Kali ini saya akan membahas lebih spesifik mengenai cinta terhadap 'calon' pasangan. Â Mengapa kita semua sangat menggebu-gebu untuk mendapatkan jodoh?
Kalau anda perhatikan kalimat tanya di atas, di sana menggunakan kata 'mendapatkan' dan 'jodoh'. Artinya, dua kata ini menjadi determinantuntuk sebuah tujuan.Â
Ada yang bilang "Jodoh tak akan kemana". Lantas, dia hanya santai sambil terus memperbaiki dirinya.
Ada lagi yang bilang "Jodoh harus diikhtiarkan." Ia bukan saja menunggu, tapi ia benar-benar mencari jodohnya sampai dia harus meminta seorang ustadz untuk ditukar CVnya dengan orang lain.
Diksi yang dipakai selalu tentang jodoh, jodoh, dan jodoh. Asal sudah mendapatkan jodoh, apalagi diikat dengan tali pernikahan, salah satu tujuan dalam hidup sudah terlaksana.
Namun, lagi-lagi, di sini kita tidak menemukan kata 'Cinta'. Kata Cinra alpa dari perjodohan. Seolah-olah cinta bukan suatu hal yang perlu dibahas di 'Zaman Now'.
Maka, stereotip yang kerap muncul adalah :
"Gak cukup dengan modal cinta."
"Cinta gak bisa kasih makan."
"Cinta bisa tumbuh setelah pernikahan."
Bahkan sebelum cinta memberikan 'tesis'nya, kita sudah melakukan 'antitesis' terhadap cinta. Sekali lagi, demi kepentingan jodoh.