Mohon tunggu...
Perdana Putri
Perdana Putri Mohon Tunggu... -

Menggemari Bob Dylan, masakan Cina, dan masakan Padang. Mencintai buku. Saya percaya kalau saya memiliki cara jalan yang aneh. Akan bersemangat saat membicarakan Rusia, Sastra, Filsafat, Bahasa, dan Sejarah. Memiliki motto yang diadopsi dari seniman favoritnya, Brancussi, "work like a slave, command like a king, create like a God." Saat ini berkuliah di Universitas Indonesia, Program Studi Rusia 2011. Endless learner and playfully serious.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menolak Lupa, Up to Date dengan Sejarah!

4 Juni 2012   10:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adik kelas saya itu akan menghadapi ujian Sejarah di kelasnya. Sembari ia belajar, sembari ia nge-tweet beberapa fakta sejarah yang berhasil ia hafal di buku teks. “Agresi Militer Belanda terjadi tahun…”; “Pemberontakan DI/TII terjadi di…”; “Pemindahan kekuasaan terjadi tahun…”, dan seterusnya. Saya yang memperhatikan lini masa si adik kelas cuma bisa senyum-senyum saja. Dalam beberapa menit kemudian, ia mulai mengeluh betapa tidak enaknya belajar sejarah, dan oh, betapa membosankannya.

Belajar Sejarah memang membosankan, tapi itu hanya terjadi di jenjang pendidikan wajib (SD, SMP, SMA), dan lebih spesifik lagi, mungkin di Indonesia. Argumen ini berdiri dari hal-hal empiris. Ketika memasuki jenjang perkuliahan, saya mengalami semacam culture shock belajar sejarah dengan apa yang biasa saya tangkap dari pelajaran sejarah dari saya SD hingga SMA. Yang paling mendasari culture shock itu adalah, bagaimana di bangku perkuliahan, sejarah tidak diajarkan dengan sebuah lini waktu (timeline), tapi dengan analisis mendalam. Sebagai contohnya, saya tidak akan diberitahu lagi kronologis Yeltsin naik ke tahta presiden Federasi Rusia, yang saya pelajari adalah bagaimana bisa Yeltsin naik ke tahta tersebut.

Sebenarnya, metode pembelajaran Sejarah harus seperti itu. Tidak ada orang yang tidak bosan jika dicekoki dengan berbagai fakta tanpa diberitahu latar belakang yang jelas. Tidak hanya murid yang bosan, tapi nilai kesejarahan pun tidak akan sampai. Padahal dalam belajar sejarah, tak melulu menghafal. Mempelajari sejarah seyogyanya menjadi bahan pembelajaran untuk kebijakan di masa depan. Hal-hal seperti ini akhirnya berakhir jadi slogan. Tetap saja murid-murid malas belajar sejarah karena alasan mengantuk, ditambah pula frasa konyol yang berbunyi ‘Ngapain belajar Sejarah? Lo harus move on dong!’. Penggalan ekspresi di atas merupakan bukti nyata gagalnya insepsi pemikiran kesejarahan kepada generasi muda.

Saya pernah mendengar alasan seorang teman yang tidak suka belajar sejarah, ia berkilah, “Sejarah di Indonesia ini banyak diputarbalikkan!”, atau seperti kata Voltaire, “history is the Mississippi of Lie”. Di era keterbukaan seperti ini, harusnya alasan seperti itu sudah tidak bisa diterima lagi. Ini disebabkan Orba sudah jatuh. Di masa Orba memang tidak banyak orang yang berusaha mengkritisi sejarah yang ditutup-tutupi, tapi itu dulu. Sekarang menutupi sejarah rasanya sudah tidak mungkin lagi, mengingat banyak pihak yang ‘menolak lupa’. Contohnya banyak, kini sudah banyak orang yang mengkritisi sejarah Tan Malaka, Gerwani, dan G30SPKI.

Melupakan sejarah bisa berbahaya. Orang yang tidak tahu dan melek sejarah memiliki kemungkinan untuk terjebak kesalahan yang sama dengan masa lalu. Hal tersebut ditunjukkan oleh survey terbaru CSIS (2012) mengenai presiden di Indonesia. Dengan sampel dari golongan muda, nyaris setengah dari koresponden menyatakan Indonesia butuh orang dengan karakteristik tangan besi nan tegas, dan ujung-ujungnya mereka menyebutkan nama Soeharto. Bukannya mengkultuskan Pak Soeharto dengan segala yang buruk, tapi apa yang mereka lihat dari Soeharto hanyalah swasembada berasnya dan listrik masuk desa-nya, seolah mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan demokrasi di Indonesia pada waktu itu. Penalaran sempit didasari tidak ketahuan mereka akan sejarah akan berdampak pada preferensi mereka akan masa depan. Kalau mau dianalisa lebih lanjut, jangan-jangan ketika sosok presiden yang mendapat gelar "The 2nd Soeharto" itu lagi-lagi mengungkung demokrasi, lalu si generasi muda ini malah membelot dari opininya. Anda boleh heran, tapi saya yakin itu akan terjadi.

Harusnya, memahami sejarah dibarengi dengan pertimbangan kritis akan hal-hal yang aktual di masa kini. Sejarah pun lebih dari sekedar mengingat hal-hal di masa lalu, tapi juga sebuah hal yang membuat kita: memahami kejadian, menelaah kejadian (baik buruknya), dan pada akhirnya, mengimplementasikan ide masa lalu yang telah dikritisi dalam konteks kekinian.

*tulisan ini dibuat sebagai ekspresi kegembiraan terbitnya Majalah Historia, cheers!*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun