3 tahun aku belajar disekolah SMP . Banyak sekali duka yang kualami. Tapi aku juga sangat suka , aku bisa mengenal banyak teman dan mengetahui berbagai sifat teman-temanku. Perpisahan memang menyakitkan. Apalagi saat acara salam-salaman hari ini sangat mengharukan.. Selepas siang ini, aku akan melanjutkan hidupku di sekolah baru, begitu juga dengan Dika. Yang aku tahu saat ini adalah bahwa Dika tak melanjutkan ke sekolah yang berbeda denganku. Aku tak akan bisa bersama lagi dengannya. Dia masuk disekolah Teknik dan jaraknya sangat jauh dari sekolah SMA yang ingin aku masuki. Aku sedih karena mungkin hari ini adalah hari terakhir aku melihatnya. Aku tidak pernah tahu kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Seusai acara ramah tamah,Aku mengucapkan salam perpisahan padanya.
Aku menangis diatas batu besar dibelakang sekolah. Aku menyadari bahwa setelah hari ini aku akan memasuki dunia baru. Aku belum tahu persis apa yang akan aku hadapi selanjutnya. Terlebih lagi jika ada yang mencaciku disekolah SMA nanti, tak ada Dika lagi yang datang membelaku. Ahh.. segitu manjanyakah diriku, bukankah aku harus lebih mandiri lagi. Tapi …. ?
Semenjak hari itu aku memang tak pernah melihat Ardika lagi. Aku melanjutkan sekolah SMA ku. Dan mungkin Ardika juga demikian. Aku tak pernah dapat kabar apapun darinya hingga kelulusan SMA. Entahlah… saat itu aku memang masih mengagumi sosoknya.Dan sampai saat ini perasaan itu masih terus bersemayam dihatiku.Aku hanya tersenyum sendiri saat memikirka hal itu.
Saat MOS hari ini aku pingsan., aku merasakan lemas yang tiba-tiba. Untuk pertama kalinya aku mengalami hal ini dan itu membuatku sangat ketakutan. Aku dibawa ke UKS oleh kakak seniorku. Saat aku sadarkan diri, aku merasakan sakit dikepalaku. Mungkin aku terlalu lelah mengikuti MOS hari ini. Aku hanya berharap besok semuanya bisa berjalan lancar.
Tak pernah aku menduga bahwa itu adalah awal dari semuanya. Awal dari rasa sakit yang terus bergelayutan dalam tubuhku, merasuk di setiap aliran darahku dan membuatku tak berdaya hingga saat ini.Satu tahun lalu aku divonis dokter di Jakarta dan aku positif mengidap Leukimia stadium 2. Ternyata setelah kepergian Ayah dua puluh dua tahun silam itu, Ayah masih menyisakan sel kanker dalam tubuhku.
*****
Tak banyak kisah yang aku tuliskan semasa SMA. Masa SMA mungkin adalah masa paling membahagiakan untukku. Tak ada teman yang dengan sengaja mencaciku. Aku bersyukur sekali saat itu.
Hari demi hari terlewati dan aku masih merindukan sosok Dika , cinta monyetku. Aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Kejadian demi kejadian juga telah berlalu, namun aku masih terus berada dititik ini, di satu titik mengenai perasaanku yang tak pernah bisa aku jelaskan. Mungkin itu bukan sekedar cinta monyet, lebih dari itu. Sesakit inikah mempunyai perasaan cinta?
Aku tak bisa mengendalikan perasaan ini, aku terus merindukannya. Apakah ini terlalu konyol? Bagaimana jika kau tak pernah sedikitpun mengingatku? Bukankah ini lebih konyol? Lalu bagimana dengan raga ini yang terus menantimu tanpa kau tahu itu? Konyol sekali bukan? Bahkan tubuhku semakin lelah saat mengingat hal ini. Aku terus berfikir, mungkinkah cinta bisa melemahkan?
Yang pasti cinta itu menguatkan. Karena setiap aku hampir putus asa, aku mengingat orang yang aku cintai dan aku berfikir saat itu pastilah orang yang aku sayang ingin aku menjadi lebih baik lagi
Aku kembali membalik-balik halaman buku diaryku. Banyak kisah yang tertulis disini. Terutama kisah cinta dan penantianku pada satu sosok anak manusia itu yang membuatku tak bisa berpaling darinya. Saat itu aku begitu merindukannya, sampai aku dipertemukan dengan Dika pada saat aku sudah bekerja diJakarta. Sebuah pertemuan yang tak pernah aku duga sebelumnya
Hari ini aku ditugaskan dari perusahaan tempat aku bekerja untuk melakukan inspeksi barang didaerah Pergudangan Dadap.Perusahanku memenangkan tender besar. Dan aku harus bekerja keras hari ini. Tapi semuanya tidak terasa, bahkan dihari ini sepertinya ada sebuah keajaiban besar datang. Yup… aku bertemu Ardika cinta monyetku saat SMP dulu. Ternyata dia Marketing yang diutus dari perusahan tempat dia bekerja untuk menemaniku melakukan inspeksi barang. Entah ini yang dinamakan kebetulan ataukan sebuah perjalanan takdir. Aku kaget, senang dan sangat terkejut. Waooww… dia tak pernah berubah, masih sangat tampandengan senyummanisnya. Awalnya dia sama sekali tak mengenalku. Tapi karena rasa penasaranku aku langsung bertanya terus terang. Dan taraaa……. Dia benar Ardika Aku senang bukan kepalang,dan aku bahagia karena masih mengingatku sebagai teman masa SMP itu, yang selalu di bully oleh teman-temannya dan dialah yang datang menyelamatkanku. Oh.. pahlawanku, akhirnya kamu kembali .
Ahh… aku gembira bukan main. Namun aku tak sebodoh itu dengan menunjukan kegembiraanku padanya. Aku bertukar nomor hp dengan Dika dan kami sepakat untuk bertemu kembali jika kami ada waktu luang.Untuk pertama kalinya aku merasakan kelegaan.
Perusahaan tempat aku dan Dika bekerja sudah sangat lama menjadi relasi. Saat itu aku menyadari bahwa dunia ini sangat sempit. Kita tak akan pernah tahu kemana takdir akan menuntun kita. Yang pasti bahwa segala detailnya memang sudah tertatap rapi di Lauh Mahfuz. Aku hanya perlu yakin dan percaya bahwa semua akan indah pada waktunya.
Aku dan Ardika hari ini bertemu .Kami memutuskan untuk pergi ke taman kota. Kami menikmati senja bersama, meskipun terhalang oleh beberapa gedung pencakar langit. Tapi sore ini tampak indah dari biasanya. Ya .. tentu saja, aku menghabiskan sore bersama orang yang selama ini aku tunggu. Kami membicarakan banyak hal, dari masa SMP dulu hingga masa SMA dan masa sekarang. Dan tak terasa, kami memang sudah sama-sama tumbuh dewasa.
Setahun setelah pertemuanku dengan Ardika, kami tetap menjadi sahabat baik.Kami sering pergi dan tertawa bersama. Bahkan setiap libur panjang , Dika sering mengajakku ke Puncak Jawa Barat bersama rekan-rekan kerjanya
Aku tak pernah bermimpi sebelumnya, jika aku dan Dika bisa sedekat saat ini. Bisa tertawa bersama, seakan tak ada jarak diantara kami. Aku berharap aku bisa mempunyai waktu yang lebih banyak lagi untuk bisa melewati hari bersamanya, melihat senyum tulusnya juga semangat yang selalu ia berikan kepadaku. Namun satu hal yang selalu aku takutkan. Aku takut jika ia tahu aku sakit. Dan tak bersedia lagi menemaniku. Haruskah aku kembali membuang impian-impian itu. Ahh.. siapakah aku? Aku tak punya sesuatu yang istimewa, terlebih lagi karena rekan-rekan kerja Dika sangat cantik-cantik yang sering kali membuat aku terbersit rasa cemburu. Dan aku kini mengidap penyakit yang cukup serius, itu akan membuat harapanku semakin jauh meninggalkanku. Nafasku begitu berat mengingat ketidaksempurnaan yang aku miliki,yang membuatku lebih berbeda lagi dengan orang-orang disekitarku. Aku sangat lelah…
Aku memanghampir menyerah kala itu. Terlebih lagi dokter menyarankanku untuk melakukan radioterapi untuk membunuh sel-sel kanker dalam tubuhku. Aku tak bisa bayangkan jika aku menjadi botak atau harus menderita mual-mual sepanjang hari dengan wajah pucat, bahkan jumlah tabungan yang aku miliki apakah itu cukup untuk membayar pengobatan yang super mahal itu. Aku berfikir saat itu mungkin langit menghukumku atas kesalahan-kesalahanku. Aku hanya bisa menangis dan tafakur dalam doa sepanjang malam. Satu hal yang selalu aku inginkan,bahwa aku tak ingin melihat lagi Ibuku berlinang airmata. Ayah sudah meninggalkan kami dengan penyakit yang sama, dan mungkin waktuku hampir tiba. Dan pada akhirnya semua kembali pada ketiadaan.
Bersambung ….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H