Mohon tunggu...
Dandelion
Dandelion Mohon Tunggu... -

a dreamer, an explorer, and a human, of course. :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagia Itu Apa?

23 Oktober 2015   13:54 Diperbarui: 25 April 2016   15:17 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAHAGIA ITU APA?

Beberapa waktu lalu, usai berjama'ah, salah seorang teman tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan yang tak lazim ke tiap orang di sekitarnya. Rupa-rupanya, kalimat pertanyaan yang didengar dari ustadz favoritnya semalam, Bapak Fairuz Malaya, masih terngiang-ngiang di benaknya. "Menurutmu, bahagia itu apa" tanyanya. Satu per satu. Namun, hampir semua yang ditanya masih menganggap pertanyaan tersebut tak serius, jadi ketimbang menjawabnya, sebagian hanya tersenyum atau menjawab sekedarnya.

Padahal, tanpa perlu ditanya, setiap orang pasti mendambakan hidup bahagia, namun nyatanya, bahagia itu memang bukan sekedar kata, melainkan rasa. Sulit untuk didefinisikan, namun sangat jelas terasa ketika ia datang. Bahagia itu juga sifatnya relatif berbeda-beda bentuk dan waktunya bagi setiap orang.

Bagi seseorang yang memiliki banyak keinginan dalam hidupnya, dari mulai ingin memiliki teknologi terbaru, kendaraan dan rumah yang bagus, wajah yang rupawan dengan postur tubuh ideal, sampai ingin pergi ke luar negeri, momen memiliki hal-hal di atas akan menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.

Bagi seseorang yang mendambakan keluarga ideal, memiliki seorang pasangan yang penyayang lagi setia, apalagi ditambah anak-anak yang menyenangkan hati, kebahagiaannya mencapai puncaknya ketika hal-hal di atas bisa terwujud.

Bagi seseorang yang senang meraih posisi yang lebih baik dalam pekerjaannya, merasa dihargai dan dihormati dengan posisinya yang terus menerus mencapai puncak, akan mengatakan bahagia itu ketika diri sudah berada di puncak karir, lalu apa yang diinginkan dapat dipenuhi dengan mudah.

Bagi orang-orang yang definisi bahagianya meliputi hal-hal di atas, bahagia baru bisa dirasa ketika hal-hal yang diinginkan di atas dapat diperoleh, entah bagaimana caranya. Namun, bagaimana bila hal-hal tersebut tak kunjung didapatkan? Atau apakah sudah pasti setelah mendapatkan hal-hal di atas -teknologi, kendaraan, rumah, pasangan, anak, jabatan, seseorang lantas merasa bahagia? Atau belum cukup sampai bahagia di hal-hal tersebut, ia akan membuat definisi baru lagi untuk diraih, sampai ia merasa bahagia lagi dan lagi? Lalu apakah berarti bahagia itu perlu diperjuangkan terus menerus melalui pencapaian hal-hal yang diinginkan? Berarti pencapaian yang satu akan terus membawa pada pencapaian yang lain. Kalau disimpulkan begini, terdengar melelahkan sekali ya jalan menuju bahagia itu? hee.

Berbeda lagi, bagi seorang pelajar, bahagia itu adalah ketika tidak ada tugas yang membuat stress selama seminggu saja, hee.. atau ketika bel istirahat penyelamat berbunyi, atau juga ketika diumumkan "anak-anak, besok sekolah libur". "Yeaaaay.." sorak-sorak pun terdengar seantero jagad tanpa dikomando.

Atau bagi seorang yang terjebak dalam lilitan hutang, yang sehari-harinya, pikirannya harus berkutat bagaimana cara melunasi hutang, padahal masih banyak kebutuhan lain yang mendesak, terlebih bila tanggal jatuh tempo menambah bunga dari hutang tersebut, tentu akan bahagia sekali bila tanpa disangka-sangka hutang-hutangnya bisa lenyap seketika "Tring" entah bagaimana caranya. Mau ada uang jatuh dari langit atau tiba-tiba ada malaikat berwujud manusia yang berbaik hati melunasi hutangnya, atau tiba-tiba si pemberi hutang merasa iba, "Kasihan, semenjak berhutang pada saya, kamu semakin kurus dan botak". Macam-macam lah caranya.

Berbeda lagi dengan seseorang yang memiliki memori di masa lalu yang ingin dilupakan, bahagia menurutnya tentu adalah ketika ia dapat berdamai dengan kenyataan, bisa tidak 'baper' bila melihat atau mendengar hal-hal yang mudah menarik ingatannya, bisa tersenyum menikmati masa kini dan menatap masa depan tanpa perlu terus dihantui memori masa lalu.

Bila dilihat dari ketiga definisi ini, bahagia bisa disimpulkan sebagai rasa tenang, damai, tenteram, dan tanpa beban, sedamai menyeruput teh hangat di pagi hari dengan nuansa alam dan kicauan burung yang menemani. Mm.. nikmatnya. Namun, apakah ketika manusia tidak memiliki masalah yang membebani, manusia akan selalu merasa bahagia? Dan berarti, apa setiap kali alasan untuk tidak bahagia itu muncul (tugas menumpuk, tidak ada uang, memori masa lalu) maka saat itu pula, manusia akan selalu merasa tidak bahagia alias bersedih? Kebahagiaan versi ini sepertinya digantungkan kepada hal-hal yang dialami diri pribadi. Bila ia mengalami hal yang menyenangkan, ia bahagia, namun sebaliknya, bila tidak, ia tidak bahagia. Begitukah? Akan tetapi, bisa dilihat pula dari ketiga definisi itu, rasa bahagia ternyata bisa lebih terasa setelah seseorang pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, seperti pernah dengar tidak, ada pepatah, "manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang." Jadi, ada baiknya juga Allah membuat manusia merasakan hal-hal berkebalikan, selayaknya ia menciptakan hal-hal secara berpasangan: matahari-bulan, siang-malam, gelap-terang, hujan-pelangi, kesedihan-kebahagiaan, aku-kamu. #eh :p

Dalam kasus lainnya, ada juga sebagian orang yang senang menantang diri, menjemput dan memunculkan masalah untuk diperbaiki seraya meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik.
Bagi seorang pelajar yang ambisius, woo.. biasanya dijuluki 'pemburu nilai' misalnya, ia akan senang diberi materi yang sulit, rasa penasaran ia nikmati, dan ketika menemukan jawabannya, bahagianya semakin bertambah tambah, karena baginya, dengan begitu, prestasinya bisa didongkrak dan pengetahuannya pun bertambah.

Atau bagi seorang seniman atau pekerja proyek, ketika datang proyek-proyek dari klien, sesulit apapun, demi profesionalitas dan menjunjung tinggi kreativitas, "Merdekah!" mereka akan terus berusaha mencari ide, menemukan pemecahan terbaik untuk memenuhi harapan klien. Ketika klien puas dengan hasilnya, maka mereka pun bahagia, rasa yang tidak tergantikan oleh bayaran tertinggi sekalipun. Tapi ya kalo dibayar tinggi juga ga nolak, hee.

Dengan begitu, bahagia bisa juga berarti sebuah rasa puas. Puas ketika usaha bertemu dengan solusi, puas ketika kesulitan bertemu dengan kemudahan. Lalu, apa berarti sebaliknya, ketika usaha tidak kunjung bertemu dengan solusi dan ketika kesulitan tidak kunjung bertemu dengan kemudahan, kebahagiaan akan berubah menjadi kesedihan? Atau misal pun, masing-masing sebenarnya sudah menghasilkan hasil yang maksimal, namun karena standarnya yang digunakan lebih tinggi dari hasil yang diperoleh, maka apakah mereka tetap tidak akan merasa puas dan bahagia sampai standarnya yang tinggi itu terpenuhi? Kebahagiaan versi ini sepertinya terpenjara oleh standar tinggi yang mereka buat sendiri. Ckckck..

Namun, ada juga yang tidak mengejar kebahagiaan, tidak jarang tidak berbalas, pun tidak dihargai hasil usahanya, kelelahan sering menjumpainya, namun kesederhanaannya mengupayakan sesuatu untuk orang lain malah memberikan kebahagiaan tersendiri baginya.

Seperti seorang ibu, sudah sangat merasa bahagia hanya dengan mendengar tangis pertama bayinya setelah 9 bulan membersamainya siang dan malam, mengetahui bayi kecilnya sehat, melihatnya belajar berjalan untuk pertama kalinya, berlari dan mulai bisa menyebut namanya. Apalagi bila bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, memasakkan makanan untuknya, melihatnya menyantap makanan dengan lahap, mengetahui bayi kecilnya terus tumbuh besar sehat hingga dewasa, dan pada akhirnya tetap merasa bahagia ketika tiba saat si anak menapaki kehidupan barunya sebagaimana yang dahulu Bapak Ibunya lakukan, walau itu berarti harus mengikhlaskan diri untuk melepasnya, mengijinkannya membangun kebahagiaannya bersama keluarga kecil barunya.

Atau seorang guru yang memilih untuk mendidik anak-anak di tempat-tempat terpencil, tak terjamah modernitas, jauh dari teknologi dan peradaban, apalagi jaminan kehidupan yang memadai, namun, baginya, melihat anak-anak didiknya bisa tersenyum semangat meraup lautan ilmu yang ditawarkan, hingga menjelma menjadi pribadi yang luhur, apalagi hingga mampu meneruskan perjuangan sang guru, memperluas kebermanfaatan diri bagi lingkungan, benar-benar lebih dari cukup menyelusupkan rasa bahagia tak terkira bagi sang guru.

Sungguh mengetahui ada kebahagiaan semacam itu membuat saya tidak bisa berkata-kata. Saya hanya bisa berharap dan berdo'a semoga orang-orang yang fokus hidupnya untuk kebahagiaan orang lain bisa terus diliputi rasa bahagia sepanjang hidupnya, karena pengorbanan dan rasa ikhlasnya mampu mengubah segalanya menjadi kebahagiaan. Tidak terbayang bagaimana bila orang-orang seperti ini kehilangan orang yang membuatnya menyerahkan seluruh hati dan hidupnya untuk orang-orang yang mereka sayangi? Atau bagaimana bila perlakuan yang mereka dapatkan berbanding terbalik dengan ketulusan mereka dalam melayani, seperti anak-anak yang malah berlaku kurang ajar atau durhaka? Apakah wajah kesedihan harus pula menjumpai mereka? Bisakah mereka tetap ikhlas menerima apapun hasil perjuangan mereka?

Ya, akhirnya saya menyadari bahwa mereka bisa tetap bahagia bila menyadari bahwa seisi bumi berikut segala hal yang terjadi di dalamnya, baik yang terlihat maupun tidak, merupakan kuasa Sang Pencipta, Allah. Setiap jiwa adalah milik-Nya, dalam pemeliharaan-Nya, dan akan kembali pada-Nya pada waktu yang telah ditentukan. Segala sesuatunya, kebaikan sekecil apapun akan dibalas oleh-Nya karena Ia adalah sebaik-baik pemberi balasan di dunia dan di akhirat.

Akhirnya dengan melihat segala pemberian-Nya yang sampai detik ini masih terus mengalir tanpa saya minta dan seringkali lupa saya syukuri, saya menyadari bahwa sesungguhnya tidak layak bagi saya untuk bersedih, mengeluh, apalagi meminta lebih. Ketika pagi ini saya masih diijinkan membuka mata, ketika jiwa saya masih dikembalikan kembali kepada saya setelah di malamnya, saya diijinkan untuk mengistirahatkan tubuh titipan-Nya, ketika saya bisa kembali menghirup oksigen tanpa perlu membayar atau berupaya lebih, ketika seluruh organ tubuh saya -otak, mata, tangan, kaki, dan banyak lagi- masih dititipkan untuk saya gunakan, ketika saya masih diberi tempat untuk berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya malam, ketika perut yang dititipkan-Nya masih bisa diisi dengan makanan dan minuman pemberian-Nya, saya jadi semakin malu untuk tidak mengisi hari-hari pemberian-Nya untuk hal-hal terbaik. Saya pun akhirnya menyadari sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara, tentu Allahlah yang paling mengetahui apa-apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya, maka sudah sepatutnya saya berusaha memahami apa saja yang Allah sukai dan ingin saya melakukannya, apa saja yang tidak Allah sukai dan ingin saya menjauhinya, karena sejatinya, semua itu adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan saya sendiri.

Ampunilah hambamu yang baru menyadari ini, ya Allah. Ampunilah hambamu yang masih saja tidak amanah menjaga diri bahkan meyakitinya, sehingga menjadi gelap hidup hamba. Maka, sungguh menyedihkannya hamba bila Engkau tidak memberi jalan dan cahaya-Mu pada hamba selama di dunia. Ambillah kembali hamba pada saat iman terbaik hamba pada-Mu, janganlah ketika hamba lupa ataupun ingkar pada-Mu. Ijinkan hamba untuk menjadi hambamu yang senantiasa mengingat-Mu, pandai mensyukuri nikmat-Mu, dan mampu terus memperbaiki diri dari hari ke hari. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do'a. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun