sayang”. Betul memang, antara “kenal” dan “sayang” ada korelasinya. Begini, pada dasarnya “sayang” terhadap suatu objek dapat muncul karena ada “pengenalan” terhadap objek tersebut.
Satu ungkapan yang sangat familiar di telinga kita ialah “tak kenal, maka takPemahamannya, jika pengenalan terhadap objek semakin rinci, maka semakin kuat rasa “sayang” yang muncul. Sebaliknya, jika hanya sekedar saja “pengenalan”nya, maka rasa sayangnya pun hanya sekadarnya.
Sebagai seorang muslim, mengidolakan Rasulullah SAW itu suatu keharusan. Untuk itu, sebaiknya mengenal tingkah laku, budi-pekerti, pola kehidupannya yang mulia dan sebagainya, yang secara umum disebut sebagai akhlaq Nabi SAW yang karimah, agar selanjutnya dapat mengidolakan serta tumbuh rasa sayang kepada beliau. Pada hakekatnya, mencintai Rasulullah SAW adalah mencintai Allah SWT semata. Mengingat Allah SWT berati mengingat Rasulullah SAW.
Saat ini pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagian umat Islam melakukan i’tikaf. Dalam rangka dzikrullah, mari kita manfaatkan waktu yang ada, membuka beberapa lembar kisah tentang keindahan dan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW.
***
Pernah ketika Nabi SAW berada di Mekkah, datanglah sorang utusan dari pembesar Quraisy, namanya Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata kepada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau menghendaki harta, kami akan kumpulkan harta kekayaan kami. Jika Kau menghendaki kemuliaan kami akan muliakan engkau. Jika engkau sedang menderita, kami akan carikan obat untukmu. Jika kau menghendaki kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami".
Dengan sabar Nabi SAW mendengarkan apa yang dikatakan oleh Utbah, dengan seksama beliau menyimak serta tidak memotong bicaranya.
“Apakah sudah selesai, Ya Abal Walid ?" tanya Nabi SAW dengan lembut, ketika Utbah sudah berhenti bicara.
"Sudah", kata Utbah
Kemudian Nabi SAW membaca surat Fushilat, dan beliau bersujud ketika sampai pada ayat sajdah. Utbah pun duduk mendengarkan bacaan Nabi SAW sampai selesai.
Dari peristiwa yang sudah berlangsung berabad-abad yang lalu, Nabi dengan sabar dan tekun mendengarkan pendapat dan usul Utbah, seorang tokoh musyrikin. Itulah akhlaq Nabi ketika sedang berbicara dengan orang lain, menyimak dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraan.