Seorang sahabat mengirim saya sebuah video pendek yang berjudul “setiap anak kita adalah juara”. Tentu berikutnya video itu saya putar dan saya tonton. Video itu disajikan dengan sederhana, sehingga dalam sekali tonton, sudah dapat langsung dipahami maknanya.
Dalam video tersebut dikisahkan tentang anak-anak yang dianggap bodoh dan selalu tidak naik kelas, meskipun sudah sekolah selama 3-4 tahun. Bahkan mereka dianggap sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk maju dan baik masa depannya.
Kemudian anak-anak itu secara khusus diberi pendidikan dengan baik selama 3-4 tahun. Hasilnya, ternyata mereka menunjukkan prestasi yang luar biasa, bahkan dari mereka itu ada yang menjadi juara berkali-kali. Mereka berhasil menjadi anak-anak yang berprestasi dan mempunyai masa depan.
Video itu diakhiri dengan kata penutup: “ada dua kunci kesuksesan mereka, yaitu guru yang baik dan metode yang baik. Di dunia ini tidak ada anak yang bodoh, namun anak yang belum mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang baik.”
Menyimak kisah dalam video itu, ada yang bisa dicermati, terutama bagi orang tua yang masih mempunyai anak-anak usia sekolah, yakni cara pandang orang tua dalam menyikapi anak-anak, harus mengedepankan bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi sebagai “juara”, di bidang apa saja.
Sebab setiap anak mempunyai tingkat kecerdasan, bakat, dan minat yang berbeda. Bukan hanya anak-anak yang “dianggap bodoh”, bahkan anak-anak yang secara fisik menyandang disabilitas, mereka itu adalah calon-calon “ahli” di bidangnya masing-masing, di kemudian hari.
Kebanyakan orang pasti tahu, siapa Thomas Alva Edison. Semasa kecil ia dianggap anak yang paling bodoh di sekolahnya sebab selalu mempertanyakan jawaban gurunya. Karena itu, ia dikeluarkan dari sekolah. Kemudian ia hanya memperoleh pendidikan dari ibunya yang seorang guru.
Tidak disangka di kemudian hari Thomas menjadi ilmuwan dengan ribuan penemuan yang telah mempunyai hak paten. Dari ribuan penemuan itu, bola lampu pijar merupakan penemuannya yang paling populer.
Kemudian Albert Einstein. Semasa kecil, ia sangat lamban dalam menyerap pelajaran sekolah, mengidap autisme dan terlambat bicara, karena itu ia dianggap paling bodoh dibanding teman-temannya yang lain. Bahkan ia dianggap sebagai anak yang idiot dan dungu.
Di kemudian hari, siapa sangka anak yang dianggap idiot itu dapat memperoleh penghargaan Nobel bidang Fisika atas teori relativitasnya dengan rumus yang sangat terkenal: E = mc². Teori relativitas penemuan Einstein itu banyak mempengaruhi perkembangan iptek terutama dalam bidang matematika dan fisika.
Lalu Stephen Hawking, semasa kecil ia kesulitan dalam membaca dan menulis, bahkan diprediksi oleh teman-temannya, ia tidak akan menjadi apa-apa. Hawking melanjutkan pendidikannya di Universitas Oxford hingga memperoleh gelar Bachelor.
Karena tidak cocok dengan materi pembelajarannya, kemudian ia masuk ke Trinity Hall, Cambridge, untuk mempelajari astronomi teoritis dan kosmologi. Dari pengetahuannya, Hawking menemukan teori-teori yang banyak mendukung kemajuan sains. Teorinya yang terkenal adalah teori Blackhole, gravitasi kuantum, radiasi Hawking dan teori kosmolog.
Di Cambridge ia terserang penyakit sclerosis lateral amiotrofik yang menyebabkan dirinya tidak bisa makan dan bangun sendiri dari tempat tidur. Setelah itu ia terkena pneumonia yang membuatnya tidak bisa berbicara. Hingga akhir hayatnya, Hawking menganut paham atheis.
Indonesia juga memiliki orang-orang muda yang hebat. Angkie Yudistia, lahir 1987, penyandang disabilitas tuna rungu sejak usia 10 tahun. Ia mempunyai banyak prestasi dan aktivitas, sebagai finalis ajang Abang-None jakarta 2008, CEO, penulis buku.
Saat ini Angkie menjadi Staf Khusus Presiden RI yang pertama dari penyandang disabilitas.
Kemudian Habibie Afsyah, pemuda kelahiran 1988. Ia penyandang kelainan becker muscular dystrophy yang menyebabkan otot tubuhnya menyusut, dan yang membuatnya harus duduk di kursi roda, serta untuk mobilitas ia membutuhkan bantuan orang lain. Dengan kondisi itu, sosok ibu menjadi penyemangat dan pendukung yang kuat untuk semua aktivitas Afsyah.
Untuk kemajuan Afsyah, sang ibu mendukung anaknya untuk ikut kursus internet marketing hingga tingkat lanjut. Dengan semangatnya yang tinggi, saat ini selain berprofesi sebagai konsultan digital marketing, Habibie Afsyah juga tercatat sebagai penulis buku dan motivator.
Lalu, Muhammad Naja Hudia Afifurrohman, ia dikenal sebagai hafidz atau penghafal Al Qur’an, 30 juz, meskipun ia mengalami kelumpuhan otak atau cerebral palsy sejak usia 1 tahun. Penderita cerebral palsy selain memiliki gangguan keterbatasan fisik, juga keterbatasan kognitif.
Bagi Naja, kegigihan sang ibu yang selalu membacakan Al Qur’an, merawat dan memberikan pengobatan terbaik kepadanya, merupakan kekuatan tersendiri. Kini Naja sukses menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Bahkan berkat kemampuannya itu, da’i ternama Syekh Ali Jaber (Alm.) pernah mencium kakinya. Saat ini Naja aktif dalam syiar keagamanaan terutama di bidang Al Qur’an.
Dari kisah-kisah itu, jika di sekolah anak dianggap bodoh karena lambat menangkap pelajaran, atau karena anak menyandang disabilitas, itu bukanlah akhir dari segalanya. Bukan juga bencana bagi orang tua. Justru di situlah orang tua harus sadar, saatnya orang tua dengan serius melakukan tugasnya, harus menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya, harus menjadi suporter yang selalu bersemangat dalam rangka menumbuhkembangkan pembelajaran anak demi mencapai cita-cita yang tinggi.
Tidak ada yang tidak bisa diraih selama ada kemauan, berusaha, dan berdoa. Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak sia-sia ? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H