Bagi kami pemuda era 90-an, gitar bagaikan  pedang yang mampu menghunjam hati gadis remaja. Jika  piawai memainkannya sembari berdendang bisa jadi senjata ampuh. Sedikit rayuan dalam lirik lagu cinta mampu membuat gadis bertekuk lutut.
"Ada gitu, guru bahasa mirip satria bergitar", celoteh Arman.
"Jreng... Saya Raja bukan satria." Aku tetap cuek  memetik senar gitar.
"Ingat lho  pesan Pak Mayor. Nggak ada asmara di KKN kali ini,  sejarah KKN terdahulu membuktikan cinta mahasiswa dan gadis desa selalu melahirkan masalah." Arman makin seru meracu menggurui.
"Hamil belum sudah  melahirkan." Aku cekikikan.
"Menyebabkan bukan melahirkan", sergah Arman makin bersungut-sungut.
"Ja kau diminta untuk mengajar anak-anak SMP menulis puisi. Sesuailah jurusanmu FKIP Bahasa Indonesia. Tapi jangan kau ajarkan  merayu."
"SMP, apa nggak ada yang gede-an dikit".
"Ada, Â Ibu-ibu PKK. Mau?"
***
Aku mencoba untuk tidak canggung berdiri di ruang kepala sekolah. Sumpah penampilanku hari ini sepertinya agak aneh. Kemeja putih lengan panjang berpadu celana baggy warna gelap. Tapi beruntung aku aku punya jas almamater dengan emblem besar, membuat sedikiti percaya diri meningkat.
"Gini Mas ehmm, Â Pak Raja. Anak-anak mau lomba membaca puisi di kabupaten bulan depan. Maunya puisi bikinan sendiri biar jos", papar ibu kepala sekolah seraya menunjukan jempol.
"Guru bahasanya?"
"Ada tapi kita butuh  yang baru dan mutakhir.  Mas  mahasiswa pasti banyak ide-ide brilian." Bu kepala sekolah memandang tajam sambil tersenyum.
"Saya usahakan, Bu."
Anak SMP adalah mahluk ajaib yang sedang mencari jati diri. Beberapa dari mereka terlihat seperti anak-anak tapi sebagian dari mereka merasa sok dewasa. Apalagi beberapa lelaki yang suaranya sudah mulai pecah, sungguhlah mereka ingin menunjukan eksistensi. Anak perempuannya tak kalah heboh apalagi jika sudah berkumpul lebih dari tiga orang. Mereka lebih ribut dan sering melontarkan  pertanyaan serta  celetukan yang mengundang tawa,  mengandung perundungan.  Nyatanya anak desa tidak selugu  dan semanis seperti  di  sinetron.
"Di sini ada yang suka menyanyi?" Saya berusaha mencairkan suasana setelah perkenalan.
Beberapa siswa menunjuk jari, tapi lebih banyak menunjuk seseorang anak lelaki berbadan tegap mulai berkumis tipis.
"Tuh Ridwan. Selalu bawa buku lagu. Dulu suaranya bagus tapi sekarang sember ", celoteh gadis hitam manis bernama Ratna, disambut riuh tawa seluruh isi kelas.
"Sesuatu yang normal. Nanti saat SMA suaramu jadi lebih berat dan akan enak didengar. Bisa pinjam buku lagunya."
Ridwan cepat-cepat memberikan buku lagu, kubuka salah satu halaman dan kutemukan lagu Rosa, Nada-Nada Cinta. Kutuliskan beberapa bait lirik di papan tulis.
"Menulis puisi itu mirip seperti lirik lagu. Polanya  berima  dan ada bait seperti pantun tapi lebih bebas."
"Apakah ada sampiran dan isi juga", tanya Ratna.
"Tidak, semuanya isi tapi bermain dengan diksi."
"Diksi?" Wajah  Ridwan kebingungan.
"Diksi itu pendidikan yang penuh aksi kaya tampilan bapak ini. Rapih klimis", celoteh Ratna diikuti gelak tawa sekelas membuatku tersipu.
"Diksi itu seperti kalimat 'Engkaulah kasihku, belahan jiwaku' di lagu Nada Nada Cinta. Â Belahan jiwa itu diksi denotatif artinya bagian jiwa. Paham? "
"Seperti kalimat 'Seribu cobaan yang aku rasakan'. Kata seribu cobaan artinya banyak cobaan", seorang siswa berkacamata tebal menjawab.
"Benar. Sebelum belajar membuat puisi, kita akan belajar macam-macam diksi."
"Pak boleh nggak belajarnya sambil nyanyi", Ratna menunjuk gitar tergantung di dinding kelas.
"Siapa takut", jawabku trengginas. Kusambar gitar lalu kunyanyikan lagu Nada Nada Cinta.
Materi diksi memang terlalu berat  untuk siswa SMP tapi entahlah semua menjadi menyenangkan dan mudah disampaikan saat kami membedah lirik lagu dan sesekali bernyanyi. Para siswa antusias ketika mendapat tugas menulis puisi.
***
"Pak eh Mas. Hmmm Masnya jago main gitar", tanya Ibu kepala sekolah.
"Sedikit tapi maaf Bu tapi saya nggak bisa ngajar seni suara . Saya anak bahasa."
"Bukan, Abas yang biasa ngiringin anak-anak karang taruna latihan pop song tangannya keselo. Mereka butuh orang yang bisa main gitar untuk  persiapan 17-an."
"Tapi bu..."
"Mas Raja ini termasuk pengabdian masyarakat lho... Bisa bikin nilai lebih bagus", rayu ibu kepala sekolah.
***
Sejujurnya saya lebih menikmati mengajar anak-anak SMP menulis puisi dibanding jadi pengiring remaja karang taruna berlatih pop song. Entah sudah berapa kali kami mengulang lagu Kebyar-Kebyar malam ini. Tapi beruntung hari ke tiga ada mahluk manis bermata bulat dengan lesung pipi dalam bernama  Retno. Awalnya ia mengenalkan diri sebagai anak kepala desa, sedang kuliah di  kota dan setiap akhir pekan kembali ke desa.
"Oh ini pak guru yang jago main gitar. Ratna adikku banyak cerita lho", sapa Retno saat berkenalan.
"Duh jadi GR (gede rasa)."
"Mas aransemen Kebyar Kebyar bisa diubah nggak ya", usul Ratna setelah ikut berlatih pop song.
"Banget. Jujur aku bosan", jawabku tertawa lepas.
"Eh nanti di marah Mas Gombloh lho", Retno memarahiku
Aku tak pernah menyangka jika Retno piawai bermain alat musik. Layaknya  dua pendekar yang asik bermain pedang, kami berdiskusi  mengaransemen ulang lagu Kebyar Kebyar.
"Pokoknya malam ini harus jadi. Besok aku kembali ke kota, baru minggu depan aku ikut latihan."
Meski tak sering berjumpa dengan Retno, latihan pop song menjadi begitu menggairahkan, apalagi Abas gitaris utama tangannya sudah sembuh. Kami berduet mengiringi latihan pop song dengan aransemen lebih berwarna, berharap saat Retno pulang penampilan  kami lebih bagus.
***
Kepiawaian bermain gitar dan mengaransemen lagu  berhasil membawa karang taruna desa ini menjuarai lomba lomba pop song antar kecamatan. Aku sangat yakin jika mengutarakan isi hati,  Retno akan menerimaku sebagai kekasih. Tiba-tiba  teringat pesan pembimbing KKN agar tidak terlibat hubungan asmara dengan warga lokal tapi kapan lagi momen paling tepat mengungkapkan isi hati.
"Selamat ya", Retno menjabat tanganku.
"Kok aku. Semua dong, kamu kan juga andil."
"Tapi kan aku nggak ikut tampil. Aransemen kamu keren."
"Kamu juga. Eh boleh minta hadiah nggak?"
"Kan udah dapat dari panitia lomba."
"Aku mau dengar suara kamu sambil main gitar", kusodorkan alat musik petik.
"Lagu apa ya?"
"Lagu kamu dong. Kata Abas kamu jago bikin lagu."
"Fitnah itu."
"Lah Kebyar-Kebyar aja kamu aransemen ulang."
"Bukan aku tapi kita. Tunggu ya.". Â Retno tersenyum penuh arti, ia membuka penutup organ di ujung meja.
"Jangan dangdutan ya", godaku
Jari jemari Ratna menari lincah di atas tuts, berlahan musik sendu berpadu dengan suarnya yang lembut. Jantungku berdegup kencang mendengar bait lagu dilantunkan dengan indah. Liriknya berima dan penuh makna.
"Tuhan apakah maksud lirik lagu ini. Apakah ini pertanda hati", dugaku sembari sesekali menatapnya.
 "Wah luar biasa. Kamu yang bikin lagunya?"
"Sebagian." Retno bertanya.
" Apa judulnya?"
"Hmmm. Dawai Gadis Remaja. Bagus nggak?"
Belum sempat aku mengutarakan isi hati tiba-tiba Arman muncul, dari kejauhan ia memperhatikan keakraban aku dan Retno. Sambil berjalan ia menarik tanganku ke pojok ruangan.
"Ja. Jangan macam-macam. Kalau mau nembak setelah KKN selesai."
"Aku serius cinta lho nggak main-main."
"Aku juga serius. Kalau mau jadiin pacar nembaknya di kota saja. Kampus Retno di kota kan?"
"Oke-Oke."
***
Saat KKN akan berakhir  kutulis surat cinta untuk Retno, kutitipkan ke adiknya Ratna saat perpisahan dengan murid SMP. Tapi tak ada jawaban sampai KKN usai, Retno seperti menghilang ditelan bumi.
"Boleh dong sesekali Raja kalah", Arman berusaha menenangkan."
"Aku tuh sudah cari alamatnya di kota. Ngubek-ngubek kampusnya tapi sepertinya dia menghindar."
"Belum jodohlah."
"Ih padahal pas latihan pop song kita cocok banget. Aku yakin lagu itu kode untuk aku."
"Cocok di musik bukan di hati. Oh iya tuh anak-anakmu kirim hadiah."
"Anak?"
"Murid SMP yang kau ajar."
Kubuka bungkusan besar bertuliskan Buku Kumpulan Puisi Siswa SMP kelas tiga. Patah hati memang menyakitkan tapi obat paling mujarab membaca puisi karya anak-anak ini. Aku terdiam sesaat membaca puisi buah karya Ratna, liriknya mirip lagu Retno.
Dawai Gadis Remaja
Aku gadis remaja tak kenal asmara
Tergetar hatiku kala dengar suara
Petik gitarmu dengan sejuta aura
Membuatku ingin selalu dimanja
Wahai pemuda di ujung singgasana
Ingin kusapa dirimu yang di sana
Tapi tak mampu bibir untuk menyapa
Karena aku masih gadis remaja
Dawai cinta kuatkan citra permaisuri
Setia Bersama cinta untuk menanti
Dawai cinta dipetik dengan jari
Setia selalu menghitung hari
Jika esok atau lusa harinya tiba
Tak perlu dirimu datang mengiba
Kan ku jelang hariku dengan setia
Menjadi pasangan di istana cinta
***
Lima tahun berlalu, kini aku bukan Raja yang berusaha menjadi satria bergitar dan menaklukan hati gadis dengan puisi cinta. Kenyataan hidup mengajarkan bahwa mencari pasangan hidup memang tak semudah mencari pacar. Jangan tanya mengapa hingga saat ini aku menjomblo. Hidup itu penuh misteri, aku yang berniat mengajar di depan kelas pada akhirnya bekerja bercuap-cup di depan mic sebagai penyiar radio
"Ja, ada pendatang baru nih, Â interview ya. Band indie jazz."
 "Wah keren dong. Nama bandnya?"
"Ratu Remaja. Singelnya Aku Gadis Remaja Tak Kenal Asmara."
"Heh judulnya FTV banget."
"Iya sih tapi lucu kok lagunya. Vokalis cewek masih muda, unyu-unyu gitu."
"Puter deh pengen denger."
Musik swing jazz diputar dengan irama ceria berkumandang memenuhi studio. Kudengar sembari menjelajah dunia maya, mencari informasi band indie bertajuk Ratu Remaja. Sejenak kucecap kopi berlahan anganku teringat gadis manis siswi SMP bernama Ratna yang kini bermetamorfosis menjadi  vokalis band.
***
Catatan : untuk mendapatkan pengalaman kisah KKN yang lebih maksimal, silakan menikmati lagu yang ada di cerpen ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H