[caption id="attachment_169999" align="alignleft" width="98" caption="dreamcatcher (dari Google Images)"][/caption]
Tobasonakwut akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan pada bulan April 2009. Ia menceritakan semua kisahnya pada Paus dan Paus cukup gemetaran, bersedih dan bersedia mengkompensasi pada apa yang telah terjadi pada Tobasonakwut. Tobasonakwut berkata apakah dia salah kalau dia hanya ingin mempertahankan kebudayaan para leluhurnya? Hal inilah yang akhirnya mendorong Paus untuk meminta maaf dan ketika Tobasonakwut memintanya untuk memberkati sebuah dream catcher*, bulu elang dan pipa rokok yang dibawanya, iapun menyanggupinya. Paus pun menerima bulu elang itu sebagai simbol persaudaraan antara Gereja Katolik dan suku Indian.
Kisah Tobasonakwut sangat mempengaruhi kisah anak-anak dan saudara-saudaranya. Seperti dikisahkan Wab Kinew bahwa dua orang saudara laki-lakinya, keduanya meninggal dengan tragis. Yang pertama bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri dan yang kedua menjadi alkoholik yang mengakibatkan dia meninggal. Saudara sepupu dan keponakan perempuannya juga meninggal dunia karena overdosis alkohol dan obat-obatan terlarang. Katanya," kita memang tidak bisa menyalahkan residential school pada apa yang telah terjadi dalam keluarga saya namun dari pengalaman ayah saya dan kedua saudara laki-laki saya, kita bisa menarik benang merah".
Begitulah sepenggal kisah Wab Kinew, ayah satu anak ini. Ia bahkan tidak berani membayangkan jika putranya mengalami seperti apa yang dialami ayahnya dulu, diambil secara paksa dari keluarganya dan tidak pernah bisa melihatnya lagi. Trauma itu sungguh mendalam baginya dan bagi suku Indian lainnya yang menjadi korban kekerasan fisik di residential school beberapa waktu silam. Banyak sekali pengalaman serupa yang dituturkan oleh orang-orang Indian pada acara Truth and Reconciliation. Pada akhirnya mereka menjadi seorang alkoholik, pecandu obat-obatan terlarang, gang affiliation dan banyak remaja putri Indian yang mempunyai anak di usia masih sangat muda.
Sebuah cerita tragis juga mengenai Gereja Katolik karena mereka melakukan semua hal itu. Tidak heran jika banyak masyarakat North America yang mulai kehilangan kepercayaan pada Gereja Katolik. Banyak sekali suku aboriginal yang masih menderita saat ini, banyak sekali dari mereka yang berada di garis kemiskinan. Jika dasar ajaran Christianity adalah kasih seperti yang diajarkan Yesus, mengapa pengikutnya yang menamakan diri mereka Katolik harus melakukan semua itu? Sekali lagi semua ini bukan masalah agama dan ajaran agama, sekali lagi ini adalah masalah human capitalism dan penyimpangan gereja pada saat itu karena terlalu ikut campur dalam masalah pemerintahan. Kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan bukanlah kehendak Tuhan dan itu sesungguhnya adalah kehendak manusia yang mengatasnamakan Tuhan.
Acara Truth and Reconciliation ini juga nantinya akan dilanjutkan dengan healing program. Meskipun berat namun saya senang jika pada akhirnya perdamaian tercipta antara suku Indian dan Pemerintahan Canada saat ini. Saya berharap semoga suku Indian dapat belajar dari Wab Kinew dan Tobasonakwut ayahnya, dimana mereka berhasil mengembangkan diri mereka, menyembuhkan diri mereka dari trauma (meskipun itu sangat sulit) dengan berjuang mencapai kesejahteraan yang memang seharusnya mereka dapatkan di tanah mereka sendiri. Mereka dapat memanfaatkan beberapa privileges yang telah Pemerintah Canada berikan kepada mereka bahkan untuk kaum Metis (baca; Meti) yaitu generasi keturunan campuran antara European (biasanya French yang menduduki Canada lebih dulu sebelum Inggris) dan kaum aboriginal.
*adalah sebuah souvenir yang menjadi simbol bagi suku Indian yang terbuat dari bambu berbentuk lingkaran kemudian dibuat menyerupai jaring laba-laba dengan hiasan bulu burung di bawahnya. Souvenir ini dipercaya berfungsi menangkap mimpi buruk dan menyimpan mimpi yang baik untuk selanjutnya menjadi kenyataan. Oleh karena itu biasanya dreamcatcher ini digantungkan di kamar tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H