Berangkat dari pemikiran Friedrich Nietzsche yang mengkritik keras Kristen Lutheran yang ia anggap irasional dalam perjalanan hidupnya. Begitu pun Lenin yang melihat ambivalen ortodoks yang terus menerus membela kepentingan Tsar atas nama Tuhan dan menutup mata terhadap penderitaan rakyat Rusia. Melawan Tsar berarti melawan gereja, melawan gereja berarti melawan Tuhan. Sayangnya, Nietzsche, Marx maupun Lenin tidak bersinggungan dengan pandangan maniak manusia modern terkait dengan agama dalam konteks berkelompok dalam membela kebenaran masing-masing.
Dalam bukunya, Nietszche selalu melakukan metafora dalam mengekspresikan filosofinya terkait dengan eksistensi Tuhan dalam riwayat hidup manusia. Seperti pada salah satu bukunya, Nietszche bercerita bahwa pada suatu pagi, terdapat orang gila yang berlari memutari pasar sembari berteriak "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!". Masyarakat yang melihat orang gila itu kemudian berkerumun untuk menyaksikan aksi dari orang gila tersebut. Kemudian ada salah satu masyarakat yang menyeletuk dengan berkata "Memang Tuhan pergi kemana? apakah Ia lari atau pindah rumah?" Orang gila itu kemudian merespon dengan menatap tajam orang yang bertanya itu, kemudian berkata "Coba tebak kemana perginya Tuhan?" kemudian semua hening. Tak berselang lama, orang gila itu menjawab sendiri pertanyaannya dengan mengatakan "Aku ingin berbicara kepada kalian, bahwa kita telah membunuhnya, Ya, kita semua telah membunuh Tuhan!"
Itu lah sebuah kisah yang ditulis oleh Nietszche yang merupakan filsuf proklamator kematian Tuhan asal eropa. Tentu metafora yang dibentuk oleh Nietszhce ini menimbulkan berbagai macam respon, seperti terasa menjengkelkan karena meyakini bahwa Tuhan ada dan tidak akan bisa dibunuh. Tetapi bagi Nietszche sendiri, Tuhan hanya ada dalam alam pikiran saja, karena Tuhan tidak "berwujud" di luar sana. "Jangan pernah menguburkan kepala mu dalam pasir surgawi, tapi bawalah dengan bebas, sebuah kepala membumi yang menciptakan makna", kira-kira begitulah perkataan Zarathustra, sebuah karakter imajiner hasil olah pikiran Nietszche.
Ya, jika dilihat secara akal pikiran manusia yang terbatas, apa yang dikatakan oleh Nietszche ini ada benarnya. Karena ketika manusia mengharapkan kehadiran Tuhan dengan meminta bukti nyata dari eksistensinya dengan memberikan tanda pada saat itu juga, maka kecenderungan akan pikiran kita terhadap Tuhan akan terpolarisasi seperti bagaimana yang dipikirkan oleh Nietszche. Tuhan akan mati apabila manusia dengan segala keterbatasan pikirannya menganggap bahwa Tuhan harus menjadikannya orang baik dan benar setiap saat, sepanjang waktu. Menurut saya, mematikan Tuhan sangat mudah, hanya dengan menilai karunia dan pemberian yang diberikan atas alam, kehidupan, dan berbagai macam sumber lainnya, Tuhan sudah "mati" dalam diri masing-masing manusia.Â
Sekali lagi, Nietzsche berpendapat, bahwa Tuhan yang diimajinasikan manusia adalah hasil dari karya kegilaan manusia itu sendiri. Tuhan sesungguhnya juga manusia, Bayangan Tuhan datang dari serpihan malang dan ego manusia. Menurutnya bayangan itu menjadi nyawa tersendiri bagi manusia, sehingga manusia mampu mengatasi apapun itu tanpa bayang (Tuhan). Tegasnya mengatakan bahwa, Tuhan adalah manifestasi dari kegilaan dan penciptaan singkat yang hanya di alami oleh orang yang paling menderita saja. Singkatnya, menurut Nietszche, Tuhan hanyalah angan-angan yang terbentuk dari manusia yang lemah tak berdaya,
Menurut saya, konsepsi pikiran berketuhanan yang disampaikan oleh Nietszche koheren atau linear dengan kondisi manusia modern seperti saat ini. Kembali pada perkataan Nietszche, bahwa "Tuhan hanyalah angan-angan manusia yang lemah". Tidak dapat dipungkiri bahwa, manusia dalam jiwa paling terdalamnya, cenderung mengingat Tuhan manakala terjadi musibah atau kesulitan yang tak berkesudahan. konsep pemikiran yang mengenyampingkan zat Tuhan dalam setiap kegiatan, seakan-akan membuat Tuhan hanya wajib boleh memberikan kesenangan saja, sehingga pada saat di titik paling susah, manusia modern cenderung tidak menikmati proses yang sedang diberikan Tuhan, sehingga sekali lagi, Tuhan telah "mati" dua kali pada diri manusia itu sendiri. Mnurut saya, poin dari kehidupan adalah mengenai duka, mengenai rasa sakit termasuk sulit atau kesusahan. Orang-orang yang mengatakan sedang tidak ditimpa oleh masalah ada orang-orang yang sedang beruntung. Karena bagi saya, hakikatnya adalah kita hanya mati sekali, dan hidup dengan cukup waktu. Bagi saya juga, jika ingin merasa hidup, maka kita harus merasakan sakit. Anggapan kecilnya adalah, reflek kita ketika terjatuh atau terpukul dengan benda yang cukup berat dan besar, kita akan merasa sakit, dan dari sakit itulah, kita masih mengetahui bahwa diri kita masih hidup. Begitupun juga dengan konsepsi mengenai Tuhan dalam diri kita.
Serupa dengan Nietszche, Karl Max pun berpendapat bahwa ajaran moral yang selama ini berlaku dan mengajarkan kerendahan hati, sikap pasrah, berbuat baik, dan lain-lain yang dikaitkan dengan ajaran agama berfungsi untuk membungkam sikap kritis yang kemudian digunakan untuk mengendalikan perubahan sosial menuju keadilan. Karl Max juga berpendapat bahwa agama dengan isi ajaran moral dinilai telah menjadi candu yang membuat masyarakat mabuk dalam ilusi mengenai kehidupan akhirat dan lupa mengurusi kenyataan sosial yang buruk dan tidak adil. Kritik Marx terhadap otoritas agama ini berakar dari filsuf pendahulunya yang memilii pandangan sama. Filsuf tersebut adalah Ludwig Feurbach yang menulis karya berjudul "Das Wasen Chistentums" (Hakikat agama Kristiani) yang membuat seorang Karl Marx terkesan pad a saat itu. Bagi Karl Max, sosok Ludwig Feurbach menjadi role model baginya yang membakar dan membangkitkan pikirannya sehingga terbuka dan kemudian lahirlah ideologi marxisme.
Kalimat kunci Feurbach bermuara pada kritik atas gagasan inti salah seorang gurunya, yakni Wilhelm Friedrich Hegel. Gagasan inti Hegel adalah, "Dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Kita merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi dibelakangnya, 'roh semesta' lah yang mencapai tujuannya.
Menurut saya, jika disederhanakan, maka maksud Hegel mengartikan bahwa manusia sebagai wayang dengan kesadaran, pengertian dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada dalam tangan sang dalang. Sang dalah itulah yang disebut roh semesta atau Tuhan, bukan manusia.Â
Kemudian Ludwig Feurbach menyangkal hal itu. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Hegel itu keliru dan memutar balikkan fakta dengan membentuk seakan-akan bahwa yang nyata adalah Allah yang bersifat semu atau tidak kelihatan, sedangkan manusia yang jelas nyata adanya hanyalah wayang.Â
Maka menurutnya, bukan manusialah yang menjadi objek pikiran Tuhan, melainkan Tuhan adalah buah pikiran manusia, menurutnya, eksistensi manusia sebagai materi yang dapat dirasakan tidak dapat dibantah, sedangkan Tuhan hanya berada pada objek pikiran manusia.Â