Lalu Stephen Hawking, semasa kecil ia kesulitan dalam membaca dan menulis, bahkan diprediksi oleh teman-temannya, ia tidak akan menjadi apa-apa. Hawking melanjutkan pendidikannya di Universitas Oxford hingga memperoleh gelar Bachelor.
Di Cambridge ia terserang penyakit sclerosis lateral amiotrofik yang menyebabkan dirinya tidak bisa makan dan bangun sendiri dari tempat tidur. Setelah itu ia terkena pneumonia yang membuatnya tidak bisa berbicara. Hingga akhir hayatnya, Hawking menganut paham atheis.
Indonesia juga memiliki orang-orang muda yang hebat. Angkie Yudistia, lahir 1987, penyandang disabilitas tuna rungu sejak usia 10 tahun. Ia mempunyai banyak prestasi dan aktivitas, sebagai finalis ajang Abang-None jakarta 2008, CEO, penulis buku.
Kemudian Habibie Afsyah, pemuda kelahiran 1988. Ia penyandang kelainan becker muscular dystrophy yang menyebabkan otot tubuhnya menyusut, dan yang membuatnya harus duduk di kursi roda, serta untuk mobilitas ia membutuhkan bantuan orang lain. Dengan kondisi itu, sosok ibu menjadi penyemangat dan pendukung yang kuat untuk semua aktivitas Afsyah.
Lalu, Muhammad Naja Hudia Afifurrohman, ia dikenal sebagai hafidz atau penghafal Al Qur’an, 30 juz, meskipun ia mengalami kelumpuhan otak atau cerebral palsy sejak usia 1 tahun. Penderita cerebral palsy selain memiliki gangguan keterbatasan fisik, juga keterbatasan kognitif.
Dari kisah-kisah itu, jika di sekolah anak dianggap bodoh karena lambat menangkap pelajaran, atau karena anak menyandang disabilitas, itu bukanlah akhir dari segalanya. Bukan juga bencana bagi orang tua. Justru di situlah orang tua harus sadar, saatnya orang tua dengan serius melakukan tugasnya, harus menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya, harus menjadi suporter yang selalu bersemangat dalam rangka menumbuhkembangkan pembelajaran anak demi mencapai cita-cita yang tinggi.
Tidak ada yang tidak bisa diraih selama ada kemauan, berusaha, dan berdoa. Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak sia-sia ? (*)