Nomor peserta 145
Kasihmu tak pernah lekang oleh waktu
Keindahan senja sama halnya ketika aku menatap wajahmu
yang begitu indah mendamaikan hatiku
Tuhan.. Sungguh besar kuasa-Mu menciptakan perempuan
yang begitu indah sebagai malaikat penjagaku
Tuhan… terimakasih
Engkau melahirkan aku dari rahim seorang perempuan
yang begitu hebat sebagai Ibuku
Bagiku tak ada hal yang membahagiakan dibandingkan jika engkau mempunya keluarga yang utuh, orang tua yang lengkap yang senantiasa menjagamu dalam segenap jiwa,raga serta doanya dan membentuk sebuah keluarga yang sederhana yang selalu dipenuhi canda dan tawa. Setiap anak pastilah memimpikan hal tersebut, begitu juga denganku. Namun kenyataannya aku harus mengubur dalam –dalam impian tersebut,menguburnya bersama impian-impian lain yang ingin aku lakukan bersama Ayah pada hari yang telah Tuhan berikan padaku. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah seorang anak yatim, begitu juga dengan Ibuku yang harus menerima kenyataan bahwa beliau menyandang status janda dengan dua anak. Namaku Dwi, aku biasa dipanggil Dewi oleh orang terdekatku. Aku dilahirkan oleh seorang Ibu bernama Yatni dan Ayahku bernama Istanto. Aku juga mempunyai kakak perempuan bernama Tri. Ayahku meninggal 21 tahun silam pada januari 1993, saat itu usiaku baru 1 tahun dan kakakku 3 tahun. Tak banyak yang bisa kuingat dari sosok Ayah. Ibu hanya sering bercerita bahwa Ayah adalah sosok yang rajin dalam bekerja, rajin beribadah ,juga seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Hanya saja, karena penyakit kanker yang dideritanya, beliau harus lebih dulu menghadap yang Kuasa.
Sepeninggal Ayahku, Ibulah yang menggantikan semua tanggung jawab Ayah. Ya..Ibu mempunyai dua tanggung jawab sekaligus, sebagai seorang Ayah dan sebagai Seorang Ibu untukku. Ibu hanyalah seorang anak petani ulung dikampung, kebanyakan ibu menghabiskan harinya untuk mengurusi kami juga untuk pergi meladang. Semasa kecil aku dan kakak sering rewel, begitulah kata ibuku, aku sering menangis dan minta digedong dan disaat bersamaan kakakku juga minta digendong Ibu. Aku digendong didepan sedangkan kakakku digendong dipunggung belakang. Hingga saat ini aku tak bisa membayangkan betapa lelahnya Ibu saat itu. Selain itu Ibu juga adalah seorang yang sangat bijaksana, beliau selalu memperlakukan hal yang sama diantara aku dan kakak. Ibu berbuat adil kepada kami dalam mencurahkan kasih sayang diantara aku dan kakak. Selain itu Ibu adalah sosok wanita yang sangat rajin, tiap pagi beliaulah yang menyiapkan makanan untuk keluarga kami, termasuk mbah Putri,mbah Kakung dan pamanku yang berusia 12 tahun yang waktu itu pamanku juga dititipkan Ibunya untuk ditinggal merantau di Jakarta. Ibu tak pernah lelah mengurus kami, bahkan jika matahari telah sampai kepermukaan,Ibu berangkat ke ladang dan akan kembali setelah 2 atau 3 jam di ladang. Sedangkan aku dan kakak diasuh oleh pamanku tadi. Ibu sagat khawatir jika lama ditinggal aku akan rewel. Ibu bekerja dengan sangat keras untuk hari esok kami. Ibu tak pernah menyerah atau mengeluh sedikitpun. Beliau selalu bercerita bahwa dulu beliau begitu bersemangat demi aku dan kakak. Ibu mempunyai impian untuk menjadikan hidup kami menjadi lebih baik. Meski tanpa Ayah disisi kami, namun Ibu tak pernah sekalipun berusaha menggantikan posisi Ayah. Aku sangat kagum karena Ibu begitu setia akan cintanya terhadap Ayah. Aku juga yakin, diatas sana Ayah pasti sangat bahagia mempunyai istri yang begitu setia kepadanya.
Menginjak 3 tahun usiaku, Ibu memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Ibu pernah bercerita bahwa saat itu adalah saat paling terberat dalam hidupnya, karena harus meninggalkan aku dan kakak dikampung. Ibu harus menahan kesedihannya demi aku dan kakak, saat itu Ibu tak punya pilihan lain , Beliau sadar bahwa aku dan kakak adalah sepenuhnya tanggung jawabnya. Ketika Ibu merantau, aku dan kakak diasuh oleh mbah Putri dan mbah Kakung. Mbah Kakung sudah seperti Ayah bagiku, karena sepeninggalan Ayah aku selalu memanggil mbah Kakung dengan sebutan Bapak. Dia seperti Bapak bagiku, mbah Kakung dan mbah Putri juga yang membantu Ibu merawatku dan kakak. Ketika itu Ibuku hanyalah bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga disebuah rumah di Jakarta dengan upah dua ratus ribu rupiah per bulan. Upah sebesar itu bagi Ibu memang belum cukup untuk kehidupan kami, hanya saja karena ibuku tak punya pendidikan tinggi, tak ada pekerjaan lain yang bisa Ibu lakukan selain sebagai seorang pembantu rumah tangga. Saat itu belum ada telepon genggam, jika berkirim surat sangat jauh sekali jarak rumah dikampungdan kantor pos. Jadi di awal-awal bulan pertama Ibu rutin dalam sebulan satu kali menjenguk kami dikampung, Ibu sangat khawatir , takut jika aku rewel dan tidak bisa dikendalikan. Karena saat itu aku masih sangat butuh sekali kasih sayang dari Ibu. Hal yang paling membahagiakan adalah ketika Ibu pulang dari Jakarta, aku dan kakak dibelikan baju dan sepatu baru yang sama. Kami seperti anak kembar walaupun dari usia kami terpatut 2 tahun. Aku sangat bahagia saat-saat seperti itu, meskipun Ibu hanya dirumah selama satu minggu saja. Aku bersyukur, saat-saat seperti itulah saat dimana aku diuji oleh Tuhan, aku diajari untuk dewasa dalam hidup ini, untuk tidak mengeluh dalam keadaan seperti itu. Ibu adalah cermin diriku, aku selalu meyakinkan dalam hatiku bahwa, aku harus kuat dan tegar seperti Ibu, berjuang demi perubahan yang baik meski tanpa Ayah disisi kami. Ibu selalu mengajari kami untuk berjuang apapun keadaannya dan tetap semangat, karena didalam hidup, kami harus bisa mengendalikan kehidupan yang kami jalani dan menyeimbangkannya. Ibu adalah malaikat yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Aku tak bisa membayangkan jika Ibu pergi dari dunia ini dan meninggalkan kami. Mungkin separuh jiwaku akan hilang, mungkin hatiku akan sangat terluka bahkan mungkin rasanya luka itu akan sama persis ketika aku dilempar kedalam jurang yang tanpadasar . Bahkan hingga kini aku belum bisa membalas semua yang telah beliau berikan. Bahkan, jika ditukardengan seluruh kehidupan yang aku miliki, itu semua tak akan cukup. Aku belum bisa menjadi anak yang baik untuknya.
Bulan dan tahun telah berganti dan ibu masih tetap berjuang. Ibu adalah pahlawanku, dia yang terhebat dalam hidupku. Ibu berusaha keras untuk bisa menyekolahkan aku dan kakak. Aku hanya bisa membantu Ibu melalui sekolah. Aku belajar dengan tekun untuk bisa mendapatkan beasiswa. Namun aku hanya bisa mendapatkan juara harapan tiga, biasanya aku akan terbebas SPPselama empat bulan. Namun , walaupun hanya sebesar itu pencapaianku Ibu sangat bangga padaku. Pernah pada suatu hari saat Ibu Pulang dari Jakarta, aku meminta beliau untuk menikah lagi. Bukan maksud aku untuk menggantikan posisi Ayah dihati Ibu atau dihati kami, aku hanya ingin agar Ibu bisa bahagia , merasa dilindungi oleh seseorang yang bernama suami, bisa berbagi tugas dan tanggung jawab, dan yang pasti bisa menerima keadaan Ibu yang sudah mempunyai dua orang putri. Saat itu Ibu hanya menatapku dan menangis serta memelukku penuh haru. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat itu. Aku hanya mengira mungkin saja Ibu memang sengaja menyembunyikan keinginannya untuk menikah demi aku dan kakak. Saat itu aku bahagia jika ternyata aku bisa membuka jalan kebahagiaan untuk Ibu. Ibu selalu mementingkan kebahagianku dan kakak, jika kakak tidak setuju Ibu menikah, Ibu juga tak akan menikah. Tapi saat itu kakak juga menyetujuinya dan itu adalah kabar membahagiakan bagi kami.
Selang beberapa bulan, ibu pulang dan membawa seorang lelaki. Saat itu aku berfikir bahwa mungkin itu adalah calon ayahku. Dan benar seperti dugaanku. Selama satu minggu kami bersama, Dia adalah sosok Ayah yang baik , dalam waktu dekat kami bisa saling mengobrol dan bercanda. Aku bahagia sekali saat itu , terlebih lagi karena Ibu. Ibu tak akan menyandang lagi status janda lagi. Tak menunggu waktu lama dalam hitungan bulan Ibu sudah resmi memiliki suami ,sedangkan aku dan kakak telah kembali memiliki Ayah. Iya … kami tak lagi menyandang status sebagai anak yatim, karena kami telah memiliki keluarga lengkap. Aku sangat bahagia, tapi yang lebih penting bagiku saat itu adalah bahwa Ibu tak lagi memikul tanggung jawab seorang diri, karena ada Ayah yang akan mengimbangi semuanya, termasuk tangung jawab terhadap aku dan kakak. Meski dia hanya Ayah tiri, tapi dia begitu menyayangi aku dan kakak seperti anak sendiri. Dan saat itu adalah kebahagiaan bagi kami.
Selesai pendidikan sekolah menengahku , aku dan kakak pindah ke Jakarta bersama Ayah dan Ibu. Ayah memiliki rumah sederhana di Jakarta. Jadi saat itu kami memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Yang terpenting bagiku adalah kebahagiaan Ibu, karena aku hanya bisa mendukung dan mendoakan untuk kebahagiaannya. Sebagai anak aku belum bisa membuatnya bahagia. Meski begitu aku sudah mempunyai daftar panjang dalam hidupku yang ingin bisa aku lakukan bersamanya. Jika didunia ini aku boleh memilih, aku ingin memilih “selamanya” bersama mereka. Sudah menjadi takdir Tuhan jika semua manusia yang diciptakan kelak akan kembali lagi kesisi-Nya, begitu juga dengan Ayah kandungku. Meski Ayah meninggalkan kami, tapi dia selalu dekat disini, dihati kami.
Alm.Ayah, Ibu , Ayah kedua dan kakak, merekalah keluargaku, dan mereka adalah “selamanya” dihatiku.
NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakanlink akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini :http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H