Memang sih rasanya enak sekali kalau di musim yang bikin keringetan seperti ini, kita (saya) menyantap makanan yang pedas. Sensasinya memang beda banget. Apalagi setelah berkeringat dan mulut agak berasa "tebal" karena kepedesan lalu minum es serut, atau coke atau bir dingin. Wah, surga dunia :)
Musim panas seperti sekarang adalah musim "surga" bagi saya dan bagi orang Jepang  yang hobinya makanan pedas. Karena kalau musim panas, akan ada banyak festival, mulai dari festival musik, kembang api, tari-tarian, sampai ada juga beer garden.
Di tempat-tempat seperti ini ada banyak warung tenda yang bisa ditemukan, dan yang pasti akan ada yang jual makanan pedas, entah itu ramen, sosis pedas, dan lainnya. Lalu di restoran yang biasanya nggak menyediakan makanan pedas-pun, khusus musim panas mereka kadang menyediakan menu makanan yang rasanya pedas.
Kita kembali ke judul lagi. Kalau dilihat dari sejarah, walaupun orang Jepang nggak suka makanan pedas, namun cabai sebagai unsur utama untuk makanan yang pedas ini sebenarnya sudah ada dan dikenal di Jepang sejak lama.Â
Sejarah Cabai
Cabai pertama kali masuk ke Jepang sejak tahun 1500-an. (Sumber)
Ada 3 versi mengenai bagaimana cara masuknya cabai ke Jepang. Pertama, ada yang mengatakan cabai masuk bersamaan dengan masuknya labu yang dibawa oleh pedagang dari Portugis sewaktu masuk ke Jepang di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Prefektur Oita di Kyushu. Kedua, ada yang bilang bahwa cabai dibawa oleh Toyotomi Hideyoshi, yang dibawa sekembalinya dia berperang di semenanjung Korea. Versi terakhir, ada yang bilang cabai dibawa oleh pedagang Eropa (Spanyol, Portugis) bersamaan dengan masuknya rokok ke Jepang.
Catatan tentang cabai sudah bisa ditemukan di buku teknik pertanian yang diterbitkan di tahun 1680-an. Bahkan di era Edo, sudah ada penjual cabai (bubuk) yang berkeliling, yang sempat dilukis oleh pelukis Ukiyoe ternama bernama Hokusai. Karena cara pengembangbiakan yang mudah, maka di jaman ini pula banyak dibuka ladang cabai, mulai dari  Tokyo sampai ke barat daerah Fushimi di Kyoto.
Di Tokyo pada saat itu ada toko bernama Yagenbori  yang menjual campuran bubuk cabai kering dengan wijen hitam, dan biji-bijian lain yang dicampur sehingga berjumlah 7 macam yang disebut shichimi tougarashi (shichi :tujuh, tougarashi :cabai ). Shichimi  tersebut pada mulanya bukan digunakan sebagai bumbu, namun dipergunakan sebagai obat. Sebagai catatan untuk toko Yagenbori, walaupun sudah lebih dari 350 tahun sejak berdirinya, tapi toko ini sekarang masih ada lho. Kalau berminat dan ada kesempatan, pembaca bisa menemukan toko ini di daerah Asakusa.
Cabai sebagai bumbu pedas
Kemudian berangsur-angsur cabai bertransformasi dari sekedar obat, lalu mulai dipergunakan sebagai bumbu. Namun rasa pedas cabai yang digunakan pada makanan hanya sebatas pelengkap. Jadi bisa dibilang tidak terasa pedasnya. Mungkin kalau ada rasa pedas ada dari level 1 sampai 10 (yang super pedas), maka tingkatan pedasnya ada di sekitar level 0.5 s/d 1.