Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, dikatakan oleh Anas ra. ada tiga orang mendatangi rumah istri Nabi SAW untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Nabi SAW.
Lantas salah seorang dari mereka mengatakan, “Saya akan shalat malam selama-lamanya.”
Lalu seorang lainnya mengatakan, “Sungguh saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.”
Kemudian orang yang ketiga berkata, “Saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.”
Ketika kabar tentang keinginan mereka itu sampai ke Rasulullah SAW, beliau segera mendatangi mereka dan menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang paling taat di antara mereka, namun beliau shalat malam dan juga tidur, beliau berpuasa dan juga berbuka, beliau juga menikah selayaknya manusia. “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” Sabda beliau SAW.
Tidak disangkal bahwa yang mereka inginkan itu sebenarnya bertentangan dengan peribadahan dalam Islam, sebab akan menyusahkan bahkan akan memberatkan mereka.
Orang yang shalat malam tanpa istirahat untuk tidur, menunjukkan sifat yang berlebih-lebihan. Disamping menzhalimi dirinya sendiri, ia juga menzhalimi istrinya, yang berhak untuk bersenang-senang dengannya.
Kemudian puasa yang dilakukan terus menerus tanpa berbuka, juga merupakan perbuatan yang dilarang, sebab akan menyiksa dan akan mendatangkan keburukan. Puasa yang demikian juga termasuk perbuatan melampaui batas.
Demikian juga dengan keinginan tidak akan menikahi wanita agar bisa terus menerus melakukan ibadah. Keinginan membujang selamanya pada umumnya hanya menjadi kepuasan untuk dirinya sendiri, sebenarnya ia digelayuti nafsu yang selalu bergejolak, sehingga ia akan berada dalam pergolakan melawan fitrah kemanusiaannya.
Ketiga perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang melampaui batas dan bertentangan dengan fitrah, untuk itu dalam Islam hukumnya haram.
Terdapat pesan yang sangat penting dalam riwayat tersebut, bahwa menyikapi segala sesuatu dalam kehidupan ini hendaknya dilakukan secara proporsional. Rasulullah SAW yang telah dimaksum, beliau, selain menyediakan waktunya untuk berdialog dengan Allah SWT dalam ibadah ritual, beliau juga mengadukan segala permasalahan yang dihadapi oleh umatnya. Beliau juga masih menyisihkan waktunya untuk berinteraksi dengan umatnya, bergaul dengan istri dan keluarganya, memperhatikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, dan aktivitas sosial lainnya.
Oleh karena itu, ketika mendengar ada sahabat yang berkeinginan untuk melakukan ibadah hanya demi kepentingannya sendiri dan mengabaikan orang lain di sekitarnya, Rasulullah langsung menegurnya.
Acapkali orang berpikir bahwa yang paling penting itu ibadah ritual, seperti shalat, puasa, membaca Al Qur’an, menunaikan haji dan sebagainya, dengan maksud agar memperoleh kenikmatan surgawi. Sementara menolong sesama makhluk tuhan, berkata yang baik-baik, ramah, tidak menyebar fitnah, dan interaksi sosial lainnya, dikesampingkan.
Itu anggapan yang kurang tepat, sebab bukan banyaknya ibadah ritual yang dilaksanakan, namun manifestasi dari ibadah-ibadah ritual itu yang harus tercermin dalam kehidupan sosialnya. Bukankah shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, puasa itu mencerminkan kejujuran, dzikir dapat melembutkan hati.
Banyak firman Allah SWT dan sabda rasulNya yang mencakup berbagai permasalahan manusia, tidak hanya soal kebenaran individual, tapi juga kebenaran sosial, dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan bernegara.
Karena itu esensi ketaatan kepada Sang Pencipta dalam syariat Islam tidak akan pernah lepas dari manfaat dan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H