Dulu waktu pertama kali saya datang di Jepang, saya nggak begitu suka makan makanan Jepang. Plus, butuh waktu beberapa saat untuk terbiasa memakannya.Â
Sebutlah sushi, sashimi, lalu udon dan osoba. Terutama untuk makanan yang mentah-mentah, baru ngeliat bendanya aja udah nggak "tega". Apalagi untuk memakannya. Maklumlah ndeso puooll, jadi lidah agak susah diajak kompromi untuk makan sesuatu yang asing dan baru, terutama karena bentuk dan juga rasanya.
Apalagi pas makan di "warteg" Jepang. Makanannya itu rasanya di lidah cuma asin, asin dan asin. Kalau lagi hoki, kadang ya nemu makanan yang ada manis-manisnya walaupun sedikit. Maklum deh, waktu itu belum tau apa dan gimana (misalnya apa aja bumbunya) makanan Jepang dari nama di menu-nya. Pokoknya asal masuk warung, dengan pedenya langsung pesen makanan aja karena rasa lapar. Padahal kemampuan bahasa Jepang juga pas-pas'an, sambil celingak-celinguk sana-sini liat menu (bukan cicak) di dinding atau yang ditulis dikertas di atas meja.
Makanan favorit saya waktu itu adalah ayam digoreng pakai terigu (kara-age). Selain ayam adalah makanan yang sudah saya kenal, rasanya tepungnya itu lho, crispy  banget. Makanan yang digoreng dengan tepung di Jepang memang enak-enak sih.Â
Kara-age ini langsung menjadi favorit saya karena kalau mau pesan mudah sekali nyebut namanya dan lagi nggak susah dan ribet untuk menghafalnya. Ada lagi satu kata favorit saya kalau makan di warung, yaitu okawari  alias nambah. Karena waktu itu, ada beberapa warung yang membolehkan kita nambah nasi atau juga malahan tambah misoshiru (sup) tanpa mbayar lagi alias gratissss.
Biasanya pas memesan makanan di warung, orang-orang Jepang yang tadinya lagi asyik makan pasti angkat muka sambil cari arah sumber suara. Sebabnya sudah pasti karena bahasa Jepang saya masih berlogat Indonesia. Mereka mungkin kaget juga karena ada "alien" masuk warung, plus mungkin ketar-ketir jangan-jangan nanti kalau duduk disampingnya, bisa-bisa disapa pakek bahasa Inggris lagi. Karena ada juga orang Jepang yang phobia bahasa Inggris.
Berbeda dengan makanan Indonesia yang banyak menggunakan rempah-rempah, bumbu masakan Jepang biasanya pakai garam, kecap asin, miso, konbu (rumput laut), mirin  (semacam sake rendah alkohol dan manis) lalu katsuobushi (ikan cakalang yang dikeringkan). Jadi kalau bagi (lidah) orang Indonesia, bumbu-bumbu masakan Jepang seperti ini kurang gress dan nggak cukup untuk membuat masakan berasa gurih dan nikmat. Ditambah lagi baunya nggak begitu "merangsang" seperti kebanyakan masakan kita.
Lalu orang Jepang juga nggak begitu suka makanan rasa pedas. Jadi secara otomatis, amat sangat jarang sekali makanan Jepang (asli, bukan import dari luar misalnya Korea atau Tiongkok) yang rasanya pedas.
Nah, inilah yang menjadi masalah bagi saya, karena saya suka sekali makanan yang pedas-pedas. Saya jadi nggak bisa berdiplomasi "makanan pedas" kayak yang sedang populer di Indonesia :). Di Jepang, populasi penyuka pedas nggak begitu banyak. Menurut pengalaman, kira-kira hanya 1 diantara 20 orang Jepang yang saya temui suka makanan pedas. Kalau orang Jepang yang sudah masuk kategori "maniak" pedas, biasanya mereka minta dibawain sambel botol kalau saya lagi pulang kampung.
Musim Panas dan Makanan pedas
Kalau sudah musim panas, karena kelembaban udara bisa mencapai sekitar 70-80%, hanya dengan berdiri diluar saja keringat pasti sudah bercucuran, walaupun kita berdiri di bawah pohon rindang ataupun berteduh di bayangan gedung. Karena bukan sinar matahari yang menyengat tubuh yang bikin keringat segede jangung deras mengucur, tapi kelembaban udara yang tinggi itulah penyebabnya, yang menjadikan kita serasa disekap di sauna.