Surat Tukang Becak Untuk Istrinya Di Kampung
(Ku tulis surat ini
dengan peluh ragaku yang penuh asa)
Panas matahari siang terasa meranggas
Membakar tubuh hingga ubun-ubunku mengepulkan asap
Seperti asap kopi yang dulu selalu kau seduh untukku
Seperti sepiring singkong rebus kau sajikan, juga untukku
Ketika sore-sore pulang dari sawah
: Sekarang sawah sudah jadi milik siapa ?
Masih ingatkah dulu di pekarangan rumah
banyak berkeliaran ayam dan anak-anaknya
Lantas kita terbawa membicarakan anak kita, yang bakal lahir
Engkau katakan, ingin anak dua saja seperti bu Lurah kampung kita
Aku katakan, ingin sembilan anak saja seperti Makku
Seminggu kamu ngambek, kita tidur sendiri-sendiri
Suatu hari, ketika
Malam sedang bertebaran bintang
Rumah kita temaram dan hangat,
Hanya sedikit cahaya bulan menyelinap disela-sela lubang bilik
Tiba-tiba kamu meloncat dan teriak keras membangunkan aku
Aku terjaga.
Ada apa dik ! Teriakku
Aku peluk kau,
kau peluk aku
Tubuhmu hangat bergetar keras,
kau sandarkan kepalamu ke dadaku
Kuusap rambutmu yang tampak kucal,
kutengadahkan wajahmu
Pucat masai,
tetap nampak ayu
Kau katakan, seekor cicak masuk ke dalam kutangmu
Aku tertawa terpingkal-pingkal,
kamu menangis tersedu-sedan,
dalam pelukanku
Duh, betapa lembut kasih dan sayang kita.
: Terimakasih Gusti
Dik.
Kakang di kota dalam keadaan baik
Semoga begitu pula adanya dengan dirimu dan anak kita
Minggu terakhir bulan ini Kakang mau pulang kampung
Tetapi maafkan Kakang kalau hanya membawa sedikit uang
Becak yang Kakang beli dari upah buruh tani dulu
Kini tidak lagi bisa beroperasi
Sebab, jalanan kota sudah naik derajat: Bebas Becak
Katanya, becak biang kemacetan
Katanya, becak cermin ekploitasi manusia
Do'akan saja dari jauh
Kakang akan ke pinggiran kota
Katanya, di sana masih ada rejeki Gusti
Dik.
Begitu kabar dari Kakang
Salam sayang
Kakang,
yang telah hanyut dalam
derasnya arus kehidupan kota
(Aku mengerti perasaanmu,
bukan surat yang kau nanti)
(*)
Mei 2023