Setelah lulus dari Apple Developer Academy Infinite Batam, saya sempat bertanya , “Mungkinkah Indonesia mengadopsi sistem belajar ini?”
Sejujurnya saat sekolah saya merasa terbebani ketika diwajibkan menguasai banyak mata pelajaran. Sebagai penderita disleksia, saya memiliki cara belajar unik. Saya akan membuat rangkuman dalam bentuk gambar di buku catatan setelah belajar atau membaca buku. Tapi tidak semua orang paham dengan cara belajar saya dan selalu menilai bermain-main di kelas.
Tahun 2022 Kemendikbudristek menetapkan Kurikulum Merdeka dan diimplementasikan di sekolah. Walau penerapannya masih opsional dengan Kurikulum 2013 tapi secara berlahan mengubah budaya ajar di Indonesia. Kita yang terbiasa dengan sistem ajar tatap muka satu arah menjadi dinamis yang membuat siswa lebih kritis dengan isu-isu aktual untuk mengembangkan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Sedari awal siswa fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Belajar jadi lebih mendalam, bermakna dan menyenangkan tapi tetap berkarakter Pancasila serta memiliki kompetensi. Gaya belajar ini akan lebih melahirkan spesialis dibandingkan generalis tanpa melupakan falsafah hidup bangsa Indonesia. Sedari dini siswa lebih paham bakat serta minat dan aspirasinya. Sehingga kelak siswa tak bingung memilih karir. Dan ketika belajar di jenjang pendidikan tinggi, ilmu yang diperoleh di kampus tidak ada jarak dengan dunia kerja atau industri.
Tantangan Bersama
Pertanyaannya apakah setiap sekolah memililki kemampuan untuk menjalankan Kurikulum Merdeka? Bagaimana dengan kesiapan guru beradaptasi dengan budaya ajar baru. Tidak semua sekolah di Indonesia memiliki fasilitas pendukung seperti di Apple Developer Academy. Bayangkan untuk internet, kampus memiliki jaringan fiber optic langsung ke backbone server di Singapura.
Kemendikbudristek sudah memfasilitasi dengan platform Merdeka Mengajar sehingga sekolah mampu mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik. Tapi apakah mudah untuk mengakses platform online di sekolah yang tak memiliki jaringan internet.
Sejujurnya akan banyak tantangan yang akan dihadapi oleh sekolah dan guru di daerah tapi bukan tidak mungkin kurikulum ini berjalan baik. Fleksibilitas kurikulum seharusnya mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Mengadaptasi kurikulum sesuai dengan potensi daerah masing-masing sehingga materi ajar terasa lebih nyata dengan kehidupan.