Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, dalam kaitannya dengan etika kehidupan, sebenarnya merupakan salah satu landasan utama ajaran Islam yang Allah perintahkan kepada sesama muslim, agar dilaksanakan dalam rangka menyatukan setiap individu untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan, demi mencapai kebaikan bersama.
Dalam bahasa Arab, kata al-amr dapat berarti perintah atau seruan, dan al-ma’ruuf dapat berarti sesuatu yang baik atau dikenal. Kalau dua kata tersebut digandengkan, maka ia menjadi terma keagamaan yang berarti menyeru kepada kebaikan.
Sedangkan al-nahy berarti larangan atau pencegahan, dan al-munkar berarti kemunkaran dan keburukan. Kalau dua kata terakhir tersebut digabung, maka ia juga menjadi terma keagamaan yang berarti mencegah keburukan.
Gabungan dari kedua terma di atas, yakni al-Amr bi al-Ma’ruuf wa al-Nahy ‘an al-Munkar adalah terma lengkap yang merupakan prinsip dan menjadi salah satu pondasi tegaknya Islam, yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan, yang termasuk kebaikan (al-Ma’rūf) dalam hal ini adalah segala jenis kebaikan sebagaimana diperintahkan Allah, dan keburukan (al-Munkar) dalam hal ini adalah segala jenis keburukan sebagaimana dilarang oleh Allah.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, hukum melaksanakan amar makruf nahi munkar ialah fardhu kifayah. Artinya wajib bagi sebagian orang, maksudnya jika sudah ada orang yang melaksanakannya, maka sebagian orang yang lainnya menjadi tidak wajib. Dengan kata lain, jika suatu kegiatan dengan status fardhu kifayah telah dilakukan oleh sebagian muslim, dengan sendirinya kewajiban muslim yang lainnya menjadi gugur.
Dalam kehidupan sosial masyarakat pada umumnya, ada sebagian orang yang mempunyai pandangan kurang tepat. Seolah-olah amar makruf nahi munkar itu harus dilakukan oleh setiap orang muslim ketika melihat kemunkaran, tanpa menggunakan standar syariat atau ukuran tertentu.
Sehingga maksud yang semula ingin mencegah kemunkaran, bisa malah menimbulkan kemunkaran baru. Untuk menghindari hal itu, orang yang melakukan amar makruf nahi munkar setidaknya mengetahui batasan-batasan mana yang makruf dan mana yang munkar sesuai standar syariat, agar tidak sampai terjadi batasan makruf dan munkar hanya didasarkan pada selera, pandangan, dan kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok tertentu.
Dalam masyarakat, sudah maklum, ada sebagian orang mengenal tentang kebenaran dan sebagian lainnya kurang memahami, lalu mengetahui dan paham terhadap satu aturan hukum, tapi tidak mengenal tatanan yang lain. Bisa juga terjadi perselisihan hanya karena berbeda penafsiran terhadap satu dasar hukum (khilafiyah). Dalam Islam hal yang demikian banyak terjadi, sebab Al-Qur’an atau hadis pada umumnya hanya menentukan syariat secara garis besarnya, tidak menjelaskan berbagai rincian secara detil (furu’). Contoh permasalahan yang selalu muncul di setiap bulan Ramadhan, ialah tentang raka’at shalat tarawih. Padahal secara syari’at sudah jelas, yang menjadi berbeda hanya pada penafsiran. Oleh karenanya, peranan para ahli sangat diperlukan untuk memberi pencerahan, jika terjadi perselisihan, disamping diperlukan juga kelapangan dada serta pengetahuan yang tidak parsial dari pihak-pihak yang berselisih. Ini menandakan bahwa pelaksanaan amar makruf nahi munkar tetap harus menggunakan etika disertai dengan penguasaan ilmu di bidangnya masing-masing secara general.
Pelaksanaan amar makruf nahi munkar berarti melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta melanjutkan misi risalah dan kenabian untuk keselamatan dunia-akhirat. Oleh karenanya, diperlukan persyaratan tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutkan setidaknya ada empat rukun sebagai persyaratan dalam amar makruf nahi munkar. Pertama, Al-Muhtasib (pelaku) harus seorang muslim dan mukalaf (sudah baligh, berakal, dan berkemampuan). Sebagian ulama menambahkan, untuk pelaku harus mempunyai integritas (QS. Ash-Shaf: 2). Kedua, Al-Muhtasab alaih, yang menjadi obyek ialah mereka yang berdasarkan standar syariat dan tata moral masyarakat setempat melakukan perbuatan yang melanggar standar tersebut. Ketiga, Al-Muhtasab fihi, berkaitan dengan materi kemunkaran yang dilakukan, dan kemungkaran yang berlangsung dilakukan dan diketahui oleh al-Muhtasip. Keempat, Al-Ihtisab yaitu teknis pelaksanaan atau proses tindakan yang diambil untuk menegakkan amar makruf nahi munkar harus dilandasi dengan ilmunya, sehingga memahami batas-batas syariat. Kemudian mempunyai sifat wara’ (kehati-hatian) agar tindakan yang dilakukan bersifat proporsional dan bijak. Terakhir, berkarakter akhlakul karimah. Prinsip-prinsip semacam itu, niscaya tercipta suasana amar makruf nahi munkar yang efektif dan solutif, serta terhindar dari aktivitas yang bersifat provokatif.
Dengan demikian, amar makruf nahi munkar bukan semata-mata merupakan tanggung jawab ‘ulil amri (pemerintah) tapi melibatkan umat Islam pada umumnya, dengan catatan persoalan tidak diserahkan kepada orang awam, melainkan diserahkan kepada ahlinya yang mampu melakukan ijtihat.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104) (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H