Mohon tunggu...
Danan Wahyu Sumirat
Danan Wahyu Sumirat Mohon Tunggu... Buruh - Travel Blogger, Content Creator and Youtuber

blogger gemoy

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar di Kampus Apple Saat Pandemi

14 Mei 2022   10:59 Diperbarui: 14 Mei 2022   16:50 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru dua minggu kami menikmati kampus high-tech Apple Developer Academy Infinite Learning Batam, harus belajar dari rumah dengan sistem online. Rasanya tak ikhlas meninggalkan kampus dengan fasilitas impian.

Tak hanya ruang belajar yang dilengkapi perangkat canggih, dindingnya pun berlayar 360 derajat. Belum lagi lobi luas tempat kami belajar dilengkapi dengan mini pantry dan kopi gratis, mirip kafe.

Konon kampus ini ini punya jaringan fiber optic langsung ke backbone Singapura, sehingga jaringan internetnya tercepat di Batam. Saya sudah membayangkan, akan menghabiskan waktu di kampus yang juga kawasan resor mewah.

Apple Developer Academy

Apple Developer Academy merupakan program nirlaba Apple untuk menciptakan developer (pembuat aplikasi) kelas dunia.

Program ini hanya ada di 4 negara yaitu: Brasil, Italia, Indonesia dan Korea. Indonesia memiliki tiga kampus yang tersebar di Jakarta, Surabaya, dan Batam.

Beruntung tahun 2020 saya menjadi salah satu siswa Apple Developer Academy Infinite Learning Batam angkatan pertama. Sebetulnya program ini tidak hanya diperuntukan dengan latar belakang pendidikan IT atau programming. Karena untuk membuat aplikasi dibutuhkan beragam disiplin ilmu.

Rentang usia siswa pun cukup luas, mulai dari usia 17 tahun hingga lansia. Selama masih ada keinginan belajar, siapa saja bisa bergabung tanpa memandang gender, usia, latarbelakang pendidikan. Asalkan ada kemaun belajar dan lulus tes, siapapun bisa bergabung tanpa dipungut biaya.

Adaptasi Belajar

Saya termasuk salah satu siswa berusia di atas 40 tahun yang jumlahnya tidak sampai 10 orang. Tantangan paling besar adaptasi belajar bersama teman-teman dari generasi z yang kebanyakan fresh graduate. Apakah ada gap generation, apalagi pola belajar yang diterapkan lebih ke proyek kelompok yang artinya akan banyak kerjasama dan kolaborasi?

IT bukanlah bidang utama pekerjaan saya. Setiap hari saya lebih banyak bekerja di lapangan yang berhubungan dengan pipa gas alam.

Sebelum pandemi kami wajib hadir di kampus minimal 4 jam sehari untuk belajar tatap muka atau mentoring. Tapi setelah pandemi semua dilakukan secara daring.

Rekan saya yang bekerja di bidang IT dan akrab dengan komputer merasa tergagap, apalagi saya. Kami harus menghadiri kelas online dan mengerjakan tugas secara daring.

Masalah paling banyak muncul ketika mengerjakan tugas. Saat terjadi miskomunikasi sulit untuk menyelesaikannya. Mungkin inilah karakter kebanyakan orang Indonesia, tak biasa mengemukakan pendapat dan memilih diam. Ketika masalah sudah besar baru meledak dan paling ironis ada yang memilih menghilang daripada menyelesaikan masalah. Kalau sudah begini proyek bersama terancam gagal.

Dari sini saya belajar bahwa kebanyakan fresh graduate tidak memiliki soft skill. Nilai akademis mereka tinggi dan kemampuan hard skillnya mumpuni tapi ketika masuk dunia kerja terlihat belum siap. Adakah yang salah dengan pendidikan kita?

Budaya Belajar 

Budaya belajar Apple berbeda dengan sistem belajar Indonesia. Apple sangat menghargai perbedaan, tiap orang adalah pribadi yang unik. Kita tidak diwajibkan memiliki kemampuan yang sama. Dari setiap proyek kita dapat mengambil peran yang berbeda-beda, sebagai desainer, coder, atau PM (produk manajer).

Semua fasilitas dan sumber daya untuk belajar dipersiapkan oleh kampus. Kita mau belajar apa, ada source dan mentornya. Perangkat keras berupa mac dan iphone dipinjamkan selama masih menjadi siswa dan bisa dibawa pulang. Saat pandemi, pihak kampus memberikan fasilitas internet kepada siswa agar bisa tetap online.

Belajar tatap muka didominasi dengan diskusi dan bukan komunikasi satu arah, guru menjelasakan dan murid mendengar sampai tertidur. Sebelum minggu berjalan biasanya mentor akan memberikan jadwal kelas kepada siswa. 

Siswa bebas masuk kelas sesuai dengan minat dan kebutuhan. Misal saya menjalani peran sebagai desainer dan ingin belajar materi UI/UX maka saya akan hadir di kelas tersebut. Kita bebas menghadiri semua kelas tanpa ujian akhir.

Kalau tidak ada ujian apa barometer keberhasilan siswa? Setiap siswa di Apple Developer Academy memiliki jurnal refleksi. Setiap orang punya target dan kemampuan yang berbeda. 

Setelah belajar kita wajib mengisi jurnal refleksi yang isinya: apa yang sudah dipelajari hari ini, apa yang sudah dikerjakan hari ini, apa yang akan dipelajari besok, apa yang akan dikerjakan esok hari dan apa pengalaman berharga hari ini.

Intinya setiap hari kita harus lebih baik. Kita tidak perlu menjadi manusia terbaik , tapi menjadi diri kita yang lebih baik setiap harinya.

Jika dianalogikan, sebagai burung, saya hanya perlu belajar terbang lebih tinggi setiap hari tanpa harus memikirkan bagaimana saya bisa berenang untuk menjadi ikan.

Jadi jangan kaget jika teman saya Babeh berusia 60 tahun menjadi seorang coder, ketika ia fokus belajar coding beberapa bulan saja.

Pandemi Mengubah Kita

Meski kampus kami berbasis teknologi informatika namun kenyataannya semua orang tidak siap ketika harus dipaksa schooling from home -- SFH. 

Tak hanya siswa yang lelah setiap hari harus belajar melalui aplikasi zoom. Para mentor berpikir keras bagaimana kegiatan belajar online tetap efektif dan mengasikan. Mereka menghadirkan pembicara dari kalangan professional bahkan selebritis (artis) atau membagikan voucher pesan makan online.

Satu bulan pertama, momen melelahkan bagi saya. Karena setiap harinya harus WFH lalu berlanjut dengan SFH dan mengerjakan tugas online. Tapi beruntung saya memiliki lingkungan kerja dan rekan kampus yang saling dukung.

Dulu saya agak skeptis ketika perusahaan tempat bekerja merencanakan tranformasi digital, karena hanya fokus dengan infrastruktur bukan mengubah mindset.

Pandemi memaksa kita bertranformasi digital. Walau transformasi digital yang terjadi di kantor saya hanya sebatas tidak ada lagi agenda rapat ke luar kota dan dokumentasi berbasis paper less, saya tetap respect.

Perjalanan setahun bersama Apple Developer Academy memberikan banyak pengalaman dan insight baru. Bagaimana kami belajar dan berkolaborasi dengan orang dari seluruh dunia. Merasakan pola belajar dan berpikir yang yang berbeda.

Ketika bicara tentang tranformasi digital pendidikan maka banyak dari kita fokus dengan infrastruktur dan gawai. Bagaimana bisa belajar online kalau tidak ada internet dan ponsel. Tapi apakah ketika semuanya sudah tersedia apakah masalah selesai.

Pada kenyataan beberapa rekan di Apple Developer Academy tidak siap ketika harus belajar daring padahal semua fasilitas sudah diberikan oleh pihak kampus. 

Mereka yang terbiasa dengan pola sistem belajar satu arah dan kemampuan literasi rendah tidak bisa mengikuti ritme tranformasi. Ini dari sisi siswa, lalu bagaimana dengan gurunya.

Tranformasi digital pendidikan bukan hanya memindahkan guru dari ruang kelas lalu mengajar di depan kamera. Banyak hal yang harus dilakukan jika ingin benar-benar bertranformasi.

Pertanyaan mendasarnya, apakah budaya belajar orang Indonesia siap menghadapi tranformasi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun