Dalam pidatonya "Menyelamatkan Proklamasi Republik" pada 21 Februari 1957, Soekarno menyampaikan gagasan yang disebut Konsep Presidensial. Sukarno menyatakan pengalaman 11 tahun dalam sistem demokrasi liberal atau parlementer menunjukkan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Demokrasi ini merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan semangat bangsa Indonesia, sehingga kita mengalami ekses dalam implementasinya. Dalam demokrasi parlementer yang berasal dari Barat, ada satu pengertian yang disebut oposisi. Penentangan inilah yang membuat kami menderita, karena prinsip oposisi diartikan sebagai penentangan yang keras terhadap pemerintah. Kabinet yang sesuai dengan kepribadian Indonesia adalah kabinet gotong royong yang terdiri dari semua golongan masyarakat yang ada. Soekarno juga mencatat bahwa memaksakan mayoritas pada minoritas bukanlah cara Indonesia membuat keputusan konsultatif untuk mencapai mufakat. Selama ada kelompok minoritas yang tidak yakin dengan usul tersebut, pembahasan harus dilanjutkan di bawah pimpinan pemimpin sampai tercapai kesepakatan dimana semua pendapat dapat dipertimbangkan dengan pendapat minoritas. Sukarno menganggapnya sebagai model demokrasi Indonesia.
Hal ini menunjukkan betapa Presiden Sukarno menunjukkan ketidaksukaannya terhadap demokrasi parlementer yang diterapkan di Indonesia, namun tidak berjalan mulus karena menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Sukarno melihat posisi oposisi tidak lebih dari pengalihan perhatian pemerintah karena hanya menjadikan oposisi tanpa memberikan solusi atau opsi kepada pemerintah. Untuk menghindari oposisi yang tidak sehat, Sukarno ingin membentuk kabinet yang diisi oleh semua elemen masyarakat untuk menampung semua golongan.
Sebelum pidato Presiden Soekarno tentang konsep demokrasinya pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno telah mengisyaratkan dan menyatakan keinginannya untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan dalam pidatonya pada  tanggal 27 Januari 1957 pada Sidang Umum "Merah Putih" di Bandung. masa transisi sebelum 58 Demokrasi Terpimpin Konsep ide demokrasi konstitusional Sukarno menyelesaikan tugasnya hingga pelaksanaan Konstituante. Soekarno juga mengumumkan akan menciptakan kesepahaman yang memungkinkannya ikut serta dalam pemerintahan.
Konsep demokrasi Presiden Soekarno sebenarnya mencakup tiga hal utama. Pertama, gaya kepemimpinan dan sistem administrasi baru diperkenalkan, yang dikenal sebagai sistem demokrasi terkelola. Kedua, untuk mengimplementasikan konsep baru ini, ia mengusulkan pembentukan kabinet gotong royong sebagaimana disebutkan di atas, yang mencakup semua partai politik, termasuk Partai Komunis Indonesia. Ketiga, pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari sebagian besar golongan fungsional, yang dimaksud dengan golongan fungsional adalah wakil-wakil buruh, petani, cendekiawan, perusahaan negara, golongan agama, pemuda, angkatan bersenjata, perempuan dan juga wakil-wakil daerah. Dewan Nasional merupakan cerminan masyarakat secara keseluruhan.
Untuk membentuk kabinet gotong royong, diusulkan untuk membentuk pemerintahan yang mencakup semua pihak, termasuk PKI. Karena partai itu adalah bagian yang sah dari revolusi, menurut Soekarno, seharusnya PKI diberi kesempatan untuk ikut membentuk kesepakatan nasional. Dengan demikian akan terbentuk pemerintahan yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, yang pada akhirnya dibantu oleh partai-partai kecil lainnya. Jadi pemerintahan yang dibentuk setelah Soekarno akan lebih mampu menerapkan kebijakan politik nasional yang berterima dan meningkatkan kerukunan persatuan nasional daripada pemerintahan koalisi yang terus-menerus mengganggu oposisi. Gotong royong menurut Soekarno adalah kata asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang murni.
Salah satu gagasan Soekarno lainnya adalah penguburan partai dalam pidatonya pada tahun 1956 pada pertemuan delegasi pemuda semua partai dan sebelumnya Serikat Guru, ia menyatakan tidak ada yang bisa membenarkan keberadaan 40 partai di negeri ini, dan menyerukan agar partai politik dikuburkan. Soekarno tidak menyukai sistem multipartai karena terlalu banyak partai menciptakan ketidakstabilan dalam pemerintahan dan parlemen. Sukarno sebenarnya ingin membentuk partai persatuan atau partai perintis di awal kemerdekaan, namun tidak mendapat persetujuan dari KNIP karena khawatir akan menjadi pesaing KNIP, dan dengan Surat Keputusan Pemerintah No. X tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, Soekarno mengubah usulan tersebut menjadi gagal.
Setelah Sukarno sering mengkritik demokrasi parlementer dan sistem multi partai dalam pidato-pidatonya. Pada masa itu, situasi politik yang semakin kritis, seperti pergolakan di Konstituante dan Parlemen, membuka peluang bagi Sukarno untuk ikut memecahkan masalah yang dihadapi dengan mengeluarkan keputusan presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya sebagai berikut :Â
Pembubaran Konstituante
Berlakunya Kembali UUD 19453.
Tidak berlakunya UUDS 19504.
Pembentukan MPRS dan DPAS