Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani - Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Idul Fitri dan Mudik

20 April 2023   10:00 Diperbarui: 20 April 2023   10:07 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang Tol Bakauheni Selatan | Foto: Dandung N. (Dok. pribadi)

Sebetulnya, apa hubungan antara "Idul Fitri" dengan "Mudik" ?
Ya, terus terang saja, tidak ada. Tapi jika dihubung-hubungkan, bisa saja ada hubungannya, meskipun, secara jujur ada kesan dipaksakan.

Bagi umat Islam di Indonesia, Idul Fitri memang mempunyai makna tersendiri di samping makna religius. Dapat dikatakan bahwa Idul Fitri mempunyai konotasi dengan saling berjabatan tangan, maaf-memaafkan, silaturahmi, halal bi halal, berpakaian baru, kunjung-mengunjungi antar saudara, tetangga atau rekan sekerja, menyediakan ketupat atau makanan kecil, dan sudah barang tentu "mudik".

Dari kenyataan itu menunjukkan bahwa Idul Fitri, bagi masyarakat muslim di Indonesia bukan lagi sekadar hari raya agama tetapi telah meluas menjadi suatu bentuk tradisi. Dan yang paling menonjol adalah tradisi mudiknya, sampai-sampai demi acara mudik agar aman dan nyaman, pemerintah dibantu beberapa lembaga, membuat agenda mudik secara gratis.

Di sini, penulis mengajak untuk bersikap bijak dalam menyambut hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, dengan tanpa melupakan sasaran utama dari pelaksanaan ibadah shaum di bulan Ramadhan ini, yaitu menjadi manusia yang bertakwa.

Dalam pandangan Islam, manusia di dunia ini mempunyai kedudukan sebagai peran utama. Dengan kedudukan manusia itu, maka Allah sengaja menundukkan seluruh isi alam semesta, untuk kehidupan manusia. Sehingga manusia bisa mengoptimalkan segala potensi diri yang ada demi memainkan perannya.

Oleh karena itu, Al Qur'an menunjuk manusia, antara lain menyebutnya dengan kata al-insaan yang diambil dari kata al-uns yang artinya "senang" atau "harmonis".

Jadi sebenarnya manusia yang sehat jasmani-rohani, pasti berada pada situasi dan kondisi yang "senang" dan "harmonis". Tetapi hal itu bisa berubah menjadi "tidak senang" dan "tidak harmonis", ketika manusia melakukan kesalahan.

Nah, untuk kembali pada posisinya yang semula, maka manusia harus menetralisir seluruh kesalahan tersebut hingga bersih (fitri). Adapun, formula yang bisa menetralisisir kesalahan itu dalam Islam ada istilah al 'afwu yang berarti "maaf", "pemaaf", atau "memaafkan".

Menurut Quraish Shihab, orang Islam yang benar ke-Islamannya memiliki sifat "pemaaf" walau tanpa "dimintai maaf", dan memang itu yang diperintahkan. Dalam Al Qur'an juga tidak ditemukan satu ayat pun yang menggunakan kata yang menunjuk pada "permintaan maaf" kepada sesama manusia.

Artinya yang ada hanya "memaafkan". Kata itu digunakan langsung oleh Allah SWT. kepada makhluknya (manusia) dengan tanpa upaya manusia untuk meminta maaf. Allah SWT. berfirman: "...maka Allah memaafkan kamu." (QS. Al Baqarah: 187). Juga, "...tetapi siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka ganjarannya ditanggung oleh Allah." (QS. Az Zukruf: 40).

Kembali pada kata al 'afwu sebetulnya berasal dari kata al afw, artinya "kelebihan" yang harus dikeluarkan (QS. Al Baqarah: 219). Makna itu berkembang menjadi "menghapuskan", maksudnya menghapuskan luka akibat kesalahan orang lain. Bisa juga menghilangkan kotoran yang mengganjal di dalam dada (kekesalan). Allah SWT berfirman, "Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada, tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah ?" (QS. An Nuur: 22).

Pada hakikatnya dengan memaafkan kesalahan orang lain berarti dia telah menebar kasih-sayang, dan imbalannya adalah ampunan Allah SWT. Selanjutnya, manusia dapat hidup dengan harmonis serta menjadi orang yang selalu bersyukur, sebagaimana janji Allah, "... Kami memaafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur." (QS. Al Baqarah: 52).

Timbul pertanyaan: "Bagaimanakah cara memaafkan kesalahan orang itu ?" Allah berfirman, "... maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik." (QS. Al Hijr: 85).

Barangkali dengan merujuk pada ayat di atas yang menyuruh agar "maaf-memaafkan" dilakukan dengan cara yang baik, maka kita menjadi ingat dengan kegiatan halal bi halal.  Perlu diketahui bahwa kalimat ini pun tidak pernah tercantum dalam Al Qur'an. Tapi jika yang dimaksud dengan halal bi halal itu untuk saling meng-islah-kan atau mencari kedamaian dari suatu pertentangan yang pernah terjadi dan bertujuan demi memperoleh kelapangan dada, maka Al Qur'an menunjukkan satu istilah yang mempunyai makna seperti itu, ialah al- shafh, atau ash-shafhu.

Pada mulanya ash-shafhu, artinya "lapang" dalam arti yang sebenarnya. Seperti halaman, taman, atau ruangan. Tapi bisa juga diartikan sebagai "kelapangan dada". Biasanya kata ash-shafhu mengiringi kata al 'afwu. Seperti dalam "Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada...." (QS. An Nuur: 22). Lalu, "Maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)." (QS.Al Maidah: 13).

Untuk bisa memaafkan kesalahan orang itu, tidak bisa hanya sekadar ucapan "aku maafkanmu" saja, tapi juga dituntut untuk sanggup menahan dan meredam gejolak amarah dan dendam.

Dengan begitu diperlukan suatu kondisi yang disebut "kelapangan dada". Jika mereka saling merasa "berlapang dada", maka secara simbolis mereka akan saling "berjabatan tangan", yang merupakan arti dari kata mushafahat. Lalu bagaimana agar manusia bisa merealisasikan niat memaafkan kesalahan orang lain serta berlapang dada ?

Upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai target tersebut ialah dengan cara "silaturahmi".

Silaturahmi diperkirakan berasal dari kalimat shilat ar-rahim yang terdiri dari kata shilat dan ar-rahim.  Shilat diambil dari akar kata washola yang artinya "menyambung".  Sedangkan ar-rahim diambil dari salah satu nama Allah yang 99, artinya "sayang".

Dari arti kebahasaan tersebut, "silaturahmi" bukan berarti "mempererat hubungan yang telah terjalin/terbentuk" tapi justru "menyambung hubungan yang putus atau belum pernah tersambung". 

Dalam Al Qur'an tidak ditemukan istilah silaturahmi tapi jika yang dimaksud itu silaturrahim, cukup banyak. Di antaranya firman Allah, "... dan (peliharalah) hubungan silaturrahim...." (wal arhaama) (QS. An Nisaa': 1).

Atau "... dan memutuskan hubungan kekeluargaan.... (wa tuqoth-thi'uu arhaa-makum)." (QS. Muhammad: 22).

Sekarang bagaimana caranya untuk menyambung hubungan yang terputus atau hubungan yang belum pernah tersambung?

Dapat kita lakukan dengan cara: mengunjungi saudara, tetangga atau rekan sekerja.  Menghormati tamu-tamu yang berkunjung ke rumah kita, dengan menyediakan ketupat atau makanan kecil lainnya.

Lalu kalau kita tidak mempunyai tetangga, rekan sekerja, atau saudara di tempat kita merantau, bagaimana?

Kalau sudah begitu ya...sepertinya harus: Mudik !

Bagi yang sedang mudik: Semoga lancar dalam perjalanan, aman, dan selamat sampai tujuan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun