Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... Engineer -

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

''Are You Happy?''

3 Januari 2018   19:37 Diperbarui: 6 Januari 2018   11:56 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbang sendiri mencari kebahagiaan (Migrasi Burung di Nagano.Dokumentasi Pribadi)

Pencarian terkadang adalah proses panjang yang berliku (Oze National Park. Dokumentasi Pribadi)
Pencarian terkadang adalah proses panjang yang berliku (Oze National Park. Dokumentasi Pribadi)
GDP bukan segala-galanya

Sebuah survei tentang perasaan "bahagia" juga dilakukan oleh perusahaan research WIN Gallup di tahun 2016, dimana hasilnya menempatkan negara Fiji sebagai negara yang penduduknya mepunyai tingkat perasaan bahagia terbanyak di dunia. Ssttt, di hasil survei yang sama, ternyata Indonesia menempati urutan 5 besar lho. 

Sayangnya, saya tidak berhasil menemukan di laman mereka, bagaimana cara mereka atau apa yang ditanyakan (kriteria "bahagia" nya apa) dalam survei.

Namun yang pasti, GDP sebagai ukuran kemakmuran suatu negara, tidak berbanding lurus dengan rasa "bahagia" yang bisa dirasakan oleh penduduk negara tersebut, setidaknya dari data hasil survei diatas. Negara2 seperti Amerika, dan negara maju yang lain di Eropa termasuk Jepang yang mempunyai GDP tinggi, hanya bertengger di tengah2 dalam hasil survei dari WIN Gallup, "dikalahkan" oleh negara2 berkembang.

Tapi, ada berita menarik dari Nikkei di akhir tahun lalu yang menyebutkan bahwa di tahun 2050 nanti, GDP Indonesia akan naik pesat dan menduduki peringkat 4 dunia melebihi Jepang ! 

Kalau itu terjadi, lalu bagaimana hasil dari WIN Gallup di tahun tersebut (jika survei diadakan lagi) nantinya ? Akankah rasa "kebahagiaan" orang akan berkurang dan peringkat Indonesia akan turun di hasil survei itu nantinya ? Kita tunggu saja.

Perubahan pola hidup masyarakat

Perasaan bahagia (shiawase) di Jepang, juga mengalami perubahan secara signifikan. Di akhir era Showa dan awal era Heisei, biasanya orang Jepang senang untuk berkumpul dan bergembira dengan kelompok orang dalam jumlah besar.

Seperti misalnya pergi ke karaoke bersama, atau makan bersama dengan lebih dari 10 orang. Di akhir era Heisei (catatan : April 2019 Kaisar Jepang yang sekarang akan lengser dan nama Heisei juga akan berganti), orang lebih senang dan merasa bahagia kalau sendirian, misalnya bertamasya sendirian, karaoke sendirian dan makan sendirian. 

Hal ini tentunya juga diantisipasi oleh pelaku bisnis, sehingga saat ini di situs2 pemesanan tamasya (akomodasi), penyedia jasa meng-iklankan besar2-an dan terkadang memberikan korting untuk orang yang akan berpergian sendiri. Juga di tempat2 karaoke, bahkan di tempat2 makan yang biasanya orang makan beramai2 seperti menikmati shabu2 atau yakiniku, sekarang tidak jarang restoran menyediakan kursi untuk orang yang datang sendirian.

"Ohitorisama" adalah istilah bahasa Jepang bagi orang yang melakukan segala sesuatunya sendiri (an), misalnya pergi ke restoran, tempat hiburan, dll. Istilah ini pernah dipilih sebagai salah satu kandidat istilah yang populer di Jepang beberapa tahun yang lalu. Pilihan kenyamanan atau merasa lebih "bahagia" jika sendiri, juga bisa dilihat dari angka tanshinsetai (orang yang memilih untuk hidup sendirian, tidak kawin selamanya) yang meningkat dari tahun ke tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun