Dia hanya menggeleng. “Dia cantik, tapi pas dandan yang aneh-aneh, keseksiannya melorot, mau dia pake carik juga gue gak nafsu!” Rupanya terjadi sebuah generalisasi lagi oleh para anti, dan lagi generalisasi ini hadir sebagai pemaksaan.
Gaga yang Tak Gagal
Banyak sebenarnya cacat negeri yang bisa dikritisi lebih dari persoalan “Lady Gaga versus FPI”. Misalnya aparat yang tak tegas, pemberitaan media yang dangkal (video konspirasi yang diambil dari anti-fanbase Lady Gaga), dan lain-lain, yang sebenarnya kalau kita jeli memandang, hanyalah sebuah pembodohan publik.
Mereka yang anti hingga berdemo juga jika ditanya pasti tak tahu siapa itu Lady Gaga. Demokrasi macam apa ini? pikir saya getir. Yang masih membekas di kepala saya saat ini adalah bagaimana bisa mereka menggunakan tameng keimanan untuk menghakimi seseorang, dan menjustifikasikannya dengan hal-hal dangkal semacam konspirasi.
Selain Gaga tak gagal konser, ia (bukan ia an sich, tapi kasusnya) juga tak gagal membuat kita terasadar: di negeri para preman “demokratis” ini, keimanan adalah sesuatu yang memiliki amplitudo sosial dan pembodohan publik boleh hadir jika keimanan tersebut dirasa tidak memiliki frekuensi yang sama.