Mohon tunggu...
Dandoeng Nurhadi
Dandoeng Nurhadi Mohon Tunggu... -

jangan tanya apa yang kau dapat tanyalah yang kau berikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Upacara Tingkeban

25 Maret 2012   07:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31 4993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Magetan, khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Magetan.

Sedemikian rumitnya ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupamakanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti yang hasus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar akan hal itu, bahkan mengaggapnya wajar.

Gunung Lawu bagi sebagian besar masyarakat Magetan sangatlah sacral keberadaannya. Awalnya semua adapt istiadat dan budaya daerah sekitar gunung tersebut, termasuk lereng sebelah timur pun berkiblat pada Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.Aan tetapi ketika runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400, terjadi akulturasi budaya dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini terjadi karena raja Majapahit Prabu Brawijaya V memilih arah barat sebagai tempat pelariannya ketika penyerangan oleh pasukan Islam. Dan pelarian itu menunjukkan jalan kepada Prabu Brawijaya V sampai di Gunung Lawu sebagai tempat pelariannya hingga akhir hayatnya

Desa Sukowidi yang berada tepat di lereng sebelah timur . Sesuai dengan perajalanan Prabu Brawijaya V dan pasukannya yang melarikan diri dari serbuan pasukan Islam yang melewati kaki gunung sebelah timur, maka sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Sukowidi. Banyak diantara nama-nama dusun di Sukowidiyang diyakinimerupakan bukti perjalanan Brawijaya V tersebut, secara administrative Sukowidi berada di wilayah Kecamata Panekan , dan terbagi dalam tiga dusun, yaitudusun Sukowidi, dusun Sempu dan dusun Nerang.

Sebagai daerah perbatasanantara Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi, Panekan sangat ramai dalam hal perdagangan. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Kendal di sebelah utara. Terbagi menjadi enambelas desa dan satu kelurahan. Pempangunan fisik yang serentak diberbagai sektor untuk menunjang semua kepentingan umum mulai dilaksanakan sejak lima tahun terakhir. Selain itu Panekan juga dilewati akses jalan provinsi penghubung antara Magetan dan Karanganyar di desa Milangasri dan desa Cepoko.

Dari beberapa pemaparan di atas, penulis memilih judul tersebut karena merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Demikian juga dengan memilih desa Sukowidi sebagai tempat penelitian karena letaknya yang berada di lereng gunung Lawu yang dahulunya telah terjadi akulturasi antara budaya Yogyakarta dan Majapahit. Selain itu juga ditunjang sarana transportasi yang menunjang, serta didukung dengan sumber-sumber data yang relevan.

B.Rumusan Masalah

1.Seperti apa sejarah munculnya Tingkeban itu?

2.Apa saja perlengkapannya serta bagaimana prosesinya?

3.Adakah Kaitannya antara tradisi tersebut dengan ajaran Islam?

C.Tujuan Penelitian.

1.Untuk mengetahui sejarah munculnya upacara Tingkeban.

2.Untuk mengetahui hal-hal yang disiapakan serta jalannya upacara Tingkeban.

3.Untuk mengetahui kaitan antara upacara Tingkeban dan ajaran Islam.

D.Manfaat Penelitian.

Penelitian ini kami laksanakan dengan harapan agar masyarakat setempat khususnyadapat memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran agama. Selain itu tilisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi penilis untuk meningkatkan kemampuan menulis penulis. Dan sebagai media pewarisan ilmu oleh sesepuh desa kepada generasi penerus.Dengan adanya karya tulis ini penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magetan sebagai suatu tulisan ilmiah tentang budaya Magetan. Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian-penelitian serupa dikemudian hari

BAB II

PEMBAHASAN

A.Sejarah Munculnya Tingkeban

Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Magetan, khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Magetan.

Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pila membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya[1]

Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalahtakir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda.

Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Mubahing Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama TingkebanDengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya.

B.Perlengkapan dan Rangkaian Acara Tingkeban.

Dahulu masyarakat Magetan mengenal tiga teradisii yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni[2], Tingkeban atau Rujakan[3] dan Procotan[4]. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau pirantinya yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap disediakan.

Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu[5] genap dan jumlahnya 12 atau 16.

Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa

No

Nama Hari

Neptune

No

Nama Pasaran

Neptune

1

Akhad

5

1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun