Mohon tunggu...
Perdana Putri
Perdana Putri Mohon Tunggu... -

Menggemari Bob Dylan, masakan Cina, dan masakan Padang. Mencintai buku. Saya percaya kalau saya memiliki cara jalan yang aneh. Akan bersemangat saat membicarakan Rusia, Sastra, Filsafat, Bahasa, dan Sejarah. Memiliki motto yang diadopsi dari seniman favoritnya, Brancussi, "work like a slave, command like a king, create like a God." Saat ini berkuliah di Universitas Indonesia, Program Studi Rusia 2011. Endless learner and playfully serious.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjabarkan Patah Hati

24 Mei 2012   03:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman baik saya itu sesekali menutup mukanya yang memerah pias dengan jilbab soft pink yang ia kenakan. Saya hanya bisa mengamati layar yang ia tatap dengan putus asa. Rupanya lelaki tempat ia menggantung harapan sudah ada yang memiliki.

Padahal senja baru turun, tapi teman baik saya itu sudah memasang malam di hatinya.

Telaah Patah Hati: Antara Realita dan Imaji

Kadang saya bertanya-tanya juga, seberapa sering orang mengalami patah hati? Saya pernah mengalaminya, saya rasa semua orang yang pernah mengenal cinta pun pasti mengenal sakit hati.

Berangkat dari pernyataan mayor tersebut, saya mencoba menganalisis apa yang terjadi pada sebuah proses patah hati. Saya akhirnya sampai pada kesimpulan rasa patah hati itu hadir karena delusi.

Kepada teman baik saya itu, berkata saya layaknya seorang ahli cinta, “Lo tahu enggak, apa yang membuat mayoritas proses jatuh cinta itu salah?”

Dia menggeleng.

Saya jawab, karena ego. Telah dibahas di tulisan saya sebelumnya cinta yang dangkal itu adalah cinta yang penuh nafsu akan ego yang minta diaktualisasikan. Dari ego ini, hadirlah sebuah delusi ataupun interpretasi kita. Dengan kata lain, cinta menjadi subjektif, padahal sejatinya cinta harus bersifat objektif. Saya yakin, kebanyakan dari orang yang jatuh cinta selalu concern dengan bagaimana objek afeksinya melihat dirinya. Lalu timbulah sebuah delusi sebelum terjadi kejadian atau kontak riil antara objek cinta dan sang pecinta itu sendiri, tentang apa yang akan terjadi.

Hal tersebut dipertegas dengan perkataan Milan Kundera dan Arthur Schopenhauer. Kundera mengatakan bahwa:

To imagine─ to dream about things that have not happened ─ is among mankind’s deepest needs.” (mengkhayalkan, mengimpikan hal-hal yang belum terjadi termasuk dalam kebutuhan paling dasar seorang manusia).


Senada dengan Kundera, Schopenhauer mengatakan bahwa “dunia adalah representasiku”, yang menguatkan hipotesa bahwa cinta itu sejatinya tidak akan pernah bisa objektif walaupun seharusnya seperti itu.

Katakanlah saya eksistensialis atau apapun itu, tapi saya menangkap pernyataan mereka benar untuk cinta dan patah hati. Ketika individu mencintai seseorang, ia memiliki tendensi untuk berkhayal tentang objek yang mereka kasihi tersebut, dan tentunya khayalan tersebut berbasis paradigma personal atau perspektif mereka.

Jadi individu, yang merasa dikhianati cinta, jangan kaget ketika sebuah realita yang begitu bertolak belakang disodorkan ke hadapan mereka. Sayangnya, khayalan akan cinta (atau apapun) tidak akan pernah mungkin bisa terkikis karena itu kebutuhan dasar, seperti kata Kundera.

Objektivitas Sebagai Ketentraman dalam Bercinta

Lucu sekali melihat bagaimana cinta yang harusnya membebaskan belas kasih seseorang menjadi sesuatu yang mengukung manusia: manusia terlahir bebas, tapi kini ia terbelenggu (Rousseau). Namun ego memang sesuatu yang sulit dikontrol ketika objektivitas sudah hilang dan bertransformasi menjadi sesuatu yang eksistensialis.

Padahal, cinta harusnya menjadi satu sesuai kata-kata Gie, “kita begitu berbeda kecuali soal cinta”. Tak jelas memang apa Gie hanya merujuk pada orang yang ia kasihi, tapi ungkapan itu bernilai universal. Seharusnya, saat kita mendamba cinta seseorang, yang harus diperhatikan adalah objektivitasnya alih-alih berkhayal secara subjektif. Ini disebabkan sosok yang dicinta adalah objek yang harus kita jaga dalam memberi asupan kelembutan perasaan. Ketika dia hadir dalam baluran imajinasi personal, maka asupan cinta tidak diberikan kepadanya, tapi kepada diri sendiri.

Toh patah hati itu manusiawi juga seberapa keras pun saya menghujat subjektivitas dalam bercinta. Patut digarisbawahi dalam proses percintaan adalah, sebelum menganalisis objek dalam bentuk khayalan, baiknya diri kitalah yang hadir sebagai sosok yang harus dianalisis (Heidegger). Objek jatuh cinta memang pilihan (relatif), tapi saat ia jatuh sebagai objek, maka individu pun harusnya memperlakukannya sebagai objek yang memang mengisi perannya.

Akhir kata, kita harus mencintai seseorang dengan tenang dan tak tergesa-gesa menyeretnya dalam interpretasi personal yang egois. Hal tersebut, lebih jauh, akan membuat cinta menjadi sebatas nafsu yang melahirkan sebuah kecemasan buta dan irasional. Cinta pun menjadi dangkal dan kehilangan maknanya.

“Selama kita tunduk pada hawa nafsu dengan segala hasrat dan kecemasannya yang tak ada habisnya… tak akan pernahlah kita bahagia dan tentram.

- Arthur Schopenhauer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun