Setelah bertahun-tahun merasa tidak memiliki hobi pada akhirnya di akhir usia 20-an menemukan sebuah passion. Setelah liburan akhir tahun dengan mengelilingi Sulawesi tahun 2010, saya semakin mencintai traveling. Berikutnya,  hampir  setiap bulan saya melakukan perjalanan ransel keliling nusantara. Kebetulan pola kerja 2-1, dua minggu bekerja dan  satu minggu libur, sangat mendukung aktivitas sebagai backpacker.
Catatan perjalanan saya dokumentasikan di blog gratisan dan keroyokan Kompasiana. Tanpa terasa kemampuan menulis terasah dan saya mulai memberanikan diri untuk menulis di majalah dan surat kabar. Bagi saya yang tidak memiliki jaringan di media dan industri literasi, tidak mudah mendapatkan kesempatan menulis di media cetak, namun melalui lomba blog dan gathering blogger mendapatkan koneksi.
Ibarat baru menikmati manisnya traveling, saya tidak pernah membatasi diri untuk melakukan aktivitas apapun. Perkenalan dengan dunia bawah laut Selayar, Â membuat saya aktif melakukan free dive. Perlengkapan free dive dan kamera underwater selalu ada di ransel untuk merekam keindahan dunia bawah laut.
Saya tidak pernah membatasi diri dengan aktivitas traveling apapun. Bukan hanya lautan yang disambangi, beberapa kali saya menjejakan kaki di puncak gunung di Indonesia. Â Sebetulnya ini mewujudkan impian masa muda yang tertunda.Â
Sejak kuliah, saya ingin sekali mendaki gunung tapi orang tua tidak pernah mengijinkan karena alasan keselamatan dan risiko. Lalu ketika  ada kesempatan seperti sekarang, saya tidak hanya naik gunung tapi juga melakukan aktivitas traveling berisiko tinggi seperti paralayang dan masuk ke hutan untuk berinteraksi dengan suku pedalaman nusantara.
Â
Traveling dan Risiko
Walau belum pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakan saat traveling, saya mulai sadar bahwa semua passion saya seperti menantang maut. Pada awalnya saya merasa aman karena perusahaan tempat saya bekerja memberikan asuransi jiwa lebih kepada karyawan dengan proteksi berlapis. Tapi tunggu dulu, bukankah semua asuransi ini hanya berlaku di lingkungan kerja, dari tempat kerja dan menuju tempat  kerja.
Karena penasaran saya membuka kembali polis asuransi jiwa yang diberikan oleh perusahaan dan  dikhususkan bagi pekerja industri oil dan gas. Beberapa klausa menyatakan bahwa asuransi jiwa hanya berlaku di lingkungan kerja dan semua aktivitas di luar lingkungan kerja yang berhubungan dengan pekerjaan. Artinya jika saya jalan-jalan untuk hobi maka diri saya tidak terlindung oleh asuransi jiwa tersebut.
Walau asuransi kesehatan masih ditanggung saat berpergian di dalam negeri, saya mulai berpikir risiko lain dalam perjalanan. Kita yang berdiam di rumah saja memilki risiko tinggi, apalagi yang setiap bulan traveling dan melakukan aktivitas ekstrim.
Hal ini sesuai dengan  KUHD pasal 246 disebutkan bahwa "asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu".
Bimbang Menjadi Freelancer
Saya mengalami dilemma setelah empat tahun memiliki dua profesi yang berbeda, Â sebagai travel blogger dan karyawan swasta. Tiba-tiba perusahaan memutasikan saya ke Batam dan memberikan posisi baru dengan pola kerja office hour. Saya tidak memiliki libur panjang setiap bulan dan menjalani passion sebagai travel blogger.
"Lalu bagaimana dengan kehidupan saya jika tidak traveling tiap bulan?" Ego sekali lagi berkumandang di kepala.
Waktu itu saya berpikir untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus menjadi full time travel blogger. Jika dihitung pendapatan setahun dari passion maka nilainya hampir sama dengan  penghasilan di perusahaan tempat saya bekerja.Â
Saya yakin dengan fokus sebagai freelancer penghasilan yang didapatkan akan lebih besar. Karena saya sadar dengan bekerja sebagai karyawan saya belum memaksimalkan passion traveling.
Tapi yang menjadi pertimbangan adalah benefit lain perusahaan seperti jaminan sosial dan kesehatan.
"Kalau saya mengundurkan diri lalu kalau sakit bagaimana?" Saya mencoba membungkam ego.
Saya mencoba mengkomunikasikan niat ini kepada orang tua dan beberapa rekan kerja di kantor. Dan jawabannya sudah bisa ditebak, mereka menentang keinginan saya menjadi full time travel blogger.
"Jadi freelance itu nggak gampang. Susah kalau mau mendapat pinjaman dari bank", ujar teman saya spontan menanggapi.
 "Terus siapa yang akan membiayai kalau sakit. Sudah jalani saja takdir jangan neko-neko", ibu menasihati saya.
Saya terdiam karena waktu itu saya berpikir bahwa asuransi jiwa dan kesehatan yang diberikan oleh perusahaan adalah yang terbaik. Saya tidak mengerti bahwa ada asuransi personal yang manfaatnya cocok dengan profesi freelancer. Keinginan menjadi freelancer saya kubur dalam-dalam dan saya menjadi Mas-Mas kantoran kurang piknik.
Berlahan namun pasti saya mengurangi frekuensi  jalan dan gaya traveling pun berubah, dari backpacking di pulau eksotis nusantara menjadi reviewer hotel dan resto setiap akhir pekan.
#BebaskanLangkah Bersama FWD Life
Lima tahun berlalu. Meski saya sudah berdamai dengan keadaan tapi semua impin menjadi freelancer masih ada. Sebagai pengobat rindu, setidaknya dua kali dalam setahun saya melakukan perjalanan di dalam atau luar negeri.
Beberapa minggu lalu hati saya kembali tergoda, ketika perusahaan tempat saya bekerja menawarkan program pensiun dini bagi karyawan berusia di pertengahan 40 tahun. Jika perencanaan keuangan saya tepat, dalam beberapa tahun ke depan sepertinya saya bisa menjadi full time content creator. Yup, pada perkembangannya saya tidak hanya membuat tulisan traveling tapi juga video untuk kontribusi televisi dan vlog. Walau saat ini semua aktivitas itu dikerjakan paruh waktu, saya sangat menikmatinya.
Melalui acara FWD Life Nangkring Bareng Blogger tanggal  18 Desember 2019, wawasan saya terbuka bahwa saat ini ada produk asuransi yang cocok dengan freelancer. Wah sepertinya ini akan memuluskan niat saya menjadi freelancer.
Jika diulik lebih seksama ternyata produk FWD cukup beragam, mulai  dari asuransi jiwa, kesehatan sampai investasi. Baiklah daripada bingung, saya harus mencari yang sesuai dengan kebutuhan.Â
Sebagai  penghobi aktivitas  ekstrim, saya memilih FWD APRo Accident Protector. Selain memberikan manfaat tanggungan biaya medis akibat kecelakaan, produk ini juga memberikan santunan jika mengalami cacat permanen hingga usia 70 tahun.
Karena setelah resign dari kantor, Â saya tidak memiliki asuransi kesehatan maka untuk melindungi diri saya mengambil produk FWD SPrInt Family Health & Protection. Harapan sih selalu sehat dan tidak pernah memanfaatkan premi untuk berobat tapi bukankah resiko sakit tetap ada?
Sebetulnya untuk mempersiapkan masa tua, saya berencana mengambil produk investasi FWD SPrInt Retirement. Tapi apakah di atas 40 tahun masih bisa mengambil produk ini. Daripada ragu lebih baik langsung mengontak nomor  (+62) 1500 391 atau melakukan live chat di website FWD
Bagi beberapa orang mungkin rencana saya ini tidak biasa. Menjelang usia 40 atau 50 tahun , biasanya orang memilih di zone nyaman untuk  menikmati kerja keras. Sedangkan saya seperti baru memulai kehidupan yang tidak pasti. Tapi bagi saya menikmati hidup itu adalah  mendokumentasikan semua kisah perjalanan lalu membagikan melalui tulisan atau video. Kebahagiaan itu adalah kebebasan untuk berbagi seperti slogan #FWDBebasBerbagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H