Jadi individu, yang merasa dikhianati cinta, jangan kaget ketika sebuah realita yang begitu bertolak belakang disodorkan ke hadapan mereka. Sayangnya, khayalan akan cinta (atau apapun) tidak akan pernah mungkin bisa terkikis karena itu kebutuhan dasar, seperti kata Kundera.
Objektivitas Sebagai Ketentraman dalam Bercinta
Lucu sekali melihat bagaimana cinta yang harusnya membebaskan belas kasih seseorang menjadi sesuatu yang mengukung manusia: manusia terlahir bebas, tapi kini ia terbelenggu (Rousseau). Namun ego memang sesuatu yang sulit dikontrol ketika objektivitas sudah hilang dan bertransformasi menjadi sesuatu yang eksistensialis.
Padahal, cinta harusnya menjadi satu sesuai kata-kata Gie, “kita begitu berbeda kecuali soal cinta”. Tak jelas memang apa Gie hanya merujuk pada orang yang ia kasihi, tapi ungkapan itu bernilai universal. Seharusnya, saat kita mendamba cinta seseorang, yang harus diperhatikan adalah objektivitasnya alih-alih berkhayal secara subjektif. Ini disebabkan sosok yang dicinta adalah objek yang harus kita jaga dalam memberi asupan kelembutan perasaan. Ketika dia hadir dalam baluran imajinasi personal, maka asupan cinta tidak diberikan kepadanya, tapi kepada diri sendiri.
Toh patah hati itu manusiawi juga seberapa keras pun saya menghujat subjektivitas dalam bercinta. Patut digarisbawahi dalam proses percintaan adalah, sebelum menganalisis objek dalam bentuk khayalan, baiknya diri kitalah yang hadir sebagai sosok yang harus dianalisis (Heidegger). Objek jatuh cinta memang pilihan (relatif), tapi saat ia jatuh sebagai objek, maka individu pun harusnya memperlakukannya sebagai objek yang memang mengisi perannya.
Akhir kata, kita harus mencintai seseorang dengan tenang dan tak tergesa-gesa menyeretnya dalam interpretasi personal yang egois. Hal tersebut, lebih jauh, akan membuat cinta menjadi sebatas nafsu yang melahirkan sebuah kecemasan buta dan irasional. Cinta pun menjadi dangkal dan kehilangan maknanya.
“Selama kita tunduk pada hawa nafsu dengan segala hasrat dan kecemasannya yang tak ada habisnya… tak akan pernahlah kita bahagia dan tentram.
- Arthur Schopenhauer