Sebagai generasi Y, saya tergagap ketika belajar bersama anak-anak muda yang baru memasuki usia 20-an. Ini bukan tentang gap generation tapi sistem belajar yang tak biasa. Sistem belajar berdasarkan proyek dan bukan hanya tatap muka satu arah. Kami lebih banyak berdiskusi dan membangun kemampuan sesuai dengan minat dan bakat.
Apple Developer Academy
Tahun 2020, beruntung saya menjadi siswa angkatan pertama program Apple Developer Academy Infinite Batam. Program magang Apple yang ada hanya di empat negara : Indonesia, Italia, Brazil dan Korea Selatan. Tujuannya mendidik pembuat aplikasi ponsel kelas dunia. Dari 100 siswa, hanya 10 orang berusia di atas 40 tahun. Kebanyakan adalah mahasiswa tingkat akhir atau fresh graduate.
Sebetulnya program ini tidak terlalu mensyaratkan latarbelakang pendidikan tinggi. Karena di angkatan kami ada dua orang siswa SMA dan SMK. Kemampuan IT mumpuni bukan syarat mutlak karena dalam membangun aplikasi diperlukan orang dari beragam disiplin ilmu.
Bebas Belajar
Setiap dua bulan kami mengerjakan proyek dengan tema khusus. Misalnya tantangan membuat aplikasi berkaitan dengan komunitas. Setiap kelompok proyek terdiri dari 5-6 orang dengan tiga peran berbeda yaitu : desainer, programer dan manajer produk. Siswa dibebaskan mengambil peran dan belajar apa saja sesuai kebutuhan proyek. Kampus memfasilitasi semua kebutuhan belajar, mulai dari perangkat keras, literatur tanpa batas hingga mentor terbaik di bidangnya.
Dalam proses belajar siswa menggunakan beragam platform yang membantu manajemen diri dan tugas kelompok. Tanpa sadar saya bisa mengahabiskan waktu 8 jam lebih untuk mengerjakan proyek dan belajar mandiri. Proses belajar menjadi begitu menyenangkan. Ini bukan karena tidak ada tes atau ujian. Sesungguhnya di akhir proyek kami wajib presentasi dan siap menerima kritikan dari mentor tamu bahkan praktisi.
Kami tidak diarahkan menjadi manusia yang seragam dan memiliki kemampuan serupa. Tapi setiap individu harus memiliki tujuan sendiri dan menjadi lebih baik setiap harinya. Salah satu kuncinya adalah mampu melakukan refleksi diri seperti: mengkaji apa yang sudah dipelajari setiap hari dan merencanakan target belajar harian secara mandiri.
“Target dan cara belajar tak harus sama karena setiap orang spesial”, ujar mentor.
Belajar bukan untuk menjadi yang terbaik di kelas. Tapi menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat dari hari ke hari. Inspirasi ini yang membuat saya bersemangat untuk belajar dan mengulik hal-hal baru.
Bersenang-Senang
Ternyata kebebasan belajar dengan lingkungan kondusif seperti ini, memunculkan pembelajar super. Seperti rekan saya, Agustinus seorang pebisnis dengan latarbelakang pendidikan akuntansi . Ia memilih peran sebagai coder di proyek tugas akhir. Siapa sangka pria berusia 60 tahun ini menjadi sangat piawai mengkotak-kotik deret algoritma dan bahasa pemrograman.
Program pendidikan 10 bulan ini mengubah presespi saya tentang belajar. Saat sekolah saya hanya mengejar nilai dan kemampuan akademis. Tidak pernah berpikir apa yang dipelajari menjadi solusi masalah di sekitar. Budaya malu-malu mengemukakan pendapat berubah menjadi kritis dan terbuka dengan perbedaan pendapat.
Meski pola belajar berbeda, jangan berpikir kami melupakan waktu bersenang-senang. Saat jeda antar proyek, mentor mengajak kami “bertamasya”. Bentuknya bisa bermacam-macam, bermain games, bertemu mentor tamu pesohor sampai bermain musik bersama.
Momen tak terlupakan adalah ketika saya dan teman-teman tampil di konser online dengan membawakan lagu sesuai dengan tema proyek aplikasi yaitu traveling. Saya yang tidak bisa bermain alat musik, belajar membuat dan mengaransemen lagu dengan bantuan aplikasi, lalu terlahir lagu Mlaku-Mlaku dari aplikasi Plesier.
Konser online dijeda antar proyek
Setiap lulusan siap masuk dunia kerja karena sudah memiliki hard dan soft skill yang dibuktikan dengan portfolio bukan hanya ijazah. Siswa lulusan Apple Developr Academy harus mampu menerima perbedaan manusia dengan beragam latarbelakang. Karena pada akhirnya ketika menjadi developer kelas dunia, siswa siap berkarir internasional dan bekerjasama dengan siapa saja.
Setelah lulus dari Apple Developer Academy Infinite Batam, saya sempat bertanya , “Mungkinkah Indonesia mengadopsi sistem belajar ini?”
Sejujurnya saat sekolah saya merasa terbebani ketika diwajibkan menguasai banyak mata pelajaran. Sebagai penderita disleksia, saya memiliki cara belajar unik. Saya akan membuat rangkuman dalam bentuk gambar di buku catatan setelah belajar atau membaca buku. Tapi tidak semua orang paham dengan cara belajar saya dan selalu menilai bermain-main di kelas.
Tahun 2022 Kemendikbudristek menetapkan Kurikulum Merdeka dan diimplementasikan di sekolah. Walau penerapannya masih opsional dengan Kurikulum 2013 tapi secara berlahan mengubah budaya ajar di Indonesia. Kita yang terbiasa dengan sistem ajar tatap muka satu arah menjadi dinamis yang membuat siswa lebih kritis dengan isu-isu aktual untuk mengembangkan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Sedari awal siswa fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Belajar jadi lebih mendalam, bermakna dan menyenangkan tapi tetap berkarakter Pancasila serta memiliki kompetensi. Gaya belajar ini akan lebih melahirkan spesialis dibandingkan generalis tanpa melupakan falsafah hidup bangsa Indonesia. Sedari dini siswa lebih paham bakat serta minat dan aspirasinya. Sehingga kelak siswa tak bingung memilih karir. Dan ketika belajar di jenjang pendidikan tinggi, ilmu yang diperoleh di kampus tidak ada jarak dengan dunia kerja atau industri.
Tantangan Bersama
Pertanyaannya apakah setiap sekolah memililki kemampuan untuk menjalankan Kurikulum Merdeka? Bagaimana dengan kesiapan guru beradaptasi dengan budaya ajar baru. Tidak semua sekolah di Indonesia memiliki fasilitas pendukung seperti di Apple Developer Academy. Bayangkan untuk internet, kampus memiliki jaringan fiber optic langsung ke backbone server di Singapura.
Kemendikbudristek sudah memfasilitasi dengan platform Merdeka Mengajar sehingga sekolah mampu mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik. Tapi apakah mudah untuk mengakses platform online di sekolah yang tak memiliki jaringan internet.
Sejujurnya akan banyak tantangan yang akan dihadapi oleh sekolah dan guru di daerah tapi bukan tidak mungkin kurikulum ini berjalan baik. Fleksibilitas kurikulum seharusnya mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Mengadaptasi kurikulum sesuai dengan potensi daerah masing-masing sehingga materi ajar terasa lebih nyata dengan kehidupan.
Pekerjaan rumah paling berat ada di tangan guru , karena mereka tidak hanya mengajar tapi juga mengembangkan diri terus-menerus agar tetap relevan dan mengikuti perkembangan jaman. Para guru membuat materi ajar yang juga dibagi di platform Kurikulum Merdeka.
Bukti Ajar di platform Merdeka Mengajar (sumber : https://guru.kemdikbud.go.id/)
Idealnya platfofm Merdeka Mengajar bukan hanya menjadi dokumentasi atau rujukan bahan ajar tapi menjadi media interaktif antara pelaku pendidikan dan mampu menciptakan ruang diskusi bagi siswa, guru bahkan komunitas belajar. Kolaborasi tidak hanya di kalangan guru tapi juga siswa di seluruh Indonesia.
Terbuka Dengan Perubahan
Saat pertama kali mendengar kata merdeka belajar yang terbesit di pikiran saya adalah kebebasan belajar dalam tafsir siswa boleh belajar atau tidak. Mungkin ini juga terbersit di sebagian besar orang tua murid. Namun setelah membaca Merdeka Belajar Episode 15, saya mulai paham. Ternyata kebebasan pilihan menjalankan kebebasan Kurikulum 2013, kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan) atau Kurikulum Merdeka.
Salah satu pekerjaan rumahnya memberikan informasi yang kepada masyarakat apa itu Kurikulum Merdeka. Rendahnya kemampuan literasi terkadang tak mudah mensosialisasikan semua informasi melalui tulisan. Cara paling mudah dan kekinian dengan membuat konten video, mengunggah aktivitas Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan di sekolah atau kampus.
Jika memungkinkan sekolah juga membuka ruang diskusi kepada orang tua murid melalui komunitas belajar. Ya pada akhirnya yang beradaptasi bukan hanya murid dan guru tapi juga orang tua yang secara tidak langsung berperan dalam proses belajar di sekolah. Agar mereka tak kaget jika anaknya lebih banyak memiliki aktivitas kokurikuler dibandingkan intrakurikuler.
Semoga pengalaman saya belajar di Apple Developer Academy dapat memberikan gambaran bahwa sesungguhnya inilah bentuk ideal Kurikulum Merdeka. Tujuannya agar putra-putri bangsa kita berprestasi bukan hanya tingkat nasional, tetapi juga global, serta berkarakter Pancasila.
Jika belum ideal maka kita semua yang harus berproses dan terbuka dengan dengan perubahan sistem belajar di negeri ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI