Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bintang

19 Maret 2011   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah cantik Bintang menengadah, matanya selalu berkaca-kaca saat memandang Rasi Bintang Pari Selatan. Nuraninya seakan mengembara pada padang kegelapan malam, “Bentukmu bak layang-layang, andai aku setinggi engkau aku bisa melihat hamparan Bumi. Aku bisa mencari cintaku, dimanakah ia terhempas oleh kedahsyatan gelombang samudera yang mencekam. Aku tak tahan menderita karena kerinduan dan derai air mata. Aku seperti ditakdirkan hidup hanya untuk dipaksa meratapi dan mengerti kesedihan. Tak adakah aku seperti teman-temanmu yang berada di langit malam, mereka begitu bersinar dan saling berkumpul untuk berkelip-kelip menyapa Bumi saat pesta malam. Kau Rasi Bintang Pari Selatan begitu penolong, kala di lautan lepas kau selalu tunjukkan kemana arah Mata Angin Selatan bagi para petarung laut yang tersesat dan terombang-ambing ganasnya badai. Bisakah kau juga menolongku ?”

Rajadesa berkata pada orang-orang pesisir sambil menunjuk ke arah Bintang yang duduk di tepi pantai, “Lihat, aku selalu tersayat hati jika melihat gadis itu memperhatikan Rasi Bintang Pari Selatan. Kenangan bersama kekasihnya selalu ia tangisi, padahal bukankah ia sudah cukup menderita dengan hidup sebatang kara selama ini. Tsunami Aceh lalu tidak hanya menghanyutkan benda Bumi tetapi juga cinta kita. Padahal cinta adalah anugerah Tuhan yang paling berharga, karena cinta itu kita bisa bertahan menerima kelaparan dan kedinginan setelah Tsunami.” Orang-orang pesisir terdiam, ada gejolak kesedihan yang turut mereka rasakan. Dalam benak mereka, biarkan kesedihan itu yang menguatkan kebersamaan mereka.

“Kemarilah Bintang !”

“Sudahlah, jangan resahkan segalanya, meski tanpa kau mengerti semuanya.”

“Biarkan air mata kita memenuhi kelopak mata kita, asal kita kuat membendungnya agar tidak mengalir berderai membasahi pipi kurus kita.”

Bintang memandang Rajadesa sembari tersenyum, namun derai air matanya sudah dari tadi menemani kegalauan elegi hidupnya. Rajadesa kini meruntuhkan ego kelelakiannya untuk tidak menangis, tubuh rentanya berlari hampiri Bintang, ia memeluk Bintang dengan tersedu-sedu menangis.

“Jadikan aku ayahmu Bintang, nanti akan kita cari kekasihmu itu. Kita arungi samudera itu dengan semangat dan derai air mata kita. Lebih baik begitu daripada aku melihatmu selalu bersikap seperti ini. Jika gelombang menerjang perahu kita dan kita tenggelam, kita akan tenggelam bersama-sama dengan orang yang kita sayangi dan hadapi maut secara pasrah dengan senyum. Kekasihmu adalah anakku, akupun sudah tak kuat menahan kerinduan yang menyekik pernapasanku.”

Bintang merasakan seakan jelmaan ayahnya sedang memeluknya, mungkin kesedihan memang harus disatukan agar menumbuhkan kekuatan. Kesedihan mereka yang selalu terlupakan oleh saudara-saudara di pulau lain. Bintang lirih berucap, “Ayah, kita cari kekasih kita bersama-sama. Kita pertaruhkan hidup kita, perasaan kita untuk mencari kedamaian itu. Pada Samudera atau Rimba belantara sekalipun. Sebelumnya izinkan aku tetap menemani Rasi Bintang Pari Selatan karena aku berharap mendapatkan tafsir akan semua ini. Saat itu kami sedang berdua di pesisir pantai ini memperhatikan Rasi Bintang Pari Selatan dan itu pertemuan terakhir kami, keesokan hari kami tak bertemu lagi. Tsunami itu...

Obor orang-orang pesisir masih menyingkirkan kegelapan pantai Barat Aceh, mereka bercengkrama kecil mengusir kegelisahan hidup mereka selama ini. Gubuk-gubuk bersahaja yang mereka tempati seakan menantang lautan lepas, mereka tak takut akan kembali hadapi kesedihan Tsunami karena kini kesedihan itu adalah sahabat mereka. Mereka tak mau lagi mengemis belas kasihan bantuan, karena bantuan itu pun hanya mereka terima di ujung keringnya tangis. Lebih baik mengheningkan hati dan bersandar kepada takdir Sang Penguasa Alam. “Kami adalah manusia-manusiaMu yang berjalan di bawah tatapan Matahari dan kerlingan Bintang malam !”

 

 

 

Gbr dari : http://asistenlab7.blogspot.com/2010/06/mengapa-rasi-crux-atau-gubuk-penceng.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun