Momen Natal dan akhir tahun adalah momen yang dinanti-nanti oleh hampir semua orang. Ini adalah waktu yang biasanya digunakan untuk berjumpa dengan keluarga dan kerabat dekat, atau reuni dengan teman-teman lama. Banyak yang mengatur waktu libur mereka dan sibuk mempersiapkan berbagai hal, termasuk berbelanja kebutuhan Natal dan Tahun Baru.
Tidak terkecuali beberapa teman dalam komunitas kami. Hampir semua memiliki waktu libur dan kunjungan keluaraga. Mereka juga sering bertanya, apakah kami tidak pulang kampung? Jawaban saya hampir selalu sama setiap akhir tahun: belum pulang. Bukan karena saya tidak ingin mengunjungi keluarga di Sumba. Anak kami yang sulung, Naysa, sering bertanya, kapan kami akan ke Sumba. Pertanyaan ini sudah diajukan beberapa kali, dan saya selalu bilang, nanti kita benar-benar rencanakan. Padahal, jauh dalam hati, saya tergugah dan sering kali menangis.
Jujur, saya sangat ingin ke Sumba untuk bertemu keluarga. Tetapi kami belum memiliki sumber daya yang cukup. Transportasi dan akomodasi adalah tantangan utama yang perlu kami hadapi. Jangankan untuk liburan, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari keluarga saja, sudah menjadi tantangan tersendiri. Kondisi ini merupakan konsekwensi logis yang kami terima dan hidupi atas komitmen total kami untuk terlibat dalam urusan Tuhan di bumi ini melalui bidang pengaruh spiritual dan pendidikan. Dengan persembahan kasih bulanan saya sebesar Rp1 juta, kami menggunakannya untuk membayar tagihan bank dan pinjaman yayasan, serta mengatur biaya wifi, air, listrik, kebutuhan bensin, taburan dan lain-lain. Persembahan kasih istri saya, yang tidak sampai Rp1 juta, digunakan untuk biaya pendidikan anak pertama kami Naysa, biaya BPJS, kebutuhan anak kedua kami, Hannah, dan kebutuhan utama lainnya seperti sabun dan sampo. Sudah pasti bahwa sebelum bulan berakhir, uang kami biasanya sudah habis. Untuk sisa hari dalam bulan berjalan, kami harus berpikir dengan berbagai cara, dan sering kali meminjam uang yang menambah tagihan bulanan.
Inilah yang membuat kami sekeluarga belum bisa kemana-mana setiap akhir tahun atau saat liburan. Anak kami yang pertama, Naysa, hampir 8 tahun, dan kami belum sekalipun ke Sumba. Naysa sering kali menunjukkan rasa kecewanya, meskipun dia berusaha untuk tetap sabar dan mengerti situasi kami. Sebagai orang tua, melihat anak kami kecewa adalah hal yang tidak mudah, namun kami berusaha untuk terus memberikan pengertian.
Akhir tahun 2024 pun tidak berbeda. Setelah kegiatan rapat kerja akhir tahun Yayasan pada 15-16 Desember 2024, sisa uang di rekening saya adalah Rp73.000, sedangkan sisa uang di rekening istri saya adalah 20 an ribu. Sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kebutuhan di rumah. Listrik yang hampir habis, susu formula Hannah, juga habis. Kami dihadapkan pada pilihan antara membeli susu atau air galon, minyak tanah, dan sayur. Saya memutuskan untuk membeli susu formula seharga Rp62.500, sehingga sisa di rekening hanya Rp8.000, yang tentu tidak bisa diambil. Kami pun harus kembali mengatur strategi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Situasi ini sering kali membuat kami merasa berpikir keras, tetapi kami terus berusaha untuk tetap kuat dan mencari solusi terbaik.
Jadi, kembali lagi bahwa kami belum bisa kemana-mana, bahkan hanya sekadar jalan-jalan di area kota Kupang atau mengunjungi keluarga yang ada di kota Kupang. Kami bersyukur kepada Tuhan bahwa untuk beberapa kebutuhan, Tuhan menyediakan beberapa orang dalam komunitas, seperti kak Elis yang selalu menyediakan popok buat Hannah, adi Pon dan adi Lian untuk beberapa kebutuhan lainnya. Mereka sering kali menyediakan beberapa kebutuhan di rumah seperti sayur, minyak tanah, dan kebutuhan lainnya. Bantuan mereka sangat berarti bagi kami dan menjadi salah satu bentuk kasih sayang Tuhan kepada keluarga kami.
Meskipun tidak mudah, kami senantiasa bersyukur dan melihat sisi positif dari setiap pengalaman ini. Kami percaya bahwa setiap proses yang kami lalui ini adalah bagian dari rencana Tuhan untuk membentuk kami menjadi lebih kuat dan lebih dekat kepada-Nya. Setiap tantangan yang kami hadapi adalah kesempatan untuk belajar dan terus bertumbuh, sesuai desain-Nya. Kami juga berharap bahwa pengalaman ini dapat mengajarkan anak-anak kami tentang nilai kehidupan, kesabaran, dan kepercayaan kepada Tuhan.
Terima kasih, Tuhan, untuk semua proses ini. Kami berharap bahwa melalui proses-proses seperti ini, kami dapat semakin mengenal dan mengandalkan-Mu dalam setiap aspek kehidupan kami. Kami mengasihi keluarga lahiriah kami dan berharap suatu saat dapat berkumpul bersama mereka di Sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H