Mohon tunggu...
Dandelion
Dandelion Mohon Tunggu... -

a dreamer, an explorer, and a human, of course. :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Bila Kita Termasuk yang "Biasa-Biasa Saja"?

24 Mei 2016   16:38 Diperbarui: 26 Mei 2016   10:38 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, apa kalian mengenal pria ini?

Pria ini bertubuh sixpack dengan wajah tampan rupawan. Ia penemu sekaligus pengusaha. Seorang milyader dunia. Segala teknologi paling canggih ia miliki. Mobil sport, kapal pesiar, hanyalah mainan sehari-harinya. Seluruh dunia mengenalnya. Bila ada yang membutuhkan pertolongan, ia akan segera datang. Siapa dia? Hehe.. beberapa dari kalian berhasil menebaknya. Yup, dia adalah Batman.

Bagaimana dengan yang ini?

Ia adalah seorang gadis muda yang amat cantik jelita. Ketika ia turun dari kereta kencananya, berbalut gaun megah, semua mata tertuju padanya, terkagum-kagum pada parasnya yang rupawan. Bahkan dua saudara tirinya sampai tidak mengenalinya, ketika akhirnya Pangeran hanya berdansa dengannya sepanjang pesta hingga tengah malam tiba. Hehe.. cukup. Sudah ada yang berhasil menebaknya. Yup, gadis cantik ini adalah Cinderella.

Apa kesamaan dari dua ilustrasi di atas?

Ya, keduanya begitu sempurna luar biasa. Si pria terlihat amat luar biasa dengan ketampanan yang diiringi gemerlap kecanggihan teknologi dan kekuatan supernya. Sementara, si wanita terlihat amat menawan karena parasnya yang tiada tara dengan gaun mewahnya yang cantik. Seolah inilah standar kesempurnaan itu. Yang tidak seperti itu, biasanya disebut 'biasa-biasa saja'.

Sayangnya, di dunia ini tidak ada yang sesempurna itu. Kalaupun ada, itu mungkin hanya sekitar 1% dari jumlah populasi dunia. Namun, dari ilustrasi di atas, terlihat sekali manusia ternyata amat mendambakan sesuatu yang ideal, sempurna, luar biasa. Buktinya, tokoh-tokoh fiksi di atas banyak sekali dibuat manusia, dari mulai film, kartun, hingga cerita dongeng, bertebaran dalam hidup manusia. Sebutlah, Edward Cullen, Superman, Spiderman, P-Man, Ninja Hatori, Sailor Moon, Doraemon, loh-loh, lama-lama kok jadi film anak-anak semua, hehe.

Lalu, apa efek dari naluri manusia untuk menjadi ideal, sempurna, luar biasa, dan terbaik ini?

Ya, seperti judul di atas, akan ada sisa dari 1% manusia -kita sebut saja 'terbaik', yakni 99% manusia -kita sebut saja 'biasa-biasa saja', yang pastinya berpotensi untuk merasa iri, galau, merana, hingga garuk-garuk pasir bila mulai membandingkan diri mereka dengan manusia-manusia 'terbaik' tersebut. Eeh, berlebihan ya? Hee.

Aduh, bahaya sekali dong melihat 99% orang merana atau minimal merasa hidup mereka kurang sempurna?

Tetapi, sebagian orang yang saya amati sih, malah terlihat lebih semangat dalam hidup ketimbang orang-orang yang di mata saya, sudah sempurna. Misal, si hitam, karena mengetahui standar kecantikan ideal itu adalah yang putih, dengan segala cara akan membuat kulitnya menjadi putih. Atau, si fakir, untuk membuktikan dirinya juga bisa seperti orang-orang gedongan itu, akan sibuk mencari celah pemasukan, menghitung pundi-pundi, dan berusaha melengkapi diri dengan segala yang bisa membuat mereka terlihat seperti orang-orang yang mereka jadikan standar ideal itu.

Jadi, berarti baik ya motivasi hidup untuk menjadi ideal itu? Atau kalimatnya sedikit diubah, berarti baik bila menjadi 'biasa-biasa saja' sehingga dengannya, kita bisa lebih bersemangat mencapai hidup yang ideal?

Ya, sepertinya menjadi 'biasa-biasa saja' mulai terlihat dampak positifnya, walaupun, kalau mau jujur, 'biasa-biasa saja' biasanya hanya akan diterima ketika seseorang gagal dalam usahanya menjadi luar biasa atau terbaik.

Bila melihat berbagai hal-hal luar biasa yang berseliweran di media sosial, seseorang yang belum berhasil sampai pada taraf yang dilihatnya, pertama, minimal akan tumbuh keinginannya untuk mengikuti atau meniru. Yang kedua, bila sudah berkali-kali mencoba, tapi ternyata masih gagal jua, barulah, yang ketiga, berusaha menerimanya dengan ikhlaaaas (ikhlasnya pake banget) dan lapang dada, sambil melirik alternatif lain yang bisa diikuti untuk menjadi 'luar biasa'.

Pesatnya media sosial memang ada kalanya menciptakan standar baru dari 'luar biasa' itu sendiri. Standarnya sebenarnya sederhana, hal apapun yang tidak bisa dilakukan orang lain atau minimal sulit ditiru, berarti hal tersebut sudah masuk standar luar biasa. Lihat saja satu contoh video berikut :

Saya yakin, mata anda tidak berkedip selama melihat video ini, seolah mengatakan, "Wow, wow, luar biasa!". Sekilas sempurna sekali video ini. Namun di balik kesempurnaan yang diperlihatkan, kita semua tahu, sebenarnya dalam pembuatannya, banyak sekali proses penyuntingan dan pengulangan adegan hingga tercapai adegan yang 'perfect'. Pun, dalam setiap adegannya, tidak bisa dipungkiri, dibutuhkan latihan yang amat panjang dan keras hingga terkadang, adakalanya, kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik pernah dialami. Tetapi, begitulah media sosial, bagi si penonton, kita sering lupa fakta ini, dan bagi si pembuat video, ketika pada akhirnya, bisa menampilkan sisi terbaik dari dirinya, semua pengorbanan tersebut rasanya terbayar lunas. Malah kembali mungkin.

Jadi, apa akhirnya dengan bantuan media sosial, naluri manusia menjadi 'terbaik' sudah tersampaikan?

Yaa, untuk yang akhirnya berhasil mencapai sisi terbaik itu untungnya manjadi tersalurkan ketika orang lain bisa melihatnya juga. Namun, kita kembali ke judul, bagaimana dengan orang yang 'gagal' meniru apa yang dilakukan orang-orang-orang 'terbaik' itu? Yang setelah merana, mulai melabelkan diri "Baiklah, saya memang biasa-biasa saja, tidak punya kelebihan apa-apa, hiks.. hiks.." *sambil berdiri di atas menara eiffel.

Eeh, disini mungkin sisi negatifnya. Layaknya dua sisi mata koin, media sosial juga memiliki dua sisinya, membuat yang hebat semakin hebat dan membuat yang kurang 'hebat' semakin terpuruk. Padahal, dengan adanya media sosial, standar hebat versi manusia menjadi amat sangat relatif atau subjektif sifatnya.

Maksud saya, sebenarnya, bagi yang telah berhasil menampilkan sisi 'hebat'nya di media sosial, tidak perlu merasa menang, karena kehebatannya itu sifatnya tidak abadi alias sementara, hanya pada momen tertentu dan bidang tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang 'hebat' ini tetap menjalani kehidupannya dengan 'biasa-biasa saja'. 'Biasa-biasa saja' disini akhirnya dimaknai sesuatu yang bisa dilakukan siapa saja atau umum dilakukan, ya tidur, makan, berjalan, berbicara, dsb. Begitu juga dengan yang merasa kurang 'hebat', tidak semua yang kamu pikir terlihat hebat itu sebenarnya cocok untuk diikuti atau dijadikan standar. Bisa jadi kamu punya sisi 'terbaik'mu sendiri yang saking sibuknya mengikuti orang, malah jadi tidak terasah. Seperti halnya kamu tidak bisa memaksa burung elang yang gagah di angkasa untuk berenang layaknya paus di lautan, dan sebaliknya.

Ya, saya percaya, setiap orang itu sudah sempurna dan terbaik dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tinggal bagaimana mengolahnya. Apalagi dalam agama saya, Islam, ada perkataan Allah yang menyatakan, "Manusia adalah sebaik-baik penciptaan", jadi, mustahil alias tidak mungkin, manusia diciptakan hanya dengan keburukannya saja. 

Daaan, mengingat Allah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi setiap ciptaan-Nya, ada baiknya, kita juga mulai berefleksi, apakah standar baik-buruk yang diyakini selama ini sudah sesuai atau sama dengan standar baik-buruk yang ditetapkan Allah atau belum. Karena bila selama ini ternyata kita mengejar standar yang salah, akan sia-sia sekali hidup yang hanya sekali dititipkan kepada kita. Sudah di dunia tidak berhasil bahagia, di kehidupan akhir yang sebenarnya alias akhirat, lebih sengsara lagi. Mudah-mudahan kita tidak termasuk ya. Aamiin.

Baiklah, sebelumnya, mari kita tilik, kehidupan orang-orang yang katanya sudah berhasil mencapai standar hidupnya di dunia. Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, misalnya. Bila kekayaan bisa membuat seseorang bahagia, ia tentu tidak akan menabrakkan dirinya ke kereta api. Michael Jackson, penyanyi terkenal dari Amerika. Bila menjadi terkenal bisa membuat seseorang bahagia, ia tentu tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis. Marlyn Monroe, artis cantik dari USA. Bila menjadi cantik bisa membuat seseorang bahagia, ia tentu tidak akan meminum alkohol dan obat depresi hingga overdosis juga.

Gambaran kehidupan ini tentu bukanlah gambaran manusia keseluruhan dan tidak bermaksud menghalangi seseorang untuk mencapai hal-hal di atas. Toh, beberapa hal di atas juga Allah perintahkan untuk dicapai. Namun, di atas standar-standar tersebut masih ada standar yang lebih baik. Apa itu? Standar akhirat. Bila kita bisa berusaha sampai pada standar akhirat, kenapa harus cukup puas hanya sampai pada standar dunia saja? 

Lalu, apa saja memang standar yang ditetapkan Allah untuk manusia capai agar di dunia dan akhiratnya bisa menjadi yang terbaik dan bahagia?

Ada 8 yang berhasil saya temukan dengan keyword "Sebaik-baik manusia", dan kedelapan standar ini ternyata lebih memungkinkan untuk diikuti semua umat manusia. Iya sih, tentu saja, sebagai pencipta sekaligus pemelihara, Allah tidak mungkin membebani manusia melebihi kemampuannya. Terkadang Allah juga hanya ingin menguji hambanya ketika memberikan kelebihan pada sebagian orang, sebagaimana yang dinyatakan berikut:

"... dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu terkait apa yang diberikannya kepada kamu" (QS Al-An’am: 165).

Jadi, pada akhirnya Allah hanya ingin melihat sejauh mana usaha manusia untuk menjadi yang terbaik. Insya Allah, tidak akan rugi bila yang dikejar adalah standar dari yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik. Adapun kedelapan standar tersebut ialah :

Pertama, yang paling baik dalam melunasi hutang

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kedua, yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya

Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya.” (H.R. Bukhari)

Ketiga, yang paling diharapkan kebaikannya dan paling jauh keburukannya

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan sedangkan keburukannya terjaga…” (H.R Tirmidzi)

Keempat, menjadi suami yang paling baik terhadap keluarganya

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam berasabda: “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya..” (H.R. Tirmidzi)

Kelima, yang paling baik akhlaqnya dan menuntut ilmu

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian islamnya adalah yang paling baik akhlaq jika mereka menuntut ilmu.” (H.R. Ahmad)

Keenam, yang memberikan makanan

Hamzah bin Shuhaib meriwayatkan dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.” (H.R. Ahmad)

Ketujuh, yang panjang umur dan baik perbuatannya

Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” beliau menjawab: “Siapa yang paling panjang umurnya dan baik amalannya.” (H.R. Tirmidzi)

Kedelapan, yang paling bermanfaat bagi manusia

“Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Jadi, tunggu apa lagi, selama masa berlaku kita belum berakhir di dunia (eh, emangnya kartuuu :p), belum terlambat bila kita mau mengubah haluan arah tujuan kita. Insya Allah bila semua yang dilakukan di dunia orientasinya sudah untuk mencapai hal-hal di atas, sisi terbaik atau potensi luar biasa dari diri kita akan tercapai dengan maksimal, karena hidup telah selangkah lebih berkah.

Kalo kata Pak Professor Rhenald, 

"Tak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga". 

Juga sebuah quote dari Nike, 

"The truth is greatness is for all of us. This is not about lowering expectations, its about raising them for every last one of us. Because greatness is not in one special place, and it is not in one special person. Greatness is wherever somebody is trying to find it." 

Artinya,

"Faktanya, menjadi terbaik atau luar biasa adalah milik semua orang. Menjadi terbaik bukan tentang menurunkan standar atau ekspektasi, tapi menjadi terbaik berarti memperjuangkannya hingga sisa-sisa terakhir yang kita miliki. Karena menjadi terbaik bukan hanya untuk yang berada di tempat 'spesial' atau untuk orang tertentu yang 'spesial'. Menjadi terbaik atau luar biasa bisa dicapai oleh siapapun yang berusaha untuk mencapainya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun