Kami memperhatikan gerak-gerik seekor urang utan yang saat itu sedang nangkring di atas batang pohon yang sudah tinggal batangnya saja. Karena kebetulan saat itu sedang gerimis, dia pun memegang sebuah karung yang nampaknya karung sisa beras dan menutupi kepalanya dgn karung tsb.
Sungguh seperti manusia gerak-geriknya, dan dia pun bisa berpikir spt manusia, yaitu mencari akal utk melindungi diri dari air hujan.
Orang utan lainnya ada yang sedang santai di pohon, ada yang sedang bercengkrama antara anak orang utan dgn seekor orang utan lainnya yang mungkin itu adalah induknya.
Kami takjub melihat aktivitas orang utan di sana dan kami pun tak lupa untuk mengabadikan momen-momen tsb. Jumlah orang utan yang dapat kami lihat saat itu ada sekitar 5 ekor, dan di pinggir sungai di dekat lokasi tsb berdiri pula posko utk ranger yang melindungi orang utan dan habitatnya.
Kira-kira satu jam kami menghabiskan waktu utk melihat orang utan, karena matahari mulai beranjak ke peraduannya, yaitu sekitar jam 5 sore kami mulai meninggalkan tempat tsb.
Perjalanan kembali ke dermaga tempat kami berangkat tadi memakan waktu yang lebih cepat karena kami mengikuti arus sungai mengalir, sedangkan ketika berangkat waktu terasa lebih lama karena kapal kami harus melawan arus sungai sehingga jalannya pun lebih lambat.
Senja itu kami mengabadikan momen matahari terbenam yang begitu indahnya, dgn semburat warna jingga di langit biru.Â
Dan ketika hari sudah gelap, tempat kami di lantai 2 kapal tidak ada pencahayaan sama sekali, sehingga kami hanya mengandalkan handphone masing-masing utk mendapatkan hiburan dan memutar lagu dari handphone utk memecah kesunyian.
Beruntung malam itu langit cerah sehingga nampaklah bintang-bintang yang berkelap-kelip menemani sang bulan yang bersinar terang di malam gelap, tentunya dengan suara-suara khas malam dari jangkrik dan teman-temannya.
Angin malam itu berhembus lumayan kencang sehingga kami kedinginan namun tetap menikmati momen langka tsb yang tentunya tidak akan kami dapatkan di Jakarta.