Pemberitaan indonesia diramaikan oleh kabar salah satu Perguruan Tinggi Negri (PTN) di Sumatra yang Rektornya ditangkap oleh KPK. Lalu mengapa banyak calon mahasiswa menginginkan ber-almamater PTN? bukankah Perguruan Tinggi Swasta jumlahnya fantastis? Kualitas yang kurang atau tidak bergengsi?
Bagi mereka yang berburu untuk bisa menempuh pendidikan tinggi di PTN akan menempuh semua jalur agar bisa berkuliah disana. Mulai dari SNMPTN, SBMPTN, sampai jalur Mandiri. Jalur mandiri jalan pintas yang kemudian di tempuh bagi sebagian calon mahasiswa.Â
Dianggap lebih mudah di lalui menjadi alasan untuk mengikuti test pada jalur ini. Tak jarang UKT yang ditawarkan pada jalur ini lebih tinggi dari pada jalur lain, namun para orang tua mahasiswa tidak keberatan asal anaknya dapat berkuliah di PTN.Â
Namun jalur PTN yang di selenggarakan kampus seringkali dianggap sebagai jalur titipan dosen atau bahkan dianggap banyak syarat kepentingan di dalam sana. Namun objektivitas terhadap pandangan tersebut hanya dapat kita pantau dari luar saja. Penjelasan bagaimana proses tersebut dilakukan dengan sangat objektif hanya dapat di beber kan oleh panitia kampus penyelenggara jalur mandiri.
Mahasiswa mandiri tulang punggung kampus. Mahasiswa jalur mandiri dianggap menjadi tulang punggung dan menjadi pemberi subsidi silang bagi mahasiswa pra sejahtera di kampus PTN. Hal demikian tak sepenuhnya benar, lebih lanjut pada jalur lain pun mahasiswa mampu mendapat UKT yang tinggi sesuai dengan kemampuan orang tua Wali mahasiswa tersebut.
Anggota komisi X DPR RI yang kemudian bermitra dengan Mendikbud yang menaungi DIKTI di dalamnya pun memiliki kontra pada penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri yang di rasa memiliki potensi terjadinya KKN didalamnya. Jangan sampai jalur ini menjerat para rektor ke lubang hitam korupsi. Seharusnya DIKTI pun turut serta dalam pengawasan penyelenggaraan penerimaan mahasiswa jalur mandiri.Â
Atau seperti yang disampaikan Farhan salah satu anggota komisi X yang menyarankan jalur mandiri di hapus dan mengganti dengan penerimaan dengan gelombang sehingga LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi) menjadi Medioker penerimaan calon mahasiswa yang objektivitas nya dapat diakui.
Paradigma masyarakat tentang kualitas PTN yang selangkah lebih depan dari PTS juga harus menjadi bahan evaluasi DIKTI. DIKTI harus mengawasi standard kualitas Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia terlepas dari status swasta yang melekat.Â
Sebab apabila banyak PTS yang tidak memenuhi standar masih terus beroperasi maka stigma masyarakat yang berburu PTN ga akan pernah lepas. Sedangkan saat ini sebagian PTS memiliki prestasi diatas rata-rata beberapa PTS lain atau bahkan mengungguli PTN lain.Â
Sebut saja Tel-U dan Binus yang kualitasnya terus meningkat bahkan salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia. Apabila stigma PTS sepi peminat maka jangan salahkan yayasan kampus yang enggan menaikkan kelas Kampusnya pada rangking yang lebih tinggi.Â
Citra perguruan tinggi seharusnya tidak memiliki perbedaan antara negri dan swasta. Angka masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi cenderung masih rendah, maka di perlukan banyak kolaborasi untuk membuat masyarakat melanjutkan pendidikan tinggi.Â