. Ada sebuah bait menggugah dan menyejukkan, “Manusia tercipta dengan satu tujuan dan satu tugas, namun saat mereka lahirlah orang tua dan orang sekeliling mereka menyesatkan beberapa diantara mereka. Hingga mereka sudah tak mau tahu lagi kalau mereka telah tersesat. Sungguh karena harta, kerabat dan jabatan semua kesesatan itu bisa terjadi, oleh karena itu ingatlah pada bisikan nuranimu terdalam bahwa hatimu akan tergerak melakukan sebuah kebenaran, tetapi kita harus jujur akan bisikan suci tersebut. Kita hanya bisa berusaha dengan apa yang Alloh telah berikan kepada kita, sekecil apapun bekal hidup kita maka kita harus bisa menjadikan bekal yang sedikit itu dengan keberkahan yang diridhoi-Nya. Alloh akan menyayangi umatnya dari amal yang diperbuat atas harta yang Alloh berikan kepadanya.” Jaka berfikir kebenaran atas semua itu, ia menuntun adiknya pulang. Adiknya senang dengan nasi besek yang dibagikan di Masjid tadi, bisa makan berdua dengan abang nanti. Seruni meminta Jaka menggendongnya, sambil bernyanyi-nyai kecil mereka pulang ke gubuk mereka menyusuri empang. Jaka mendongak kepada langit, 7 hari lagi purnama. Itu yang akan menjadi ke-100 kali ia pertaruhkan nyawa mencari sedikit uang. Ada rasa takut seperti purnama-purnama sebelumnya, bagaimana tidak saat purnama badannya akan berkeringat dimasuki kekuatan ghaib yang dahsyat. Matanya akan memerah dengan lengkingan dingin, ini sebuah kekuatan yang turun-menurun dari moyang Jaka. Sudah beberapa kali ia inginkan agar kekuatan itu lenyap dari tubuhnya, namun kekuatan itu seakan menyayangi tubuhnya, mendekap erat tak mau pergi. “Aku tak mau lagi kekuatan itu !” Jaka berteriak di malam pekat. Jaka bersujud di hamparan ilalang, ia menangis dengan amarah. Ia mulai merasa benci dengan kekuatan ghaibnya yang membuatnya sangat kuat, kekuatan itu telah mengotori iman dan tubuhnya. Ada bisikan dalam hatinya, “Kekuatan itu adalah berkah dari Sang Kuasa Jaka, mengapa kau menolaknya ? Bukankah kau tetap menyembah satu Tuhanmu, gunakan saja kekuatan itu untuk keberkahanmu dan orang sekelilingmu !” *** Pak Ali menawarkan Jaka untuk ikut berjualan buah-buahan segar bersamanya di pasar, sekalian menemani Pak Ali yang sudah tua. Pak Ali menasehati Jaka, “Jaka, baiknya kau tinggalkan kebiasaan dan usahamu itu, Bapak dan adikmu tentu akan selalu khawatir dengan keadaanmu. Meski keuntungan berjualan buah-buahan ini tidak besar namun kita tetap berusaha di jalur yang halal dan tidak beresiko besar. Lama-lama kau akan terbiasa dengan usaha yang umum orang lakukan ini !” Jaka tersenyum dan sangat senang, Jaka berharap semua akan berubah menjadi lebih beradab dalam mencari sedikit uang untuk makan bersama adiknya. Sebulan Jaka membantu Pak Ali berjualan buah-buahan di pasar, entah mengapa keadaan pasar menjadi aman. Tak ada lagi copet, preman yang suka memalak pedagang atau anak-anak muda bengal yang sering mabuk-mabukan menggannggu ketertiban pasar tradisional tersebut. Para pedagang yang lainpun heran, kemana penyakit masyarakat yang selama ini meresahkan mereka itu sembunyi atau lari. Seorang satpam mengatakan secara berbisik-bisik, “Pasar ini aman sejak Jaka ikut berjualan bersama Pak Ali !” Khabar itu segera tersebar luas, semua pedagang kini ingin bertemu dan berkenalan dengan Jaka. Mereka begitu menghormati Jaka, “Anak angkat Pak Ali itu begitu baik, soleh dan tampannya itu bikin perempuan di pasar ini berhayal,....hahhahahahahah !” “Tetapi mengapa para preman pasar sekarang takut datang kemari, ya ?” Satpam pasar segera berkata, “Mungkin raja preman telah menginstruksikan kepada anak buahnya agar jangan masuk pasar ini, karena dalam pasar ini sudah ada Harimau perkasa yang siap menerkam tikus-tikus mabuk !” “hahahahhahaha...hahhahahahahah....hahhahahah !” Gambar dari : http://www.padepokanrumahkayu.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun